SAYA Katolik. Sudah babtis. Saya sering bertanya-tanya dalam hati:
Gereja Katolik itu masih bisa berubah gak sih? Kesannya kok Gereja yang cuma begitu-begitu aja.
Jawanya sederhana: Ya, Gereja tentu bisa berubah. Yang tidak berubah itu Tuhan.
Ada lagunya loh. Tuhan Yesus tidak Berubah, tapi Gereja bisa dan ya memang harus berubah.
Konsili Vatikan II menggoncang dan memperbarui Gereja
Ecclesia semper reformanda. Gereja harus selalu diperbarui. Maka, kita pun sebenarnya bisa mulai membuat perubahan itu. Dan sesungguhnya, perubahan itu sudah terjadi dan terbukti. Sepanjang sejarah Gereja, perubahan terbesar terjadi lewat Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II telah mengubah wajah dan sikap Gereja kepada dunia. Para biarawan-biarawat dan segenap rohaniwan-rohaniwati kini sudah boleh pakai baju preman. Sebelumnya, mereka mesti berjubah. Di mana-mana dan kemana pun harus berjubah.
Kaum awam kini juga diberi tempat untuk terlibat aktif dalam Gereja. Sebelumnya awam hanya jadi penonton, pengikut. Selama memimpin ekaristi, dulu imam membelakangi umat, kini berhadapan dengan umat.
Ekaristi boleh dirayakan dalam bahasa umat, tidak lagi harus pakai bahasa Latin. Perayaan liturgi boleh dimeriahkan dengan lagu-lagu lain, di luar lagu Gregorian.
Pandangan Gereja tentang keselamatan juga berubah. Sebelumnya, extra ecclesia non salus est. Di luar Gereja tidak ada keselamatan. Setelah Konsili Vatikan II, istilah menjadi extra ecclesia salus est. Di luar Gereja ada keselamatan, dll.
Memang setiap perubahan akan selalu membawa goncangan besar. Gara-gara Konsili Vatikan II, banyak imam, bruder, suster yang lepas jubah alias keluar dari biara.
Ordo Serikat Jesut (Jesuit) saja sampai kehilangan lebih dari 5.000 anggotanya. Itu bukti bahwa perubahan itu berisiko besar.
Di lain pihak, mungkin justru karena itu, Gereja lantas bersikap lebih hati-hati. Kalau gak, bolehlah dibilang pelan-pelan.
Yang terakhir ini barangkali yang menimbulkan pertanyaan di atas. Sebab memang ada benarnya juga.
Belum banyak berubah juga
Konsili Vatikan II sudah berlangsung lebih dari setengah abad lalu. Tetapi memang belum banyak terjadi perubahan yang berarti di dalam Gereja.
Misalnya, betapa sulitnya mendorong kaum awam untuk menjadi rasul awam. Yang kini tetap terjadi, masih banyak awam suka “membonceng” model kerasulan imam.
Saya sendiri pernah merintis sebuah perubahan dalam Gereja di level paroki. Apakah berhasil, biarlah sejarah menilai. Tetapi apa menimbulkan goncangan?
Goncangan mungkin tidak. Tetapi resistensi, itu jelas ya.
Puluhan tahun saya punya pengalaman pastoral lapangan dengan kaum muda. Pengalaman itulah yang menjiwai karya pastoral saya di Gereja di level paroki.
Itulah yang membuat pelayanan pastoral yang beda dengan tradisi pelayanan pastoral paroki yang ada kala itu. Itu berarti saya mesti membuat perubahan-perubahan.
Supaya saya tidak tanpa dasar, maka saya minta sahabat saya almarhum Pater Dr. Tom Jacobs SJ menjadi teolognya. Dengan demikian, setiap perubahan yang saya buat dapat dipertanggungjawabkan secara teologis.
Ini supaya tidak lepas dari pastoral Gereja Keuskupan. Setiap pekan, saya melaporkan segala kegiatan pastoral saya kepada pihak Keuskupan Agung Semarang.
Paroki itu bukan tempat, tapi Umat Beriman
Apa yang pernah saya lakukan?
Saya mengubah istilah paroki menjadi Gereja. Sebab kala itu, paroki dipahami secara sempit, bahkan salah.
Paroki adalah tempat.
Yang benar, paroki adalah jemaat, umat, bukan tempat. Ini memberi keleluasaan karya pastoral saya berdasarkan umat yang datang ke Gereja di paroki saya. Bukan berdasarkan tempat, teritori paroki.
Siapa pun mereka, meskipun di dan dari luar teritorial Gereja saja, jika perlu pelayanan di Gereja di paroki saya, maka wajib juga saya layani.
Saya merumuskan visi dan misi Gereja di paroki. Adanya visi dan misi Gereja. Seluruh umat menjadi tahu ke mana arah langkahnya bersama.
Saya membuat penelitian umat yang ikut Ekaristi Mingguan. Setiap minggu satu pertanyaan. Penelitian yang super valid, sebab datanya meliputi ribuan responden.
Dari data tersebut saya merancang dan melakukan reksa pastoral saya.
Saya sendiri mengubah mindset saya. Dari mindset seorang hard worker menjadi smart manager.
Saya menghayati diri sebagai seseorang yang mesti me-manage kekuatan dan kelemahan umat, berdasarkan situasi dan kondisi saat itu.
Bukan karena mampu, tetapi justru karena saya tidak mampu, maka saya mengajak, melibatkan banyak umat yang punya kemampuan untuk membangun jemaat, segenap anggoa Umat Beriman.
Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa 74% umat orang muda, maka prioritas pastoral saya orang muda.
Memberdayakan kaum muda
Saya hanya fokus pada memberdayakan orang muda. Orang muda saya percayai untuk menjadi Dewan Paroki. Syarat menjadi anggota Dewan Paroki saya “turunkan”.
Ini agar orang muda dapat masuk. Dan benar, ketika dewannya orang-orang muda, mereka sungguh menjadi motor penggerak tata kehidupan umat.
Secara fisik, saya mengubah gedung gereja menjadi sangat terbuka. Umat yang duduk di dalam bangunan gedung menyatu dengan yang duduk di luar bangunan gedung.
Tembok dan jendela yang membatasi saya bongkar dan diganti dengan pintu lipat.
Saya buka kesempatan umat. Saya undang mereka untuk membuat komunitas berdasarkan bakat, minat, atau kategori apa pun. Dengan demikian setiap umat punya tempat,wadah.
Lewat komunitas ini, ada jauh lebih banyak umat yang punya kesempatan untuk terlibat berkegiatan di Gereja sesuai dengan pilihannya masing-masing. Maka, lahirlah banyak komunitas umat yang siap bergerak dan menggerakkan Gereja sesuai visi dan misinya.
Masih tetap ada komunitas tradisional-konvensional: komunitas lingkungan, komunitas Prodiakon, misdinar, lektor, PIA, koor dll,
Kecuali itu, untuk memberdayakan dan mempercayai orang muda masih ada lebih dari 70 komunitas umat yang hidup dan aktif di Gereja di level paroki kala itu.
Sebut saja misalnya, komunitas-komunitas: tablo, orkes, tari, TV monitor, EKM, penulis skripsi, organis, renovasi, kopi pagi, Tabungan Cintakasih, dlsb.
Untuk merespon semangat mereka, saya juga tidak segan keluar uang untuk: beli piano baru, untuk beli kamera, mixer, dlsb.
Sumber dana untuk komunitas ini didapat dari jaga parkir. Uang jaga parkir jadi haknya komunitas yang jaga, untuk kegiatan mereka. Seingatku juga sebagian uang jaga teks panduan ekaristi.
Sound system itu penting juga
Demi efektifitas komunikasi lisan antara pastor dan umat, saya putuskan harus ganti sound system Gereja.
Sound system adalah kunci. Sebab dengan sound system yang bagus, menjangkau seluruh umat dengan jelas dan nyaman: kotbah, pengajaran, arahan pastoral sampai ke umat juga jelas.
Sebaliknya, kalau sound system tidak jelas, maka umat cenderung omong sendiri.
Semua komunikasi lisan sudah saya dasari dengan komunikasi tulis. Segala sesuatu yang perlu untuk kehidupan saya tulis dalam teks panduan ekaristi. Maka saya ubah buku panduan ekaristi mingguan. Dari format buku skrip menjadi format buku saku.
Bisa masuk saku atau masuk Madah Bakti. Di dalamnya saya isi dengan arahan dan laporan pastoral serta tanya jawab pernikahan.
Yang terakhir ini laris bukan main. Jika ada lagu baru, lagu juga saya muat di buku panduan ekaristi itu.
Bila saya merencanakan suatu kegiatan, saya sampaikan ke umat: idenya, rencananya, dan RAB-nya. Sesudahnya, saya laporkan ke umat. Misalnya, sunatan masal, pernikahan eklesial, operet Natal.
Yang terjadi, dana dari umat justru datang melimpah. Mungkin karena umat tahu persis penggunaan uangnya, sehingga tanpa ragu membantu.
Pastor-pastor paroki lain sampai mengira, karena Gereja di paroki saya utu kaya, maka saya bisa mengadakan banyak kegiatan umat.
Yang benar adalah karena kegiatan itu datang dari umat untuk umat. Maka, umat pun jadi rela memberi dananya.
Banyak kegiatan yang saya ciptakan dan rancang untuk melibatkan dan menggerakkan orang muda. Misalnya Panitia Paskah orang muda, tablo, operet, tarian dalam perayaan Paska, orkes dalam Perayaan Ekaristi, pengarang lagu, pembawa salib di Jumat Agung orang muda.
Setiap pembawa salib mengenakan celana jin, kaos oblong warna putih.
Hasilnya antara lain –sekedar contoh saja—lalu banyak orang muda dengan senang hati mau datang ke Gereja di paroki saya. Ya untuk aktif, untuk cari pacar dan bahkan jodoh, untuk cari dana.
Banyak pula lagu-lagu yang tercipta oleh orang muda di Gereja level paroki. Dan mereka umumnya bukan ahli musik, melainkan mereka bisa main organ atau piano atau alat musik lain dan ingin bisa aktif di Gereja level paroki.
Dan dari sinilah, benih-benih kebaikan itu lalu bisa bersemi.
Seiring berjalannya waktu, kini ada banyak imam dan awam Katolik yang berani dan mau membuat lagu rohani.
Waktu kami dulu baru memulainya, banyak orang bereaksi “keras” dan menanggapinya dengan sinis.
Syukurlah, kini zamannya sudah berbeda.
Mensyukuri perubahan
Begitulah ada banyak yang beda. Kalau tidak boleh dibilang berubah, di Gereja lelvel paroki saya kala itu berhasil diretas apa itu perubahan.
Lalu, apakah perubahan itu bisa diterima?
Menurut teori, setiap perubahan akan diterima oleh 30%, ditolak 30% dan yang 60% ngambang. Ingin melihat situasi terlebih dahulu
Walau umat banyak yang senang, ada juga banyak yang menolak. Tetapi penolakan terbesar justru datang dari pastor paroki lain.
Disidang oleh kerumunan pastor
Begitu besarnya, sampai pernah saya “disidang“ di hadapan para pastor disebuah pertemuan para pastor tingkat keuskupan. Saya diminta pertanggungjawaban atas apa yang telah saya lakukan.
Dalam sidang itu yang diminta menjadi hakimnya adalah Mgr. Kartasiswoyo Pr, ahli Hukum Gereja kala itu.
Puji Tuhan dan saya lega luar biasa. Karena almarhum Mgr Kart ternyata malah membenarkan yang saya lakukan.
Bahkan Mgr. Karta ini justru menganjurkan setiap pastor paroki mestinya melakukan seperti yang saya lakukan.
Dengan begitu, saya telah mematahkan mitos bahwa karya untuk orang muda itu sulit.
Yang nyata bisa terjadi beneran adalah seperti pengalaman penulis di Yogya. Orang-orang muda itu hanya perlu dipercaya, bisa dilibatkan, lalu daya kreatif mereka akan mengalir sendiri, membasahi bumi dan hati ini dengan cinta dan keasliannya.
Semarang, 21 Juli 2020