Romo Martinus Sutomo Pr
INILAH kisah hidup Romo Martinus Sutomo Pr. Catatan ringan ini berkisah tentang liku-liku perjalanan hidupnya sepanjang berusaha menanggapi panggilan Tuhan.
Awal tumbuhnya benih panggilan seperti ini. Kata orang, hidup adalah sebuah peziarahan atau perjalanan. Bagi saya, panggilan juga adalah sebuah perjalanan. Merenungkan perjalanan panggilan ini saya teringat saat awal tumbuhnya benih panggilan dalam diri saya.
Panggilan untuk menjadi imam saya rasakan mulai tumbuh sejak saya masih duduk di bangku SMP yakni di SMP Pangudi Luhur Bayat. Tumbuhnya panggilan ini berawal dari pengalaman sederhana di sekolah tersebut. Waktu itu, ketika sedang mengikuti proses pembelajaran, saya mendapat sapaan sekaligus pertanyaan singkat dari seorang guru.
Beliau adalah Ibu C. Mariati (adik kandung almarhum Romo Soenarwidjaja SJ–red.)
Baca juga: Imam Baru KAS tentang Sejarah Panggilannya: Ikutlah Aku (1)
Bu Mar (sapaan akrab beliau) menyapa saya sambil mengajukan sebuah pertanyaan singkat, “Le, mbok kowe suk yen gedhé dadi romo” (Nak, kamu besuk kalau sudah besar menjadi romo ya?).
Mendengar pertanyaan itu, saya hanya asal menjawab “nggih” sambil menganggukkan kepala, karena bagi saya waktu itu, pertanyaan tersebut tentu hanya sekedar basa-basi.
Waktu terus berlalu, namun ternyata sapaan tersebut membekas dalam ingatan saya. Bahkan ketika saya sudah duduk di bangku SMK, sapaan itu masih terus teringat. Setelah lulus SMK, sebetulnya saya ingin mencoba masuk seminari. Namun apa daya situasi dan kondisi keluarga belum memungkinkan.
Ekonomi pas-pasan
Saya berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan, sehingga setelah lulus, saya harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Maka selepas lulus SMK tahun 2001, saya langsung bekerja.
Dengan bekerja, saya merasa senang bisa meringankan beban orangtua dan nyangoni adik-adik saya yang masih sekolah semua. Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara, adik saya perempuan semua.
Pengalaman bekerja, saya lalui dengan semangat dan sekaligus penuh perjuangan. Saya pun asyik bergulat dengan pekerjaan untuk mengais rezeki dan berburu pengalaman hidup.
Saya merasa senang dengan pekerjaan saya, karena kebetulan pekerjaan itu berhubungan erat dengan bidang yang saya sukai yakni teknik (elektronik). Semakin hari saya pun semakin asyik dengan pekerjaan dan juga rutinitas saya bersama teman-teman sebaya saya.
Namun anehnya, di tengah-tengah kerja dan rutinitas sehari-hari, hati saya kadang terusik oleh sebuah kerinduan atau keinginan untuk masuk seminari. Meskipun keinginan ini kadang tertutup atau terkubur oleh rutinitas saya sehari-hari, namun seakan-akan keinginan tersebut terus saja mengusik hati.
Hari demi hari, minggu demi minggu keinginan tersebut tampaknya semakin kuat dan mengiang-ngiang dalam pikiran saya. Akhirnya saya pun memberanikan diri untuk mendaftar masuk seminari. Kalau tidak salah waktu itu adalah bulan Februari 2004. Saya berangkat ke Mertoyudan untuk mendaftar.
Syukurlah saya tidak diterima
Namun karena saya pekewuh dengan orangtua saya (karena saya adalah anak pertama dan ketiga adik saya perempuan semua) maka saya hanya pamit pergi ke rumah teman, padahal saya mendaftar dan mengikuti tes di Seminari Mertoyudan.
Singkat cerita, akhirnya saya menerima hasil tes yang menunjukkan bahwa saya belum diterima.
Setelah menerima hasil tes itu, saya pun merasa lega karena saya sudah memenuhi kerinduan hati yang selalu mengusik itu. Meskipun tidak diterima, saya tetap merasa senang dan lega. Saya bisa melanjutkan pekerjaan saya dengan lebih fokus.
Hari-demi hari, minggu demi minggu dan tahun demi tahun berlalu. Saya pun asyik mengembangkan hobi dan pekerjaan saya (kemudian saya bekerja bersama keponakan saya membuka usaha pengetikan, rental dan jual beli komputer). Saya ingin menabung demi masa depan saya.
Namun lagi-lagi di tengah-tengah kesibukan dan keasyikan bekerja itu, saya kembali terusik oleh keinginan untuk masuk seminari. Lagi-lagi keinginan itu pun segera terkubur oleh rutinitas dan pekerjaan saya.
Namun lama kelamaan saya pun menjadi tidak fokus dengan pekerjaan saya, dan memutuskan untuk mencoba sekali lagi masuk seminari. Lalu saya cuti kerja untuk sekedar menenangkan diri dan mencoba berdiskresi. Akhirnya dengan bantuan rahmat Allah dan restu Bunda Maria, saya pun berani menanggapi panggilan Tuhan.
Saya tinggalkan pekerjaan saya dan rutinitas saya, dan masuk seminari pada tahun 2008.
Masa adaptasi
Hari-hari pertama menanggapi panggilan, rasanya senang dan lega namun sekaligus berat, karena saya harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru. Butuh waktu untuk berdaptasi karena sebelumnya saya berasal dari lingkungan kerja yang biasa single fighter dan waktu yang diatur pribadi.
Sedangkan di tempat baru ini yakni di Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR), segala sesuatunya serba teratur dan dalam kebersamaan. Saya pun mencoba untuk tekun dan terus berusaha menyesuaikan diri. Atas pertolonganTuhan dan bantuan para romo staf dan teman-teman, akhirnya saya mampu menyesuaikan diri dan dapat mengikuti dinamika di TOR.
Setelah genap setahun, akhirnya saya diperkenankan untuk melanjutkan perjalanan saya dalam menaggapi panggilan Tuhan. Saya diperkenankan untuk melanjutkan proses formatio di Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta. Rasa gembira sekaligus khawatir menyelimuti saya.
Gembira karena saya sudah lulus dari TOR dan khawatir karena saya ragu pada kemampuan saya dalam mengikuti kegiatan kuliah mengingat sudah sekian lama tidak memegang buku pelajaran.
Perjalanan formatio
Gembira rasanya bisa bergabung dengan komunitas besar Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta. Saat awal di tempat ini, saya juga beradaptasi. Syukur kepada Allah, saya segera dapat mengikuti dinamika hidup di Seminari Tinggi. Kekhawatiran saya akan studi ternyata terjawab di akhir semester I. Ternyata saya masih dapat mengikuti kegiatan perkuliahan.
Hasil studi saya cukup baik dan tidak mengecewakan. Demikian juga bidang pembinaan yang lain yakni rohani, kepribadian, hidup bersama dan pastoral, pelan-pelan dapat saya lalui. Pengalaman demi pengalaman di tempat ini akhirnya semakin memantabkan saya bahwa Tuhan menyertai perjalanan panggilan saya.
Awal-awal di Seminari Tinggi saya memang harus mengatur waktu kembali. Kalau di TOR, waktu rohani selalu terjaga dan teratur karena sudah terkondisi serta belum banyak kegiatan studi dan pastoral. Sedangkan di Seminari Tinggi, tuntutan, tugas dan kesibukan lebih banyak, maka saya harus bisa membagi waktu dengan seimbang dan bijaksana.
Saya merasakan bahwa sebagai calom imam yang nantinya menjadi rohaniawan, bidang rohani harus selalu dijaga, karena inilah identitas dan sumber kekuatan saya dalam menanggapi panggilan Tuhan. Olah rohani menuntun saya agar selalu menjalin relasi akrab dengan Tuhan yang memanggil saya.
Perjalanan saya menanggapi panggilan terus berlalu sampai saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Yayasan Kanisius Pendidikan Cabang Yogyakarta dan tinggal di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji.
Kalau di Seminari Tinggi, pengalaman pastoralnya masih sedikit dan banyak fokus pada studi, sedangkan di tempat TOP, kesempatan pastoral lebih banyak dan ada kesempatan untuk membaur dengan umat dan masyarakat. Tugas setelah TOP adalah Bakaloreat (BA), ujian Ad Audiendas serta menyelesaikan S2. Syukur kepada Allah, saya dapat melaluinya dengan cukup lancar.
Segala sesuatu yang sudah saya dapatkan di Seminari Tinggi selama 7 tahun, terlebih ilmu yang saya serap di bangku kuliah Teologi, saya aplikasikan ketika saya menjalani pastoral di luar seminari. Bagi saya pengalaman dan ilmu yang saya dapatkan di seminari adalah bekal yang akan semakin disempurnakan dan diperkaya ketika saya berpastoral di luar, terutama ketika saya menjalani masa diakonat di KARINA KAS dan tinggal di Paroki St. Maria Assumpta Babarsari pada tahun ini.
Menyertai dan memberi kekuatan
Yang namanya perjalanan, pasti ada naik, turun dan landai. Demikian pula perjalanan saya menanggapi panggilan Tuhan juga mengalami stuasi naik, turun dan kadang datar-datar saja.
Namun hal yang amat penting bagi saya adalah bahwa dalam situasi jalan apa pun, Tuhan Yesus selalu menyertai saya. Ia pun juga menganugerahkan rahmat dan kekuatan yang saya butuhkan.
Setelah saya merefleksikan perjalanan menanggapi panggilan Tuhan ini, saya meyakini betul bahwa Tuhan itu selalu menyertai. Di saat desolasi (kering rohani, lesu), Tuhan menghibur dan menguatkan saya, baik secara pribadi maupun melalui para staf, teman-teman dan keluarga saya. Sedangkan di saat jalanan datar, Tuhan senantiasa membimbing dan mengarahkan langkah kaki saya dan menganugerahkan rahmat kesetiaan.
Apabila melihat perjalanan panggilan saya ini, sebetulnya saya menemukan banyak kelemahan dan kerapuhan. Di hadapan Tuhan, saya menyadari bahwa sebetulnya saya tidaklah pantas dan layak untuk menerima panggilan imamat ini.
Masih banyak kekurangan, kerapuhan dan cacat cela yang melekat pada diri saya.Namun sadar akan besarnya cinta Tuhan bagi saya dan keyakinan bahwa Tuhan memanggil, maka saya memberanikan diri untuk melanjutkan perjalanan menanggapi panggilan imamat ini.
Saya yakin bahwa Tuhan tidaklah memilih mereka yang kuat dan sempurna, melainkan memberi kekuatan bagi mereka yang dipilihNya.“Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Panggilan adalah anugerah Tuhan.
Saya yakin, kalau Tuhan itu memanggil, maka Ia akan memberikan rahmat dan kekuatan.
Terima kasih. Berkah Dalem.