Penyakit yang paling ditakuti pada jaman Yesus adalah penyakit kusta. Pada waktu itu yang dianggap kusta ialah semua penyakit kulit yang menjadi luka terbuka dan meluas. Orang yang kena kusta harus dikucilkan dari rumah dan kampungnya.
Mereka tidak boleh berhubungan dengan orang sehat dan menjadi orang najis. Jadi sakit kusta, tidak hanya menderita badannya, tetapi juga relasinya dengan sesama dan dengan Tuhan, karena menjadi manusia najis, terkena tanda kutukan Tuhan. Orang yang sakit kusta itu, pasti sangat putus asa, sehingga ia berani datang mendekat dan berlutut di hadapan Yesus.
Ia bisa dihukum rajam sampai mati karena mencemarkan orang sehat, seorang Rabi pula. Tetapi ia juga orang beriman, pasrah dalam pengharapannya; ia tidak meratap-ratap tentang nasib malangnya; ia hanya berkata: “Jika Engkau mau…” Yesus melihat iman dan kepasrahan orang itu, berbelas kasih padanya.
Yesus menyentuh orang itu! Yesus mengambil risiko menjadi najis, demi memulihkan rusaknya hubungan orang itu dengan sesama dan dengan Tuhannya. Yang dipulihkan Yesus bukan hanya tubuhnya, tetapi seluruh relasinya dengan sesama dan dengan Allah. Orang itu begitu bahagia, sehingga tidak dapat menahan diri untuk diam, ia tidak dapat mematuhi larangan Yesus, mewartakannya kemana-mana.
Belajar dari orang kusta
Kita dapat belajar dari orang kusta itu: iman itu bukan sekadar pasrah dan percaya, tetapi juga berani ambil risiko. Meloncat dari keamanan menuju harapan yang lebih baik, meski harus melalui ketidak pastian. Iman juga punya unsur bahagia yang menyebar luaskan. Pada saat harus mengajukan permohonan tahbisan, saya merasa takut dengan kelemahan-kelemahan saya, sehingga ragu apakah saya layak untuk ditabhiskan menjadi imam? Tetapi saya melihat: Tuhan sudah membimbing saya selama 10 tahun pembinaan saya sebagai frater.
Apakah saya berani percaya bahwa Tuhan masih akan membimbing saya? Dengan keyakinan dan harapan itu, saya ‘meloncat’ ke jurang ketidak pastian dengan keyakinan bahwa tangan Tuhan ada di bawah sana, siap untuk menerima saya dengan semua keterbatasan dan kelemahan saya. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang saya timba berulang-ulang untuk mencari kekuatan pada saat saya merasa lemah dan lesu dalam panggilan saya sebagai imam.
Tetapi yang lebih penting adalah sikap Yesus kepada orang kusta itu. Yesus melihat ketakutan, keputus asaan dan kesedihan mendalam orang itu. Ia orang terbuang dari lingkungannya, juga dari Allahnya. Sentuhan Yesus itu yang menyembuhkan sakit relasinya. Sesama dan Allah menerima dia, meski ia masih kusta dan belum tahir.
Yesus memulihkan dulu relasinya dengan dirinya sendiri, sesama dan Tuhannya, baru menyembuhkan penyakit badannya. Sebuah peristiwa iman yang luar biasa: belas kasih Tuhan melampaui iman, kepasrahan dan keberanian manusia untuk berubah.
Apakah ini juga pengalaman iman kita? Berapa diantara kita sungguh mengalami keputus asaan, situasi yang nampaknya tanpa jalan keluar sehingga kita berani pasrah dan mengambil resiko apa pun bersama Tuhan untuk keluar dari situasi itu dan bertumbuh? Mungkin tidak banyak diantara kita yang mengalami hal seperti itu. Bisa jadi karena kita tidak pernah mengalami situasi terpojok seperti itu; atau tidak punya keberanian sebesar itu untuk pasrah kepada Tuhan. Jadi jika situasi ini tidak banyak yang mengalami, apa pesan Injil hari ini bagi kita?
Ada seorang pemburu yang seharian berburu di hutan dan tidak menemukan apa-apa. Ia menjadi putus asa. Ia melihat seekor serigala tua yang sudah lumpuh. Ia heran bagaimana serigala itu bertahan hidup. Ia bersembunyi dan menunggu. Seekor harimau datang membawa mangsanya; sesudah ia puas makan ditinggalkannya sisanya di depan gua serigala itu, sehingga ia masih dapat makan. Pemburu itu sangat terkesan oleh kemahabijaksanaan Tuhan.
“Mengapa saya menjadi khawatir dan putus asa? Tuhan akan mencukupi segala kebutuhanku.” Ia segera pulang dan mulai bertapa, menunggu tindakan Tuhan. Beberapa hari ia menunggu dan tidak terjadi apa-apa, sampai ia hampir mati kelaparan. Pada saat itu terdengar suara: “Hai orang sesat, buka matamu pada kebenaran. Ikuti teladan harimau dan berhentilah menjadi serigala yang lumpuh!”
Banyak orang membutuhkan sapaan dan jamahan Tuhan dalam hidup mereka. Jika hidup kita bebas dari beban putus asa dan terpojok tanpa jalan keluar, bukan kah ini merupakan tanda bahwa kita bukan serigala lumpuh? kesempatan untuk menjadi harimau, yang menjadi tanda kebesaran belas kasih Allah yang mau menjangkau mereka yang lemah, tersingkir dan tak berdaya? Amin.
MINGGU BIASA 6, B; 12 Pebruari 2012
Im. 13:1-2.45-46; 1Kor. 10:31-:1; Mrk. 1:40-45