SAYA seorang Katolik. Sudah babtis. Tetapi saya masih punya pertanyaan ini:
Sebenarnya, kita ini punya kewajiban berdoa apa tidak? Katakanlah seperti saudara-saudari kita beda iman yang dalam seharinya wajib berdoa lima kali waktu. Nah, sebagai orang Katolik, kita ini punya kewajiban berdoa apa tidak sih?
Ini adalah tipikal pertanyaan agamis. Sayangnya, ketika pelajaran Agama Katolik –dalam artian pelajaran untuk menjadi Katolik– hal semacam ini rasanya tidak atau jarang dibahas.
Celakanya lagi, dalam pergaulan sehari-hari, pertanyaan yang model begini justru berseliweran. Kadang mengganggu, kadang membingungkan, atau bahkan menggoyahkan keyakinan iman kita.
Tak perlu minder
Yang pertama saya ingin sampaikan ialah tidak usah minder atau kecil hati karenanya. Sebab, bahkan dalam proses pendidikan seorang calon imam Katolik,pun, yang namanya agama juga tidak terlalu banyak dibahas.
Para imam lebih banyak belajar nilai, berlatih kebiasaan, karakter, moral, dan berfilsafat serta berteologi.
Dua alasan
Menurut saya, ada sekurang-kurangnya dua alasan mengapa demikian.
Pertama, pendidikan imam, dan pendidikan orang Katolik lebih banyak mengolah karakter sebagai orang beriman.
Yang kedua, oleh dan dalam Yesus, agama telah diperbarui menjadi iman.
Tak mengikuti tradisi beragama
Yang diajarkan dan dijalani Yesus berbeda. Semuanya “melampaui” agama. Bekerja di hari Sabat itu dilarang agama. Tetapi Yesus justru “bekerja”. Ia malah berani menyembuhkan orang.
Agama di zaman Yesus selalu mengajari pedoman hidup “mata-ganti mata”. Namun, Yesus mengajari dan melakukan nir pembalasan.
Sebab, Yesus mengajari, melakukan kasih dan mengajari pengampunan yang lebih bernilai daripada mengikuti ajaran-aturan agama. Kala itu, agama praktis sama dengan Taurat Yahudi.
Seberapa banyak harus mengampuni?
Berapa kali harus mengampuni? 70×7 kali.
Imanlah yang utama. Bandingkan kisah anak perwira Romawi yang sembuh karena iman. Juga, perempuan Sirofenesia yang percaya akan remah-remah yang jatuh. Lainnya juga.
Saulus ditangkap Yesus dan kemudian berubah nama menjadi Paulus. Ia justru dipilih Yesus untuk meningkatkan nilai agama. Dengan menjadi iman. Sebab, Petrus masih saja cenderung terbatas pada agama Yahudi.
Misalnya tentang sunat dan tidak bersunat. Kehendak Yesus itu jelas. Melalui Paulus, kita mesti keluar dari agama (Yahudi).
Untuk itu, sunat atau tidak bersunat sungguh tidak menjadi masalah, asal percaya Yesus Kristus.
Menurut Petrus, murid Yesus haruslah bersunat. Ini sebagaimana diatur dalam agama Yahudi. Bagi Paulus, tidak bersunat pun asal percaya Yesus, ia adalah Kristen, pengikut Kristus.
Sejarah Gereja dan tataran iman
Dalam sejarah Gereja pun terbukti, ketika Gereja terjebak pada urusan agama. Melebihi iman. Akibatnya. lahirnya Gereja Protestan, kutukan atas Galileo Galilei, Perang Salib, dan masih banyak lagi.
Karena itu, belajar dari sejarah agama. Juga sejarah Gereja. Lalu, Sejarah Keselamatan sampai sekarang.
Orang Katolik perlu diajari untuk keluar dari kotak agama menuju tataran iman.
Kembali ke pertanyaan di atas. Dalam lingkup agama, tuntunan dan tuntutan agama bagi orang Katolik ini sungguh minimalis. Hanya Sepuluh Perintah Allah, Lima Perintah Gereja.
Selebihnya akan diajarai oleh Gereja; ini sesuai dengan konteks dan zamannya. Entah lewat Konsili atau pun lewat pemimpin Gereja Lokal, yakni Uskup.
Memilih nilai
Tidak ada kewajiban doa harian. Tetapi kalau bisa melakukannya tentu lebih baik. Orang Katolik diajari memilih berdasarkan nilai. Bukan berdasarkan aturan semata.
Itu seperti kelakuan kita terkait dengan lampu lalu lintas. Lampu merah kita berhenti, karena ada polisi jaga. Kalau tanpa ada polisi, kita tetap bersedia berhenti, karena lampu merah.
Hal ini tentu lebih baik.
Jadi, sekali lagi, yakin beriman dan percaya diri, bahwa tidak tahu, tidak hafal ajaran agama ini tidak mengapa. Apalagi, kalau kelakuannya sudah mencerminkan, mengejawantahkan ajaran agama. Bahkan iman Katolik.
Tidak hafal keempat Injil, ya tidak mengapa. Tetapi tidak mau mengampuni sesama, apalagi orang yang sudah minta minta maaf, itu kurang atau tidak Katolik.
Jikalau, karena tugas dan tanggungjawab kita, menyebabkan kita sulit melakukan kewajiban agama, asal hidup kita melahirkan iman kepada Yesus Kristus itu sudah baik.
Jarang ke gereja di hari Minggu, tetapi jujur dan tak pernah korupsi, menurut saya, itu lebih baik baik daripada yang tiap Minggu ke gereja dan rajin mengaku dosa, tetapi rajin korupsi.
Banggalah menjadi orang Katolik. Bukan karena hafal dan taat agama, tetapi karena perilakumua menunjukkan perilaku seorang Katolik.
Sebab iman itu letaknya dalam perbuatan.
Jika masih ditambah taat agama, tentu lebih baik untuk dirimu dan baik pula untuk dunia.
Panggilan dan pengutusan kita, tidak melulu hanya demi sucinya diri, tetapi lebih-lebih agar kita menjadi lebih baik, dan menambah kebaikan pada dunia dan sesama kita.
Semarang, 11 Juli 2020
Yang paling tepat adalah penghayatan iman disertai dengan pengetahuan tentang agama Katholik,itulah salib kita sebagai pengikut Kristus. Ingat,agama Katholik didirikan oleh Yesus dan dilembagakan oleh Kristus Yesus di atas batu karang yang teguh yaitu St. Petrus yang dimakamkan tepat di bawah bangunan Gereja Basilika Vatikan.