SAYA seorang ibu muda, babtis Katolik. Waktu kanonik, sebelum nikah dulu, berjanji akan mendidikan anak secara Katolik. Kini saya menjadi bingung dan bertanya-tanya:
apa sih persisnya yang dimaksud mendidik anak secara Katolik itu? Apa ciri khasnya orangtua Katolik?
Tanggapan
Menurut saya, sebetulnya panggilan menjadi orangtua itu sama untuk semua orang. Yakni panggilan prokreasi.
Panggilan untuk terlibat dalam karya ciptaan Tuhan.
Konkretnya adalah panggilan untuk melahirkan dan membesarkan anak hingga menjadi manusia dewasa. Eksistensi menjadi orangtua adalah ada dan tumbuh kembangnya anak.
Panggilan menjadi orangtua Katolik menjadi istimewa, sebab Tuhan kita adalah Tuhan yang immanen (tinggal bersama kita). Emanuel adalah Tuhan yang tinggal di antara kita.
Dalam Yesus, Tuhan hadir dan mengalami artinya hidup jadi manusia. Jadi dalam seluruh proses prokreasi, orangtua mesti menemukan dan melibatkan Tuhan.
Proses prokreasi: dari anak dalam kandungan sampai ia jadi menjadi dewasa, tak boleh dilepaskan dari kuasa kasihNya. Kalau Tuhan adalah kasih, maka orangtua tak boleh meninggalkan tanggungjawabnya yang pertama dan utama. Yakni, mengasihi anak dan mendidik anak untuk belajar mengasihi Tuhan dalam sesama.
Setiap dan semua tindakan yang mengakibatnya anak lepas dari kasih adalah pengingkaran diri atas panggilan prokreasi. Sayangnya, sering kali terjadi orangtua yang bermaksud mengasihi anak, justru mengambil anak dari kuasa kasihNya.
Dengan kata lain, sejak dari hamil, bahkan sebelum kehamilan sampai anak dewasa nantinya, pertanyaan sama mesti selalu diajukan oleh kedua orangtua Katolik.
Pertanyaan ini harus selalu bisa dijawab sendiri oleh kedua orangtua anak.
Pertanyaannya adalah: bagaimana kita menemukan dan melibatkan Tuhan dalam dan selama mendidik anak yang dipercayakan Tuhan kepada orangtuanya?

Kehamilan
Masa kehamilan anak adalah masa yang indah. Kehamilan adalah saat istimewa ketika orangtua melihat, dan terlibat secara nyata dalam karya Allah mencipta manusia. Proses perkembangan fisik dan jiwa seorang pribadi, seorang anak dalam rahim sang ibu.
Terjadinya dan terbentuknya seorang pribadi di rahim ibu adalah suatu proses mukjizat. Ada kekaguman ada ketegangan.
Ada syukur dan ada pula khawatir. Ada gelisah ada pula pasrah. Ada harapan dan ada pula kecemasan. Merasa hidupnya penuh makna tapi sekaligus serba di luar kuasanya.
Dan itu semua, mengundang banyak cinta untuk anak. Undangan ini membawa konsekuensi. Yakni bahwa untuk menjadi orangtua, mereka harus siap sedia untuk berkurban dan berjiwa besar.
Bersemangat seperti Santo Yohanes pembabtis: Biarlah ia semakin besar dan aku semakin kecil.
Kehamilan awal adalah saatnya bersyukur dan berbahagia akan hadirnya seorang pribadi secara unik, seorang anggota keluarga baru. Jadi, mestinya fokus orangtua adalah anaknya.
Selama kehamilan, orangtua dipercaya untuk menyiapkan anak mengenal orang-orang terdekat dan dunia sekitarnya. Saat berahmat untuk mengenalkan tata nilai kasih, kehidupan dan kasih pengampunan pada anak yang di kandungannya.
Tentu untuk itu, perlu berkomunikasi dan berinteraksi dengan si kecil, pribadi dalam rahim ibu. Dan anak di kandungan ibu akan menyerap semua yang dirasakan dan dipikirkan ibunya.
Ibu dan siapa pun hendaknya tahu bahwa anak di kandungan sudah selalu bisa diajak bicara. Ketika makin besar, anak pun bisa merespon dengan gerakan atau tendangan di perut ibunya.
Fokus untuk mencintai anak jangan sampai ternodai oleh dorongan atau keinginan orangtua untuk numpang kepentingan lewat kehamilan. Seperti misalnya sebelum orang lain melihat perut buncit karena kehamilannya, maka tidak perlu ‘show off’ dengan mengenakan baju hamil.
Sebab dengan begitu fokus orang akan tertuju kepada si ibu hamil, bukan pada anak yang dikandungnya. Kehamilan anak adalah saat untuk focus mencintai anak yang dikandungnya, bukan untuk ibu yang hamil.
Jangan biarkan godaan menguasai ibu yang hamil, untuk berpikiran dan berperasaan negatif. Sebab anak yang dikandungnya akan menyerap dan menyimpannya dalam jiwanya.

Itulah sebab ibu hamil tak boleh mendengar, melihat hal atau kejadian yang menggoncang emosi secara luar biasa, apalagi terkait dengan anak yang sedang dikandungnya.
Dalam hal ini berlaku sabda menjadi daging. Isilah mulutmu dengan ‘sabda’ yang baik lagi mulia. Supaya yang sabda menjadi nyata, anak yang terlahir adalah yang anak yang baik dan mulia pula.
Kelahiran
Di zaman ini, dengan mudah kelahiran anak menjadi kesempatan untuk mengedepankan bahkan menonjolkan diri sendiri. Misalnya dengan mengunggah gambar-gambar anaknya di media. Unggahan di medsos memang tidak dilarang.
Tetapi sebaiknya disadari bahwa anakmu tidak butuh itu. Yang dibutuhkan adalah fokus, cinta hanya buat anak. Jangan terjebak dengan mengangkat namamu lewat kelahiran anakmu.
Perlu diingat bahwa anakmu bukan keberhasilanmu semata. Ada campur tangan dan rencana Tuhan di sana. Unggahan tentang kelahiran anak, sebaiknya sewajarnya saja.
Orang yang membaca pasti akan merasa, walau tidak dapat membuktikan: diri anak atau diri orangtua yang mau diangkat lewat unggahan di medsos tersebut.
Unggahan berlebihan di media yang berlebihan juga bisa ‘negatif’ bagi sesama dan dunia. Misalnya mereka yang lama merindukan anak, tetapi belum dikabulkan. Artinya segala sesuatunya mesti fokus pada anak. Bagaimana agar anak dapat dicintai secara maksimal. Sebab itulah kehendak Allah atas setiap orangtua.
Ada, lahir, dan perkembangan anak membutuhkan cinta penuh dari orangtuanya. Seperti Bunda Maria dipercaya untuk mengandung, melahirkan serta membesarkan Yesus.
Semuanya demi satu tujuan, Yesus mencintai dan mentaati kehendak BapaNya. Setiap orangtua Katolik hendaknya menghayati diri seperti Bunda Maria dan Bapa Yosef yang dipercayai untuk mendidik Yesus jadi putra Bapa-Nya.
Setiap anak dipercayakan kepada orangtua oleh Tuhan, untuk mendidik anaknya menjadi anak Tuhan di jamannya. Bagaimana itu?

ASI (Air Susu Ibu)
Tuhan telah menyediakan ASI untuk setiap anak yang dilahirkan orangtua. Saya juga percaya bahwa setiap ibu punya cukup ASI untuk anak yang dilahirkannya. Kalau pun dianggap kurang, orangtua mesti berusaha sungguh untuk dapat memberi anaknya ASI.
ASI bukanlah sekedar minuman pelepas dahaga anak. ASI adalah air kasih dan kehidupan titipan Tuhan untuk anak yang dilahirkannya. Maka setiap orangtua mestinya memberikan ASI pada anaknya, sampai tetes ASI terakhir dari ibunya.
Sudah tak terbantahkan lagi, bahwa secara alamiah dan ilmiah ASI adalah yang terbaik untuk anak sampai anak tidak membutuhkannya lagi. Jangan sampai ada orangtua Katolik yang enggan memberikan ASI pada anaknya, dengan berbagai alasan rasionalnya.
Proses menyusui adalah proses mencintai, proses transfer kasih dari Ibu dari Tuhan lewat ibunya. Maka ASI itu mengeratkan dan menyehatkan relasi lahir batin antara ibu dan anak. ASI lah yang menumbuhkan imunitas anak seumur hidupnya.
Apalah artinya dua tahun pertama menyusui anak disbanding puluhan tahun hidup anak nantinya. Sudah banyak contohnya anak yang tidak diberi ASI, kurang sehat dan kurang kuat, jasmani, dan rohani. Anak ada dan lahir oleh kasih Tuhan, lewat kasih kedua orangtuanya.
Maka yang pertama dan utama mesti diberikan ke anak adalah ASI. Susu lain, yang adalah susu sapi mestinya hanya sebagai tambahan, bukan menggantikan susu ibu.
Saya lebih percaya bahwa susu ibulah yang akan memberi kecerdasan pada anak. Saya juga lebih percaya ASI jauh lebih sehat, meskipun tidak selalu membuat anak gemuk. Jangan salah, anak yang gemuk mungkin menyenangkan, membanggakan orangtua, tetapi apa menyehatkan anak?
Mestinya tujuannya adalah demi anak, bukan demi orangtua.
Salah satu untungnya ASI ialah anak tidak perlu dot. Masalahnya dengan dot bukan terletak pada “nipple” palsu. Tapi soal kenyamanan bagi anak. Dengan dot anak sungguh dibuat nyaman. Bisa minum sambil tiduran, sambil nonton sesuatu, minum sambil jalan-jalan.
Yang juga hilang adalah juga bahwa dengan dot tidak terjadi interaksi antara anak dan orangtua. Interaksi yang dapat dipakai untuk transfer nilai, atau mengajak anak untuk berimaginasi. Dengan dot otak anak tidak dibiasakan untuk berpikir, semua tinggal menikmati.
Anak yang terbiasa tidur dengan ngedot juga akan mengalami kesulitan kalau harus tidur tanpa ngedot.
Silakan perhatikan, apa benar pengamatan saya, anak yang terbiasa ngedot, respon nya terhadap ide atau gagasan juga akan lebih lambat. Anak tidak langsung menangkap apa yang kita mau sampaikan. Anak akan butuh waktu lebih lama untuk merespon sesuatu.
MPASI itu pendamping
Kalau orangtua menempatkan ASI sebagai berkat dan rahmat Tuhan atas orangtua dan anak, maka sikapnya terhaap MPASI juga akan sejalan. MPASI adalah makanan pendamping, bukan pengganti ASI.
Namanya pendamping, jadi yang utama adalah tetap ASI. Memang MPASI adalah juga kesempatan untuk belajar cara makan yang sehat, dan belajar makan makanan sehat.
Dengan ASI, anak kita menyantap asupan/nutrisi dengan menghisap putting susu ibu. Dengan MPASI anak kita belajar mengunyah. Mengunyah berarti menggerakkan rahang. Gerakan rahang ini merangsang saraf-saraf yang diperlukan untuk pertumbuhan anak selanjutnya.
Bagi anak, rasa bukanlah yang utama. Artinya, rasa enak bukanlah yang utama. Maka selama MPASI adalah masa untuk mengenalkan aneka makanan sehat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Anak belum makan karena rasanya. Mumpung belum kenal rasa, saat tepat untuk kenalkan makan-minum yang paling sehat.
Sebaiknya semua asli dan alami saja, jangan ditambah gula atau garam. Sebab kalau anak sudah terbiasa makan makanan yang tidak sehat, bergula dan bergaram, atau makan makanan pabrikan atau kemasan, apalagi olahan, nanti anak susah untuk diberi asupan makanan sehat.
Kebiasaan makanan sehat, adalah tanggungjawab orangtua. Anak hanya akan ikut saja apa yang diberikan, diajarkan oleh orangtuanya.
Karena tujuan di atas maka, porsi makan anak selama MPASI bukan pula yang utama. Selama MPASI berilah anak makan secukupnya, cenderung sedikit saja.
Jangan sampai ukurannya anak “doyan” atau “mau”, sebab ukuran demikian itu keliru. Anak akan menyantap berapa pun porsi yang diberikan ke anak.
Dia belum bisa mengukur kebutuhannya. Maka, kalau selama MPASI anak sudah terlanjur makan dengan porsi besar, lambungnya juga akan membesar. Anak hanya akan “kenyang” setelah diberi makan ‘banyak’ pula.
Tangisan anak
Saya yakin bahwa yang alami selalu lebih baik. Sebab yang alami, adalah yang paling sesuai dengan rancangan Tuhan sendiri. Anak menangis itu alami. Maka tangisan anak jangan mengubah focus orangtua dalam mencintai anaknya. Bagi anak, tangis adalah bahasa atau cara anak berkomunikasi dengan orangtuanya.
Sebelum dilahirkan anak berkomunikasi lewat rasa. Setelah lahir, komunikasi dilakukan lewat indera. Tetapi indera belum dapat berfungsi sepenuhnya, maka lewat tangislah cara anak berkomunikasi. Sebelum bisa berbicara dengan kata-kata, seorang anak berkomunikasi dengan tangisnya. Sesungguhnya tangis itu menyehatkan seorang anak.
Secara fisik menangis dapat mengembangkan paru-paru. Secara psikologis tangisan anak yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya keinginanya, akan membuat anak belajar bahwa tidak setiap keinginan dapat atau harus dituruti. Maka orangtua mesti belajar mengenali dan memahami apakah alasan anak menangis.
Apakah ia menangis karena ada kebutuhan anak yang belum terpenuhi (misalnya haus atau ngompol) atau anak nangis karena ingin digendong, disuapin.
Sebagai orangtua mestinya tidak serta merta memenuhi keinginan anak. Anak akan belajar juga bahwa sekali nangis minta digendong, lain kali akan menangis lagi agar digendong.
Kala waktu makan anak bilang “pipis” lalu orangtua jatuh kasihan, lantas diizinkan tidak makan. Besok lain kali anak akan bilang “pipis”, jika ia tidak mau makan makanan yang tak disukainya.
Begitulah kalau orangtua tidak tega, atau kurang tegas, justru potensi membuat anak jadi manipulatif.
Dan jika kebiasaan ini berlangsung lama, anak bisa merasa itu sebagai kebenaran. Besok suatu saat, anak akan biasa bermain manipulasi yang lebih serius.
Orangtua semestinya waspada agar jangan terjebak pada “kasihan” terhadap anaknya. Tangis itu adalah undangan pada orangtua untuk mengasihi anak, bukan untuk jadi kasihan ke anak. Anak tidak minta dikasihani, melainkan minta dikasihi.
Para orangtua, silakan cek diri: ketika anak nangis di depan umum, –tantrum,- apakah orangtua malu, atau tidak?
Jika orangtua malu karenanya, maka fokusnya telah belok. Bukan anak tapi orangtua. Maka jangan heran, kalau yang terjadi orangtua justru kehilangan kesempatan untuk mengasihi anak.
Karena orangtua malu, maka anak justru akan diperlakukan dengan cara yang kurang/tanpa cinta kasih. Ketika malam-malam anak nangis, keras-keras, apakah orangtua merasa malu pada tetangganya?
Kalau ya, maka undangan untuk mengasihi anak justru lenyap, sebagai gantinya orangtua bisa jadi orangtua justru malah mengurbankan anaknya. Anak justru ditekan, untuk membuang rasa malu orangtua. Demikianlah demi rasa malu orangtua, anak jadi kurbannya.
Anak yang “dilarang” walau sebenarnya ia butuh menangis, akan mencari tempat dan kesempatan terus, kapan dia bisa menangis, yakni di tempat dan kesempatan ketika orangtua tak berdaya meredakan tangis anaknya.

Jangan kenakan “bajumu” ke anakmu
Banyak orangtua, juga orangtua Katolik yang secara tidak sengaja telah memakaikan ukuran dirinya pada anaknya. Misalnya, anak tidak boleh rebutan mainan. Kita yang dewasa pastilah tidak akan berebut mainan dengan orang lain.
Atau anak tak boleh lari-lari di rumah, atau tak boleh corat-coret di sempat tempat. Semua itu tentu orangtua sudah tidak membutuhkannya lagi. Tetapi anak perlu belajar memenuhi keinginannya atau mempertahankan “milik”nya. Untuk itu, maka anak akan rebutan sesuatu.
Anak masih perlu belajar menjaga keseimbangannya jika ia berlari. Untuk itu anak perlu berlarian ke sana ke mari. Anak perlu mengembangkan motoriknya, dengan corat-coret di mana-mana. Jangan hanya karena orangtuanya Katolik, lantas tidak boleh marah ketika ada teman yang menyerobot antreannya atau mengganggunya.
Atau anak gak boleh merebut kembali “milik-”nya yang direbut orang lain. Yang semacam ini kan sama saja dengan menjadikan anak “tua”sebelum waktunya. Karena orangtua telah menggunakan ukuran orangtua pada anaknya.
Jangan pula gak pernah memarahi anak, hanya karena orangtua yakin marah itu dosa. Kalau anak salah, anak perlu tahu bahwa itu keliru. Marah kadang diperlukan untuk menunjukkan kepada anak bahwa sesuatu tidak benar telah dilakukannya.
Anak yang tidak pernah dimarahi, dia akan merasa bhwa dirinya boleh melakukan apa saja. Anak yang tidak pernah ditegur akan kesulitan untuk mengenali mana kebenaran mana kesalahan. Tetapi menegur terlalu sering, juga akan membuat anak kehilangan kepercayaan dirinya.
Orangtua katolik mestinya memberi waktu dan kesempatan pada anaknya untuk menjadi dirinya sebagai anak. Termasuk kesempatan untuk berbuat salah. Jati diri anak adalah belajar. Belajar untuk berkata maupun bertindak, tentu kompleks tantangannya.
Salah satu akibatnya, karena lagi belajar, ia perlu meng-eksplor- segala sesuatunya. Tentu eksplorasi ini akan berakibat rumah jadi berantakan. Atau rumah penuh coretan. Itulah bayaran atau kurbannya.
Sebagai ibu Katolik mestinya akan merelakan barang atau belanjaan untuk masak didapur tersebar ke seluruh dapur, karena dipakai anak perempuannya untuk belajar. Belajar merasakan pegang beras, belajar petik-petik sayur dlsb.
Orangtua Katolik semestinya tidak selalu menuruti kemauan anak. Menuruti saja kemauan anak, hanya akan membuat anak jadi manja. Memanjakan anak juga terwujud dalam memenuhi kebutuhan anak, tanpa syarat apa pun.
Dalam sejarah peradaban manusia, tidak ada “orang besar” yang masa kecilnya dimanjakan orangtuanya. Orang besar, menjadi besar justru lewat pengalaman hidup yang sarat perjuangan dan pergulatan hidup sehari-hari.
Demikian orangtua kadang perlu menegur atau bahkan memarahi anaknya. Seperti Bunda Maria dan Yosef yang menegur Yesus yang tidak ikut pulang ke nasaret setelah perta perjamuan paska di kenisah.

Antara aman dan nyaman
Orangtua mestinya membuat anak aman, tetapi bukan nyaman. Aman itu berarti memungkinkan anak berkembang menjadi dirinya. Aman berarti menyingkirkan kecemasan dan ketakutan yang dapat mengganggu proses belajar anak. Sedangkan nyaman itu berarti segala sesuatu yang membuat anak keenakan.
Demikian sehingga anak tidak perlu berpikir, atau berusaha apa pun, sebab segala sesuatunya telah tersedia. Nyaman itu meskipun anak senang, tetapi sebenarnya justru meninabobokkan anak. Kenyamanan dapat menidurkan daya pikir, kemauan usaha, keberanian menghadapi tantangan.
Akibatnya akan membuat anak tidak kreatif, malas berusaha. Kalau tidak perlu berusaha, maka juga akan membuat anak malas berpikir. Sebab tidak ada gunanya berpikir. Semua sudah terpenuhi, kenapa susah-susah. Dia sudah hidup nyaman.
Akibat selanjutnya, anak tidak akan siap menghadapi ketidaknyamanan hidup di kemudian hari. Padahal hidup di dunia akan penuh ketidaknyamanan, bahkan kejam. Hidup itu perjuangan. Anak yang tidak biasa berjuang, dia akan kebingungan kalau henghadapi tantangan.
Dengan kata lain, anak juga perlu dibiasakan hidup dalam kedaan yang paling tidak ideal. Kalau anak sudah terbiasa tidur beralaskan tikar, dia pasti dapat tidur beralas kasur. Kalau anak terbiasa di kamar berangin jendela, dia akan mudah tinggal di kamar ber-AC. Tetapi tidak sebaliknya.
Anak butuh teman bermain
Anak butuh teman bermain, bukan barang-mainan, meski mahal sekalipun. Ketika orangtua sibuk bekerja cari uang biasanya tidak punya cukup waktu untuk anaknya. Hal itu tentu menyiksa batin disertai rasa bersalah dalam diri orangtua.
Rasa salah ini dapat mengalihkan fokus orangtua dalam mengasihi anak. Banyak orangtua yakin anaknya kecewa karena orangtua sibuk bekerja.
Kecewa mungkin saja. Tetapi sebenarnya, anak akan belajar untuk menyesuaikan diri dengan cepat. Sementara orangtua meyakini bahwa kekecewaan anak perlu diobati.
Tanpa tanya dulu, orangtua biasanya melakukannya dengan membelikan anak banyak mainan. Untuk mengurangi rasa salah, orangtua juga akan membelikan mainan mahal. Pikirnya, makin mahal, makin menyembuhkan rasa salahnya.
Tentu saja, mainan tersebut akan membuat anak senang, tetapi itu justru dapan menjadi awal kebiasaan anak untuk memenuhi keinginan anak, dan bukan kebutuhan anak. Yang dibutuhkan anak adalah teman bermain.
Teman yang dapat merespon rasa dan rasio anak. Teman yang dapat jadi parner dalam berkreasi, berimaginasi. Hanya temanlah yang dapat merespon daya pikir dan rasa kemanusiaannya. Tanpa teman, tak ada yang merespok kata dan tindakannya.
Tanpa respon, berarti juga terjadi interaksi, atau dialektika kehidupan.
Kebiasaan yang menelikung
Ada yang meyakini bahwa anak itu bagai kertas putih. Mau ditulisi atau digambari apa pun, orangtualah yang mengawali dan merangkainya, -kalau bukan menentukan-nya. Seringkali orangtua tidak menyadari bahwa yang dilakukannya dapat menjadi awal suatu kebiasaan yang dapat menelikung anak.
Seperti misalnya. Anak makan-minum sambil jalan-jalan. Makan sambil nonton TV. Tidur dengan digendong. Atau tidur dengan naik mobil keliling kompleks perumahan. Makan minum di gereja. Makan keringan, tanpa sayur.
Minum jus buah, bukan makan buahnya. Tidur sambil digendong. Tidur sambil minum dengan dot susu. Jam mulai tidur larut malam, dan bangun siang. Pipis di lantai KM.
Bicara salah: bukan bilang ‘susu’ tapi ‘tutu’. Pakai pampers sepanjang waktu. Ditakut-takuti dll.
Padahal sejatinya, anak itu cepat belajar. Jadi kalau diajari untuk punya kebiasaan yang baik, maka anak juga juga mudah cepat terbiasa.
Seperti misalnya: makan minum dengan duduk. Makan sayur, apa pun sayurnya. Makan buah segar, bukan dijus, apa pun buahnya. Tidur sendiri, tanpa digendong. Pakai pampers hanya kalau keluar rumah. Minum susu dulu, baru pergi tidur, bukan tidur dengan minum dot susu. Malam hari cepat tidur dan bangun pagi-pagi. Pipis di closet, bukan di lantai.
Bicara benar, mengucapkan kata sebagaimana mestinya: susu, kaget, dll. Tak kenal istilah “takut”.

Mengisi “tempayan” anak, penuh air kasih
Orangtua Katolik yang terbaik berfokus pada mengasihi anak, dan telah meninggalkan dirinya sendiri. Orangtua demikian tak kenal istilah lelah, males atau enggan berkurban. Orangtua demikian juga akan mengupayakan segala daya dan upaya agar anak sungguh mengalami dicintai.
Orangtua akan memutar otak dan mengaduk rasa untuk menemukan akal dan cara bagaimana membiasakan anak untuk beriman, berkarakter yang tahan banting dalam hidupnya.
Demikian segala usahanya akan fokus bagaimana dapat mencintai anak. Harta dan segala miliknya pun akan dihabiskan untuk membuat anak merasa dikasihi.
Sebab tanggungjawab orangtua Katolik adalah bagai mengisi tempayan penuh dengan air, -seperti para pelayan di Kana, yang mengisi tempayan-tempayan penuh dengan air sebelum Yesus mengubah air menjadi anggur. (Bdk. Yoh 2: 1-11)
Karena itu orangtua Katolik, mestinya punya relasi (hubungan) erat dan dekat dengan Bunda Maria. Kecuali karena Bunda Maria telah mengalami sendiri mendidik putra, bahkan putra Tuhan, Bunda juga mengenal baik Yesus maupun Bapa serta mengenal anak-anak kita juga.
Demikian sehingga setiap kali ada kesulitan orangtua Katolik, dapat selalu mengadu, atau berdiskusi dengan Bunda Maria.
Demikianlah, jika kita selaku orangtua sudah berupaya maksimal untuk “mengisi tempayan” anak penuh penuh dengan air, yang berupa kasih dan daya upaya manusiwi kita, sisanya biar Tuhan yang campur tangan. Sebab anak kita, bukan saja anak kita, melainkan anak Tuhan.
Biarlah Bunda Maria yang menemui Yesus untuk mengubah air kasih kita menjadi anggur kasih Tuhan di dalam hidup anak kita, kini dan nanti.
Semarang, 10 Agustus 2020