PADA bulan Juni dan Juli sudah menjadi tradisi di Keuskupan Agung Semarang diadakannya tahbisan imam, baik imam diosesan (praja) maupun imam tarekat (SJ dan MSF).
Kiranya baik kali ini, kita mengenal secara singkat siapakah dan bagaimana imam dalam Gereja Katolik itu.
Siapakah imam dalam Gereja Katolik? Dan apa saja syarat seseorang dapat menerima tahbisan imam?
Kata imam atau priest berasal dari kata presbyteros, presbyter, yang artinya adalah pelayan penyembahan ilahi, sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan (Bdk. Ibr 5:1), terutama dalam menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan kurban penebusan dosa.
Yesus sebagai Imam Agung menunjuk para rasul-Nya dan para penerus mereka (para Uskup bersama para imam sebagai rekan kerjanya) untuk melaksanakan peran imamat jabatan, yaitu memberkati Gereja-Nya.
Maka, para imam yang tertahbis dipanggil ikut mengemban tri tugas Kristus, yaitu menguduskan, memimpin, dan mengajar. Melalui para imam tertahbis ini, segala karya Kristus dapat dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus.
Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983, seorang imam dalam Gereja Katolik haruslah pria atau laki-laki yang sudah dibaptis dan menerima Sakramen Penguatan. Ia dipanggil Tuhan untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus Sang Kepala. Ia adalah seorang pribadi yang mengasihi Tuhan, Gereja dan umat yang dia layani.
Ia adalah seorang yang berakar dalam doa dan rela berkorban memberikan hidupnya bagi sesama. Maka dia harus memiliki iman yang utuh dan maksud atau motivasi yang benar, mempunyai pengetahuan yang semestinya, mempunyai nama baik, integritas moral serta dilengkapi dengan keutamaan-keutamaan yang teruji dan kualitas lain, baik fisik maupun psikis.
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, ditegaskan demikian: “Hanya pria yang telah dibaptis dapat menerima penahbisan suci secara sah.”(Kan. 1024).
Lebih lanjut juga ditegaskan bahwa “Hanya orang yang telah menerima sakramen penguatan suci dapat secara licit diajukan untuk tahbisan.” (Kan. 1033).
Selain itu juga diuraikan beberapa syarat yang dituntut agar seseorang bisa ditahbiskan menjadi imam:
“Untuk tahbisan-tahbisan itu hendaknya hanya diajukan calon-calon yang menurut penilaian arif Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, memiliki iman yang utuh, terdorong oleh maksud yang benar, mempunyai pengetahuan yang semestinya, mempunyai nama baik, integritas moral serta dilengkapi dengan keutamaan-keutamaan yang teruji dan kualitas lain, baik fisik maupun psikis, yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya.” (Kan. 1029).
Uskup dan imam diosesan
Sebagai seorang yang pernah menjadi Uskup Agung Semarang dan Uskup Agung Jakarta, Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja SJ pernah mengungkapkan: “Sebagai seorang Uskup Diosesan, saya merasa memiliki orangnya sendiri, dan karenanya merasa dibantu, dan sangat dipermudah dalam melancarkan kegiatan-kegiatan pastoral sesuai dengan perencanaan Keuskupan.”
Seorang Uskup akan sangat terbantu menggembalakan umat di keuskupannya, jika mempunyai imam diosesan atau imam praja yang lebih dari cukup.
Lalu siapakah imam diosesan itu?
Imam diosesan adalah imam yang mengikatkan hidupnya atau menginkardinasikan diri ke dalam Gereja Lokal, Dioses atau Keuskupan tertentu, di mana Uskup sebagai Gembala Utamanya.
Kata “diosesan” berasal dari kata Yunani-Latin yang berarti menata rumah.
Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia tinggal dekat dengan mereka dalam segala hal, dan membantu Uskup setempat untuk menata rumah tangga dalam keluarga Allah.
Ketaatan seorang imam diosesan kepada uskup diosesan menjadi kunci utama mewujudkan kesatuan hati dengan segala perjuangan umat Allah setempat sekaligus dalam kesatuan dengan Gereja Semesta dalam mewujudkan misi utama menghadirkan kerajaan Allah.
Dalam Dekrit Christus Dominus tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, Bapa-Bapa Konsili Vatikan II menguraikan makna dioses atau keuskupan dengan jelas.
Diuraikannya demikian: “Dioses (keuskupan) merupakan sebagian Umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup dalam kerja sama dengan Dewan Imamnya (presbyterium) untuk digembalakan. Dengan demikian bagian umat yang patuh pada gembalanya, dan yang dihimpun olehnya dalam roh Kudus melalui Injil dan Ekaristi itu, merupakan Gereja khusus”.
Lebih lanjut, “Di situ sungguh hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Masing-masing Uskup, yang diserahi reksa pastoral atas gereja khusus, di bawah kewibawaan Imam Agung Tertinggi menggembalakan kawanannya atas nama Tuhan, sebagai gembalanya sendiri yang biasa dan langsung, dengan menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin terhadapnya” (CD, no. 11).
Pada awalnya sebutan untuk para imam diosesan mengalami pelbagai perdebatan.
- Ada yang mengusulkan dengan sebutan Imam Sekulir (Latin: secularis, artinya duniawi), Rama Werel (Belanda: werldheer, artinya tuan dunia), atau Rama Wipro artinya Rama Jagadan.
- Sebutan lain adalah Romo Projo atau Rama Praja, untuk menunjukkan wilayah setempat atau pemerintahan (keuskupan) dari keberadaan imam itu (bdk. dengan istilah pamong praja, pangreh praja).
Hal tersebut juga pernah diungkapkan Bapak Justinus Kardinal Darmojuwono.
“Pada waktu itu diperdebatkan bagaimana sebutan imam praja nantinya. Ada yang mengusulkan: Rama Werel, Rama Wipro, sebutan Rama Praja belum terungkap” (J. Kardinal Darmojuwono, Surat kepada para Imam Praja di Keuskupan Agung Semarang, Kamis Putih, 3 April 1980).
Umat pada waktu itu secara spontan segera menyebut Rama Muda untuk mereka yang belum ditahbiskan dan Rama Praja untuk mereka yang telah menjadi imam.
Pada akhir-akhir ini, dipakai istilah imam diosesan untuk menunjukkan bahwa imam tersebut adalah milik dan menunjukkan hubungan atau keterkaitan dengan keuskupan (dioses) tertentu. Misalnya, seorang imam disebut sebagai imam diosesan Semarang setelah ia mengikatkan hidupnya atau menginkardinasikan dirinya dengan Keuskupan Agung Semarang.
PS: Artikel ini pernah dimuat di Majalah PRABA, edisi Juni 2019oleh penulis yang sama.