WABAH penyakit infeksi mematikan coronavirus atau Covid-19 hingga kini semakin ganas. Di beberapa negara jumlah korban terus menjulang dari waktu ke waktu.
Di Italia misalnya, media La Repubblica, menginformasikan bahwa hingga Kamis, 12 Maret kemarin, tercatat:
- 12. 389 orang positif terinfeksi Covid-19 dari total 15. 113 kasus.
- 1.258 orang sudah dinyatakan sembuh.
- 1.016 orang meninggal dunia.
- yang lainnya sedang menjalankan perawatan secara serius.
Melihat serangan pandemi Covid-19 ini makin menakutkan, maka terbitlah berbagai kebijakan dan aturan demi mencegah penyebarannya.
Misalnya untuk konteks Italia, penutupan sekolah, gereja, stadion, bioskop dan gimnasium yang terhitung dari 5 Maret sampai 3 April 2020.
Lalu beberapa hari belakangan ini, di beberapa wilayah sudah diperintahkan untuk menutup bar, restoran, dan tokoh kecuali toko makanan dan apotik
Selain itu, ada beberapa hal teknis yang tidak boleh dilakukan, misalnya berjabatan tangan saat bertemu satu sama lain, ada ajakan untuk rutin membersihkan tangan dengan menggunakan sabun.
Inilah kurang lebih gambaran umum yang sedang terjadi di wilayah Italia saat ini. Lebih dari itu, fenomena lainnya yang sedang terjadi saat ini adalah sepinya gereja-gereja karena ketiadaan umat.
Gereja menjadi lengang
Pasca dikelurkannya edaran “coronavirus” oleh La Conferenza Episcopale Italia(CEI), 8 Maret 2020, fenomena yang muncul adalah gereja kini menjadi sepi.
Adapun surat edaran tersebut mengutarakan beberapa hal, sebagaimana telah dirilis oleh media ini seperti, “meniadakan” perayaan misa publik (perayaan tanpa ada partisipasi umat), membatasi berbagai kegiatan rohani bersama, seperti adorasi, doa Rosario, Jalan Salib, dan katekese.
Kosong mlompong
Saat ini, Covid-19 menjadikan gereja-gereja benar-benar menjadi kosong mlompong. Ia benar-benar “ditinggalkan”. Tak ada umat yang datang melawatnya.
- Di pagi hari, tak ada lagi umat yang datang untuk mengikuti misa.
- Di siang dan sore hari pun demikian.
- Tak terlihat lagi umat yang datang untuk doa pribadi, menjalankan devosi, pengakuan dosa.
Lalu, juga tidak terdengar lagi suara umat yang mendaraskan doa Rosario, nyanyian Magnificat Maria saat vespri, nyanyian dan doa bersama saat adorasi serta saat dan misa kudus.
Apa malang? Yang terjadi adalah adanya kehausan spiritual dalam diri umat. Beberapa di antaranya secara jujur mengungkapkan bahwa “Kami benar-benar merasa ‘kehausan’, karena tidak bisa mengawali aktivitas harian kami dengan Perayaan Ekaristi, dengan menyantap Tubuh Kristus.
Keluhan ini sangat masuk akal. Karena sejauh pengalaman saya, gereja di Italia masih sangat hidup, sejauh yang saya amati dan tentu setiap orang punya penilaian yang berbeda.
Partisipasi umat dalam kehidupan Gereja boleh dikatakan masih sangat tinggi. Di pagi hari, masih ada umat yang datang mengikuti Perayaan Ekaristi sebelum mereka pergi bekerja.
Di sore hari, jumlah umat pun semakin banyak. Menarik bahwa setiap sore hari, sebelum Perayaan Ekaristi, mereka bersama-bersama mendaraskan doa Rosario.
Ajakan untuk bersatu dalam doa
Di tengah situasi seperti ini, Bapa Suci Paus Fransiskus mengajak seluruh umat Katolik di seluruh dunia untuk bersatu dalam doa.
Paus mempersembahkan kota Italia dan dunia pada perlindungan Bunda Allah sebagai tanda keselamatan dan harapan.
Ya, bagi orang yang beriman, penyerahan diri secara total pada Tuhan merupakan salah satu jalan yang ditempuh ketika menghadapi situasi-situasi sulit. Sebab, dari dalam lubuk hati kita, selalu ada keyakinan yang mengatakan bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.