INI sejarah panggilan hidup Romo Laurentius Andika Bhayangkara Pr.
“Aku akan membayar nazarku kepada Tuhan di depan seluruh umatNya.”Kutipan Mazmur 116 ini menjadi kesadaranuntuk memenuhi sebuah janji yang pernah terucap di tahun 2003 dan 2007. Saya akan membalas segala kebaikan Allah, akan semua kasihNya.
Meski demikian, saya sadar bahwa persembahkan hidup saya ini tidakakan pernah sebanding dengan kasihyang diberikan Allah dalam hidup saya. Panggilan saya mulai tumbuh karena pengalaman dikasihi Allahdan melalui perjumpaandengan orang-orang yang disediakan Allah untuk menuntun saya.
Baca juga: Imam Baru KAS tentang Sejarah Panggilannya: Si Kertas Kusut (3)
Seperti halnya Samuel yang dibimbing imam Eli untuk menemukan panggilannya, saya pun dibimbing oleh Eli-Eli lain yang memandu untuk menemukan kehendak-Nya atas hidup saya.
Dalam sakratul maut
Ada dua peristiwa kecelakaan dialami anggota keluarga yang mengantar saya kepada status sekarang ini. Pertama tahun 2003, Bapak mengalami kecelakaan, saya berdoa di kapel RS Elizabeth Semarang, memohon kasih karunia Allah untuk menyelamatkan Bapakdan saya berjanji akan membalas kebaikan-Nya.
Bapak dibaptis darurat dan memperoleh kesembuhan.Kesembuhan Bapak ini menjadi titik balik saya untuk aktif dalam kegiatan lingkungan dan membantu Sr. Yustina PI dan Sr. Marcela PI dalam mendampingi anak-anak PIA. Dari para suster, saya belajar melayani dan tumbuhlah kecintaan pada Gereja. Masih teringat jelas perkataan Sr. Marcela PI, “Andi besok kamu jadi Romo saja ya”.
Promosi panggilan
Saya hanya tersenyum tidak berani mengiyakan perkataan beliau. Sebuah buku tentang pertapaan OCSO Rawaseneng diberikan suster untuk menjadi bacaan saya. Bersama prodiakon lingkungan (Bp. L.St. Suwardi) saya dibimbing dan diberi beberapa buku bacaan rohani tentang permenungan hidup. Pada tahun 2005, saya mencoba ikut retret Prompang (promosi panggilan) SJ dan rekoleksi Prompang MSF.
Saya tertarik menjadi seorang misionaris karena sebuah film ‘The Mission’yang diputar dalam retret prompang dan akhirnya mendaftar di Girisonta.Namun pada saat yang sama pula, saya mendapat promosi di tempat kerja dengan posisi dan gaji yang menarik. Pada satu sisi saya ingin masuk seminari (membayar janji) tetapi di lain sisi, promosi itu menjadi jawaban atas doa saya selama 6 tahun. Saya tergoda untuk menikmati promosi pekerjaan tersebut.
Satu setengah tahun berlalu kembali muncul kegelisahan dalam batin membuat hati tidak tenang. Padahal, posisi dan gaji di tempat kerja cukup mapan, ‘teman malam minggu’ juga ada, namun masih ada hal lain yang kurang dalam hati. Pada bulan Oktober 2006 saya bertemu dengan frater TOP (Rm. Hanjar) di Paroki St. Yusuf Ambarawa dan disarankan mengolah kegelisahan saya bersama Romo di Jangli dengan mengikuti prompang pada bulan Januari 2007.
Pada tanggal 14 Februari 2007 kakak ipar mengalami kecelakaan sepeda motor ketika hendak menjemput isterinya. Dalam ambulans menuju RS Elizabeth Semarang, saya mendengar kakak dalam setengah sadarnya melafalkan tiga doa dalam bahasa Arab dan keluarlah darah dari mulutnya setiap kali selesai membaca doa tersebut.
Kakak menghadapi sakratul maut. Sesampainya kakak di UGD, saya datang menghadap Allah di tempat yang sama di tahun 2003, kapel RS Elizabet Semarang. Saya kembali memohon kasih karunia dan kemurahan hati untuk menyelamatkan kakak ipar ini karena anak-anaknya masih kecil dan berjanjiakan membalasnya dengan menyerahkan kebebasan dan hidup saya untuk menjadi abdi-Nya.
Mukjizat kesembuhan
Mukjizat terjadi dengan sembuhnya kakak dalam waktu 44 hari, sementara perkiraan dokter butuh waktu satu tahun lamanya untuk memulihkan kesehatannya. Allah sungguh baik dengan segala karya kasih-Nya.
Dari dua peristiwa kecelakaan dan perjumpaan dengan Eli-Eli dalam hidup saya, saya mengalami perasaan sungguh dikasihi Allah. Rahmat dan kebaikan-Nya begitu luar biasadicurahkan dalam keluarga saya. Kini saatnya saya menepati janji saya untuk membalas kasih-Nya dengan menyerahkan diri seutuhnya menjadi abdi-Nya dan menjadi saluran rahmat-Nya bagi setiap orang.
Panggilan hidup untuk hidup
Motto hidup menjadi spiritual bagi seseorang yang mampu memberi semangat dan dorongan dalam menjalani hidup. “Hidup untuk hidup” adalahmotto hidup saya. Motto ini muncul ketika di Seminari TOR Sanjaya. Dalam usia yang tidak lagi muda 29 tahun, saya memasuki babak hidup baru dengan mengolah hidup rohani atau istilahnya belajar berdoa di Seminari TOR. Dalam meditasi tentang Salib Tuhan, saya menangis. Mengapa Allah dalam segala kemuliaanNya mau hadir dan hidup sebagai seorang manusia dan mengorbankan diri? Jawabnya “hidup untuk hidup.”
Dalam kata ‘hidup untuk hidup’, terkandung kasih yang lujar biasa kepada manusia. Ialahir (hidup) demi hidup umat manusia. Kasih itu ditunjukkan dengan pelayanan dan tugas perutusan Yesus, menghadirkan Kerajaan Allah; orang buta dibuatNya melihat, orang lumpuh bisa berjalan, orang mati dibangkitkan. Kasih yang besar itu ditunjukkan-Nya pula melalui korban di kayu salib agar manusia tidak binasa tetapi beroleh hidup. Ia hidup (hadir ke dunia dan mempersembahkan hidupnya) untuk hidup umat manusia.
Dalam permenungan ini, saya sungguh bersyukur, mengingat bahwa kasih Allah itu juga hadir melalui kedua orangtua saya, mereka hidup untuk hidup anak-anaknya. Mereka hidup bukan lagi memikirkan untuk mereka sendiri tetapi berjuang untuk hidup anak-anaknya.
Matur nuwun Ibu-Bapak sampun kersa gesang kanggih kula.Motto ‘hidup untuk hidup’,menguatkan dan mendorong saya menjadi pelayan Gereja-Nya, mengikuti teladan Sang Guru di dalam hidup-Nya.“….aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20). Saya hidup bukan lagi untuk diri sendiri tetapi bagaimanamemberikan diri untuk hidup-hidup yang lain dalam pelayanan kasih.
Tidak tinggal diam
Dalam menjalani hidup panggilan ini, ada beraneka pengalaman yang menyadarkan saya bahwa proses yang dijalani tidaklah mudah tetapi Allah juga tidak tinggal diam atas hidup saya. Ketika mendaftar seminari dan diterima masuk TOR Sanjaya, aktivitas hidup harian saya hanya bisa menggunakan tangan kiri (seperti tokoh Yoko dalam Pendekar Rajawali) karena lengan kanan patah akibat kecelakaan.
Pada masa akhir di TOR saya mengalami cidera fracture dan pengecilan bagian tulang belakang karena jatuh dari plafon kamar mandi ketikarenovasi atap seminari. Karena cidera ini pula, saya dipanggil frater robot oleh anak-anak kecil sebab jalannya tegak dan kaku oleh karena memakai alat penyangga tulang belakang mirip Kotang Antakusuma.
Memasuki masa studi di Seminari Tinggi St. Paulus, saya berjuang supaya tidak tertinggal dengan teman-teman angkatan meski modal processor Pentium II yang sering kali lemot dan kadang hangkarena banyak pikiran dan tugas-tugas kuliah. Pengalaman jatuh cinta, dicintai dan mencintai pun hadir sebagai bahan pelajaran tambahan untuk memurnikan panggilan. Terima kasih ‘nduk untuk mata pelajaran cinta yang diberikan (#janganbaper).
Pengalaman panggilan ini akhirnya saya maknai sebagai perjalanan pendakian puncak gunung (imamat). Pada tahap awal terasa berat, trek atau jalan menanjak harus dilalui untuk sampai pada tiappos. Namun dalam perjalanan tersebut Allah menghadirkan pula pemandangan yang indah pada suatu titik tertentu, inilah rahmat yang disediakan sebagai penghiburan.
Ada godaan untuk berhenti dan berlama-lama menikmati pemandangan yang ada atau merasa puas lalu ingin turun kembali tanpa perlu melanjutkan kembali perjalanan sampai ke puncak. Ada konsekuensi yang harus dilalui untuk menuju puncak, jalan yang semakin menanjak, medannya cukup extreme dan harus berani meninggalkan beban bawaan yang bisa mengganggu perjalanan.
Ada perasaan sedih, kuatir dan ketakutan ketika menyadari satu-persatu teman seperjalanan meninggalkan saya dan beberapa lainnya terpisah. Apakah aku bisa sampai di puncak nantinya? Saya tetap yakin dan percaya, Allah tidak pernah membiarkan saya berjalan sendiri. Dia meminta untuk terus berjalan mengikuti jejak-jejak yang telah ditinggalkan bagi saya dan Dia memberikan teman seperjalanan yang lain bagi saya.“Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya”(1 Tes 5:24). Kesetiaan menjadi kata kunci dari perjalanan ini.
Saya diajak untuk setiadan memiliki kehendak yang kuat untuk tekun (kesetiaan) supaya memiliki teken (tongkat/pegangan), dan akhirnya bisa tekan (sampai tujuan). Allah pun telah menyediakan sebuah rahmat yang luar biasa ketika saya sampai di puncak. Pemandangan yang sungguh menakjubkan, perasaan damai dan penuh syukur yang tidak bisa terlukiskan. Pada akhirnya rasa syukur atas pengalaman rahmat ini pula yang akan saya bagikan kepada yang lain ketika turun gunung nantinya.
Puncak gunung merupakan puncak dari rahmat sakramen imamat dan rahmat ini pula yang nantinya dibagikan kepada umat yang dipercayakan kepada saya. Deo gratias