INILAH sejarah panggilan dan hidup Romo Hieronymus Rony Suryo Nugroho Pr
Sore itu kami duduk di ruang tamu bertiga: saya, bapak dan ibu saya. Kami melakukan kegiatan kami masing-masing. Ibu saya sedang menjahit, suatu profesi yang sudah dijalaninya berpuluh-puluh tahun.
Baca juga: Imam Baru KAS tentang Sejarah Panggilannya: Dua Kecelakaan (4)
Sementara saya dan bapak saya duduk di lantai sambil mengupas mlinjo dari kebun samping rumah. Bapak saya bertanya mengenai kelanjutan sekolah saya, karena saya sudah di penghujung masa SMP.
Saya balik bertanya: “Kalo saya sekolah di seminari, gimana?” Bapak saya menjawab: “Wah, gak apa-apa. Malah bagus itu.” Orangtua saya tertawa bersama. Saya tidak mengira akan mendapat jawaban semeriah itu.
Yesus tidak datang di hadapan saya, terbang, melayang-layang dan secara langsung memanggil saya menjadi imam. Panggilan saya menjadi imam hanya berawal dari ketertarikan kecil: saya suka main di ruang rekreasi pastoran.
Di sana ada TV, koran dan kipas angin. Waktu itu, kebahagiaan saya terpaut pada tiga benda tersebut. Sepulang sekolah saya selalu datang ke sana untuk mampir dan sekadar main sampai sore. Sosok para romo pun sangatlah bersahabat dan menyenangkan. Keramahan dan kebahagiaan mereka begitu memancar dan membuat saya merasa nyaman.
Keterlibatan saya sebagai putera altar di gereja pun turut menarik saya semakin dekat pada mereka. Lama kelamaan, tanpa saya sadari kapan terjadinya, saya merasa tertarik menjadi imam. Kisah panggilan saya memang biasa. Tapi itulah kenyataannya. Panggilan Tuhan itu memang unik: tak heboh dan sangat halus.
Setelah mendapat izin dari orangtua, saya pun mendaftarkan diri ke Seminari Menengah Mertoyudan dengan segala keterbatasan saya. Saya tidak terlalu berharap banyak, karena seminari berisi orang-orang yang susunan tubuhnya terdiri dari otak semua. Saya bisa tergilas di antara mereka. Saya menyadari bahwa rahmat Tuhan selalu menyertai saya, maka saya pun dapat lulus tes seleksi seminari menengah dengan nilai yang tergolong pas-pasan. Saya tidak menyangka bisa lolos.
Saya masuk ke Seminari Menengah Mertoyudan bersama teman-teman dari Sabang sampai Merauke dengan segala keunikannya. Saya seperti masuk toko serba ada. Mereka semua orang-orang hebat dengan kemampuan yang mengerikan. Dengan terseok-seok saya mencoba sederap dengan langkah mereka.
Memang tidak mudah, tetapi, ironisnya, membahagiakan. Pergulatan awal saya di Seminari Mertoyudan lebih banyak dalam hal studi. Saya pernah nyaris di-dropout pada tahun pertama karena nilai Agama dan Matematika saya tidak memenuhi standar minimal.
Saya sungguh syok hingga tidak doyan makan. Dengan dukungan teman-teman, para guru, para staf, keluarga dan Tuhan sendiri, saya berhasil menjalani serangkaian remidi dan lulus dengan nilai yang pas.
Saya masuk Seminari Mertoyudan tanpa mengetahui sepenuhnya apa dan bagaimana itu menjadi imam. Yang saya tahu, saya memiliki ketertarikan kecil di dalam hati saya. Tapi seiring berjalannya waktu, pengolahan dan perjumpaan dengan teman-teman, para staf dan keluarga semakin membentuk diri dan memperjelas visi panggilan saya.
Tuhan telah menyediakan orang-orang hebat untuk menemani dan mendampingi saya dalam menjalani panggilan di rumah formatio selanjutnya dan dimanapun saya berada.
Pendidikan diosesan KAS
Masa pendidikan selanjutnya saya jalani di Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) Sanjaya, Jangli, Semarang. Di sana saya belajar untuk berdoa, membina hidup rohani dan melayani orang lain. Waktu sehari-hari banyak diisi dengan latihan doa, refleksi, meditasi dan beberapa kursus. Satu kali dalam seminggu kami juga melakukan pendampingan sosial GARAM bagi anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual.
Kami tinggal di dalam komunitas yang berisi tak lebih dari 20 orang. Berbagai macam urusan rumah tangga kami lakukan bersama-sama dengan dibantu oleh dua orang karyawan. Saya diajak untuk semakin menumbuhkan empati dan mengembangkan sisi feminim dalam diri saya, yaitu budaya merawat. Rumah bersama harus dirawat bersama. Pengalaman satu tahun di TOR Sanjaya menjadi saat bagi saya untuk belajar menyeimbangkan antara hidup doa dan karya.
Selanjutnya saya menjalani pendidikan di Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta. Komunitas yang saya hadapi jauh lebih besar. Tuntutannya pun berbeda. Ada lima bidang pembinaan yang harus diperhatikan: kepribadian, hidup rohani, intelektual, pastoral dan hidup bersama. Saya diajak untuk berkembang secara utuh dari berbagai segi.
Sekali lagi, memang buka perkara yang mudah. Pengalaman hidup di Seminari Tinggi kerap kali memaksa saya untuk mendorong diri melewati batas-batas yang saya miliki. Bagian-bagian tertentu memang kadang terluput dari perhatian.
Maka benarlah peribahasa itu: tak ada gading yang tak retak. Tidak ada yang sempurna di bawah terik matahari. Demikian pula, macam-macam kegagalan dan kesalahan pun mewarnai perjalanan panggilan saya. Tetapi batas-batas itulah yang menyadarkan saya bahwa saya ini lemah dan Tuhan itu Mahakuasa dan Mahamurah. Saya yang sering melakukan kesalahan ini terus diampuni dan dicintai tanpa henti.
Babak baru: rahmat Baru
Saya bersyukur atas orang-orang yang Tuhan anugerahkan untuk mendampingi saya dalam menanggapi panggilan-Nya. Saya bersyukur atas keluarga tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya sungguh merasakan kasih dan cinta yang sangat tulus sejak awal masa hidup saya.
Saya sadar bahwa keluarga saya bukanlah keluarga yang sempurna. Tetapi melaluinya, saya mengalami cinta Tuhan yang begitu besar. Mereka mencintai saya dengan cara yang khas, membuka tangan lebar-lebar ketika saya butuh untuk pulang dan menimba kekuatan di saat suntuk dan tidak punya kekuatan. Bapak saya adalah seorang guru dan ibu saya adalah seorang penjahit. Saya dibesarkan dari perpaduan sifat keduanya. Dari mereka saya belajar untuk hidup disiplin, mandiri, tegas dan berani mengatakan yang benar.
Kedua kakak saya pun berperan secara khas dalam panggilan saya. Kakak saya yang kedua menanggapi panggilan Tuhan dengan menjadi suster kongregasi Abdi Kristus (AK). Maka, penerusan keluarga kami dibebankan pada satu orang, yaitu kakak saya yang pertama. Syukurlah kami dapat berbagi tugas.
Saya menyadari bahwa saya ini memiliki banyak kelemahan yang membuat saya tidak layak untuk menerima tahbisan. Tetapi, saya percaya bahwa rahmat Allah selalu menyertai hidup saya. Perjalanan panggilan saya diwarnai dengan proses jatuh dan bangun, susah dan senang, putus asa dan harapan. Proses tersebut menyadarkan saya akan batas-batas diri saya. Saya semakin disadarkan bahwa panggilan adalah rahmat Allah semata dan bukan prestasi pribadi. Saya memiliki banyak kekurangan dan tidak layak, tetapi dicintai Allah secara luar biasa.
Tahbisan menjadi tahap baru untuk suatu perutusan baru. Saya meyakini apa yang pernah tertulis di suatu buku renungan, bahwa perutusan baru memberikan tantangan baru sekaligus rahmat baru. Perutusan, apapun itu bentuknya, menjadi bentuk kesediaan saya untuk menanggapi daya Roh Kudus yang selalu membarui Gereja. Saya berharap saya dapat menghayati panggilan Tuhan dari hari ke hari seperti yang telah diteladankan oleh para pendahulu.