INI nukilan kisah dari seorang imam untuk para sahabat kolega pastor. Ditulis dengan judul Imamat dan Uang. Sebuah refleksi berdasarkan Injil hari ini: Mat. 26: 14-25.
Pengantar
Sahabatku, para kolega imam.
Ketika menulis ini, saya tidak memposisikan diri sebagai orang yang bersih. Pun juga bukan sebagai seorang uskup yang menasihati para imamnya. Melainkan dalam rasa “curhat seorang imam kepada teman-teman kolega se-imamatnya.”
Imamat Yesus dalam bejana tanah liat para imam
Sahabatku, para imam.
Dalam ekaristi pagi tadi, ada sebuah homili yang bagus penuh makna; terutama dalam hubungan dengan kita para imam. Homili itu dibawakan oleh Romo Jimmy Balubun MSC yang setelah menjelaskan tentang hancurnya “imamat “Yudas Iskariot karena uang, maka Pastor Balubun menutup homilinya dengan mengatakan sebagai berikut.
“Setelah saya merenungkan Injil hari ini, maka inilah bagian yang paling mengerikan dan menggentarkan jiwaku adalah kutipan perikop yang berbunyi: Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku.” (Mat 16:23).
Kata-kata Yesus ini adalah jawaban-Nya kepada para Rasul yang bertanya tentang siapa di antara mereka yang akan menyerahkan Dia. “Dan dengan hati yang sangat sedih berkatalah mereka seorang demi seorang kepada-Nya: “Bukan aku, ya Tuhan?” (Mat 16:22).
Sahabatku, para imam.
Ini harus menjadi kesadaran utama bahwa bukan karena sukanya kita, pun bukan karena pilihan kita semata, melainkan karena kehendak Yesus sendiri, maka engkau dan aku dipanggil dan dipilih menjadi imam-Nya.
Bukankah Ia pernah bersabda: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” (Yoh 15:16). Dan sungguh terasa sangat indah nan mengagumkan bahwa Imamat Suci-Nya rela diberikan kepada kita semua yang dipanggil dan dipilih menjadi imam-Nya.
Ya, Ia meletakan imamat suci-Nya di dalam diri kita bagaikan bejana tanah liat; yang selesai dibentuk dan terlihat indah, karena kesabaran tangan si pengrajin.
Realitas imamat kita saat ini
Sahabatku, para imam,
Beberapa hari lalu, saya ditelepon oleh seorang mantan frater -teman seangkatan saya di Seminari Tinggi Pineleng, Manado. Ia minta saran dan masukan dari saya. Karena keprihatinannya bersama beberapa awam yang melihat praktik hidup kita para imam yang sudah melenceng dari martabat imamat kita. Maka, teman itu kemudian syering sebagai berikut.
“Bapa Uskup, berilah masukan kepada kami para awam tentang apa yang harus kami buat untuk para imam kami. Sebab faktanya beberapa imam dikesankan kuat sudah tidak hidup lagi selayaknya seorang imam.
Terjadinya skandal dengan perempuan maupun sesama jenis anak-anak lelaki. Sementara yang lain berperilaku sangat materialistis sehingga memiliki barang-barang nan mewah. Belum lagi, juga ada keinginan tak tertahankan untuk mengumpulkan uang yang banyak.
Demikian pun fakta bahwa ada juga sebagian imam yang tidak memiliki jadwal misa yang jelas di parokinya. Ia juga sering marah-marah; bahkan saat memimpin perayaan ekaristi. Juga terlalu memberi perhatian kepada lingkaran keluarganya secara sangat berlebihan.
Sahabatku para imam,
Mungkin keluhan seorang awam di atas bersifat kasuistik. Pun juga tidak dilakukan oleh semua dari kita. Karena ada juga begitu banyak di antara kita yang tetap setia dalam imamat, tetap berlaku sederhana dalam hidup dan penampilan. Juga masih sangat bersemangat berkurban untuk umat yang dilayaninya.
Namun, hendaknya kita membaca dan merenungkan keluhan di atas sebagai sebuah realitas hidup kita para imam di zaman moderen ini.
Kita para imamlah yang mencelupkan tangan ke dalam pinggan suci
Sahabatku, para imam
Bila kita jujur mengatakan, maka hancurnya imamat mungkin hanya 5-10% dari luar diri (faktor eksternal). Tetapi lebih besar kemungkinan kita sendirilah yang menghancurkannya. Lantaran cinta akan uang dan ketidakmampuan kita mengontrol hati, pikiran, dan keinginan manusiawi kita.
Pengalaman kehancuran “imamat” Yudas bukan dari relasinya dengan orang lain, tapi dari dirinya sendiri yang cinta akan uang. Hanya Yudaslah yang mencelupkan tangannya ke dalam pinggan suci Yesus. Bukan agar semakin disucikan, melainkan membuatnya semakin nekat mengkhianati Sang Gurunya.
Demikian pun bila secara jujur kita bermenung, maka setiap saat dalam perayaan ekaristi, kitalah yang memegang, mencelupkan serta makan dan minum dari piala yang satu dan sama dengan Yesus. Tetapi kita jugalah yang menodai tangan dan mulut kita yang disucikan itu, ketika kita mempraktikan imamat kita dalam kehidupan nyata setiap hari.
Maka Yesus selalu mengingatkan kita para imam-Nya: “Dia (baca: engkau dan aku) yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya (tangan kita) ke dalam pinggan ini, dialah (engkau dan aku) yang akan menyerahkan Aku.”
Selalu ada ruang untuk bertobat dan berubah: Engkaulah Imam Kristus sampai selamanya
Sahabatku, para imam,
Berubah itu sulit. Tapi tidak mau berubah, maka itu fatal namanya.
Ini adalah nasihat bijak yang hendaknya membuat kita berjuang untuk menjadi “imam-Nya yang kudus sehingga mampu menguduskan umat yang Tuhan percayakan kepada kita.”
Demikianlah nasihat Santo Yohanes Maria Vianney, pelindung kita para imam.
Sahabatku, para imam.
Ingatlah bahwa tidak ada kata terlambat,bila kita ingin bertobat dan berubah. Percayalah bahwa di hati Tuhan selalu ada ruang untuk mendapatkan belas kasihan dan pengampunan.
Tidaklah kita merasakan getaran belas kasih-Nya ketika Ia bersabda: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34).
Walaupun untuk kita yang berdosa ini, yang sebenarnya adalah kita meminta Tuhan mengampuni dosa-dosa yang kita lakukan dengan tahu dan mau. Atau tidak rasakah kita akan kelembutan kata-kata pengampunan-Nya seperti kepada perempuan yang kedapatan berzina: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh 8: 11)
Karena itu, sahabatku, para imam.
Jangan takut untuk datang memohon ampun dari-Nya, karena Ia sangat rela mengampuni kita sehingga jiwa kita didapatinya bersih dan suci seperti janji-Nya: “Sekalipun dosa-dosamu seperti kirmizi, itu akan menjadi seputih salju; sekalipun dosa-dosamu merah seperti kesumba, itu akan menjadi seperti bulu domba.” (Yes 1:18)
Itu janji Tuhan maka pasti Ia akan penuhi kepada kita para imam-Nya, karena imamat suci-Nya yang telah disematkan kepada kita tak mungkin ditarik kembali, kendatipun ada salah dan dosa dari pihak kita.
Penutup
Sebagai seorang sahabat, aku hanya ingin agar ketika engkau -para sahabatku- memperbaharui janji imamat sucimu dalam Perayaan Ekaristi esok, engkau sunggguh diperbaharui baik dalam hati, pikiran. Terutama dalam praktik hidupmu sebagai seorang imam Kristus di masa yang penuh tantangan ini.
Salam, doa dan berkatku untukmu para sahabatku
Ambon, 27 Maret 2024
Mgr. Inno Ngutra
Uskup Keuskupan Amboina
Terima Kasih Bapak Uskup atas permenungan yang sangat menginspirasi. Tuhan memberkati Bapak Uskup