Iman Katolik: Gereja Daring, Gereja Ideal dan Gereja Virtual

0
301 views
Ilustrasi: Mengikuti misa online oleh Keluarga Salihin.

TAK ada orang yang mengira bahwa dunia, juga Gereja, mau dan mampu berubah secepat di tahun 2020 ini. Cara hidup, berpikir, bertindak, beragama, beriman semua mesti berubah.

Ada yang enggan, tetapi tak mungkin melawan, sehingga pelan-pelan ikutan juga.

Perubahan yang membuyarkan, tapi juga menyegarkan. Sebab perubahan ini mengundang dan mengandung tantangan bagi kita untuk mengubah –kalau tak boleh disebut memperbarui- sikap dan perilaku kita.

Sikap dan perilaku  terhadap diri sendiri, sesama, Tuhan dan terhadap alam ciptaan.

Kualitas iman meningkat, walau kadar agama menurun. Walaupun penghayatan agama mungkin menurun, atau malah menghilang, namun sebenarnya kualitas iman umat justru meningkat.

Dengan model ekaristi online, iman justru makin berkualitas. Doa menjadi asli dan khusuk. Tidak bias lagi dengan pakaian bagus, gereja megah. Sahaja, sederhana di rumah masing-masing umat. Asli apa adanya merayakan ekaristi dengan hati dan budinya.

Jauh dari kata, lahir dan batin yang mengeluh atau sibuk iri hati dengan apa yang dilihat dengan matanya didengar lewat telinganya. Tidak punya lagi alasan untuk bersombong diri atau megahkan jiwa atas sesama umat lainnya.

Kecuali minus komuni suci, lainnya, segala sesuatunya boleh dikata lebih menyentuh dan membekas di hati.

Mengapa?

Sebab menjadi nyata dan jelas bahwa yang paling hakiki adalah relasi hati dengan Tuhan sendiri. Yang lain, tempat dan saat, gambar dan siaran virtual, semuanya hanyalah sarana. Sarana untuk berrelasi dengan Sang Kasih, Tuhan yang diimaninya.

Kualitas imam dicari dan dipilih

Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, mau atau tidak, yang terjadi adalah seleksi alami. Kalau sebelumnya, umat hanya terima jadi, tidak bisa memilih imamnya, bahkan waktunya, kini berbeda. Umat sungguh bebas memilih waktu yang dirasa paling pas untuk seluruh keluarganya. Mau ekaristi pagi, siang, atau sore, terbuka dan bebas memilih.

Begitu pula imamnya.

Dulu jangankan memilih, mengeluh pun seakan tabu, tidak mungkin. Walau imamnya terlambat mulai ekaristinya, hanya karena telat bangun tidurnya, yang disebabkan oleh acara malam sebelumnya. Umat tak bisa menolaknya.

Kini, umat leluasa memilih dan sebenarnya tanpa dihantui rasa bersalah atau takut dipersulit bila perlu pelayanan di kemudian hari.

Di sisi lain, imam yang kurang sedia belajar untuk meningkatkan kualitas homilinya, tak akan jadi pilihan umat untuk diikuti ekaristi dan kotbahnya. Artinya juga, batasan teritorial, di wilayah parokinya tidak lagi satu-satu saat dan tempat berekaristi mingguan.

Dan kalau ada umat paroki A dan ekaristi minggu di paroki B atau lintas keuskupan pun tak kan ada yang melarang atau mencacinya.

Dua puluh tahun lalu, ketika saya bilang Gereja tak mengharuskan umat mengikuti Ekaristi Minggu di parokinya masing-masing, maka saya dicaci dan dimusuhi pastor parokinya.

Kini, umat boleh melenggang mencari imam dan ekaristi pilihan hatinya.

Kualitas ibadat juga dicari

Imam pemimpin ekaristi hadir di dunia maya lengkap dengan ciri pribadinya sendiri. Ada yang ekaristinya, kaku, kadang wagu. Ada juga imam yang ramah, sumeh.

Ada yang suka menyanyi dengan lagu istimewa. Ada yang memainkan alat music kebisaannya. Ada yang penuh selingan canda dan tawa, sehingga ibadat jadi segar. Ada yang kotbahnya menggetarkan. Dan umat bebas memilih mana yang memenuhi kebutuhan dan suasana hati nuraninya.

Yang ibadatnya sarat inovasi dan penuh inspirasi pasti ia kan dicari, dan ditunggu kapan lagi. Ada yang melayani umat per kategori, alias kategorial. Itu pun menarik untuk diikuti, memperkaya kebiasaan ekaristi satu untuk semua.

Umumnya semua umat: yang anak, yang remaja, yang muda, yang tua maupun lanjut usia, dilayani dengan satu ekaristi yang sama. Padahal kebutuhan rohani masing-masing kategori usia itu berbeda.

Yang remaja, yang muda, yang lansia, kebutuhan personal dan spiritualnya berbeda. Ini perlu jawab yang berbeda pula. Itulah yang dibuat Gereja Virtual Theresia Jakarta.

Model Gereja teritorial tidak cukup

Di masa Gereja Virtual ini menjadi nyata, jelas dan tegas bahwa Gereja Teritorial-Parokial tidaklah cukup. Di tengah masa Gereja Virtual, pilihan untuk beribadah dan menyembah Allah,  tersedia secara melimpah.

Ini  membuka peluang untuk memilih mana yang lebih memenuhi kebutuhan nurani dan rohaninya umat. Seakan menjadi nyata terbuka, bahwa yang tertinggal di Gereja Teritorial-Parokial, hanya yang terkait dengan administrasi agama saja.

Yang berupa inspirasi, motivasi iman, sudah terpenuhi di Gereja Virtual. Hal ini mestinya dapat menggugah pikiran pimpinan dan pejabat Gereja untuk menemukan peluang pelayanan iman yang sesuai zaman. Paling mudah, di masa transisi, atau untuk sementara baiknya jalan di dua jalur.

Jalur Gereja Parokial dan sekaligus secara bersama tetap tersedia jalur Gereja Virtual.  Dengan begitu, diharapkan kebutuhan spiritual umat dapat secara optimal tertanggapi.

Harus berani menjadi Gereja Virtual

Gereja Virtual berarti harus siap dengan perangkat dan pelayanan model virtual. Ini sama saja harus meningkatkan kualitas imam dan pelayanannya, supaya dapat bersaing denga imam dan pelayan Gereja Virtual lainnya.

Kualitas perangkat siaran; kemampuan internetnya? Kemampuan transaksi dengan uang virtual juga harus siap.

Pelajari dari Gereja-Gereja Virtual lainnya: waktunya  kapan (pagi-siang-sore) yang paling banyak diikuti umat. Harus dipelajari dan ditemukan kenapa Gereja Virtual A, paling banyak diikuti  umat dalam streaming ekaristinya?

  • Apakah lamanya ekaristi?
  • Apakah kotbah imamnya?
  • Apakah model ibadatnya?
  • Inspirasi atau inovasi macam apa yang paling menggerakkan umat?

Semua dengan mudah  dapat dipelajari lewat media online.

Pola ibadat Gereja Virtual sebaiknya juga dikembangkan lebih lagi. Misalnya, di samping lagu liturgi, yang sudah amat dibatasi, sekarang ini terasa perlu tersedianya lagu-video lagu-lagu yang menyentuh rasa hati dan  menggetarkan jiwa tuk memujiNya.

Lagu-lagu ini tidak harus memenuhi kategori lagu liturgi, sebab dapat disiarkan secara virtual di luar maupun di dalam liturgy, baik untuk mendukung liturgi maupun untuk memperkaya liturgi.

Ada banyak lagu bagus. Ada banyak penyanyi dan pemusik andal di Gereja kita, tetapi mereka ini masih bergerak dan berjuang sendiri. Sekarang inilah saatnya, dalam masa Gereja Virtual untuk memberdayakan umat agar bernyanyi, memuji Tuhan dengan suara indah anugerah Allah milik begitu banyak umat. 

Sebut saja, misalnya selama menunggu waktu ekaristi online dimulai, dapat diperdengarkan lagu-lagu yang mengangkat hati, melambungkan jiwa untuk memuji-Nya. Atau dapat pula sesudah liturgi ekaristi. Dengan cara itu, yang menyanyi senang, yang mendengarkan atau ikut menyanyi juga senang.

Sebut saja 15 menit sebelum dan 15 menit sesudah ekaristi adalah waktu  suci mendukung ekaristi. Sebab umat yang ikut perayaan ekarsiti online, juga tidak cukup lagi hadir dengan mata lahir. Umat yang beribadat hadir  mata hati dan telinga jiwa. Lagu yang menyentuh hati, dan membakar jiwa, tentu akan sangat berarti  dan  cocok dengan umat virtual ini.

Gaya dan model kotbah pun sangat dimungkinkan untuk berubah dan berkembang. Sebab kotbah imam di masa Gereja Virtual, sesungguhnya  dapat dilengkapi dan diperkaya dengan gambar atau video yang disiapkan sebelumnya. Bdk. kotbah Romo Dedomau da Gomez SJ yang selalu dengan narasi audiovisualnya.  

Gaya dan model doa pun dapat diolah dengan baik. Agar tidak terjadi doa monoton atau  boring. Contoh paling pas untuk ini adalah ketika ada doa Rosario Laudato Si yang dipimpin oleh para uskup.

Antara uskup yang satu dan yang lainnya, tidak ada cukup variasi yang menyegarkan. Padahal temanya sebenarnya sangat kaya untuk dieksplorasi, sehinga potensial variasinya sebernarnya sangat besar dan leluasa.  

Gereja Virtual juga mengundang serta menantang kita semua untuk meningkat kualitas medianya. Bagaimana agar gambar dan suara tidak ada penundaan, sehingga seperti kejar-kejaran. Bagaimana suara imam dapat terdengar optimal.

Tidak terkendala teknis, suara hilang, atau suara kecil. Imamnya pun perlu belajar menggunakan microphone dengan maksimal. Posisi dan jarak mic dengan mulut jangan jadi halangan siaran streaming.

Imam perlu belajar lagi, dari umat, dari imam lain. Dengan mudah imam sekarang dapat bertanya pada umat, lewat media on line YouTube, atau bahkan WA. Imam mana yang kotbahnya paling banyak digemari?

Kalau pun tidak, imam juga dapat dengan rendah hati belajar dari imam lain yang tidak pernah ditemuinya. Misalnya imam dari Ordo-Kongregasi lain, imam dari keuskupan lain. Lihat saja di YouTube, ekaristi siapa yang paling banyak dilihat oleh pengguna YouTube. Lalu diperhatikan, dipelajari.

Minimal dapat belajar pola, atau metodenya. Isi dan asli jatidirinya, tidak usah diganti, tetapi cara dan metode dapat mencontoh imam lain.

Keunikan tidak perlu diubah, tetapi gaya dan cara boleh diperbarui.

Semoga Tuhan makin dimuliakan dengan perubahan dan pembaharuan Gereja, menjadi Gereja Virtual.

 Imam, umat, ibadat, kotbah semua perlu diperbaharui, kagem Gusti lan sesami.    

Semarang, 26 Juli 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here