ORANG-orang di permukiman pendudukan sekitaran Gang Inpres 13 -persis di belakang Greenaya Residence- biasa mengenalnya dengan sebutan “Aki”. Barangkali, sebutan ini disematkan kepada almarhum Pak Sriyono lantaran usianya sudah sepuh.
Namun, usia sepuhnya tidak menjadikan Aki Sriyono layaknya orang di masa senja usia. Letih, lesu, dan hanya duduk-duduk saja.
Mencari kesembuhan pada Aki Sriyono
Almarhum Aki Sriyono meninggal dunia hari Sabtu tanggal 2 Oktober 2021 karena sakit. Sesuatu yang sebenarnya jarang saya dengar bahwa beliau sakit serius.
Lantaran, almarhum itu sendiri “tabib” yang oleh banyak orang selalu menjadi rujukan andalan ketika sakitnya tak kunjung sembuh.
Meski sudah berobat kemana-mana dan konsumsi obat namun karena tak kunjung sembuh, maka pasien-pasien “terminal ill” ini biasanya lalu datang kepada Aki Sriyono.
Berobat untuk sebuah kepastian bisa sembuh.
Melalui tangan saktinya. Melalui pijatan di titik-titik rerfleksi di bagian telapak kaki, jari-jemari kaki dan tangan, telapak tangan, daun telinga, dan beberapa tubuh lain seperti lengan, ujung jari atau lainnya.
Tangan sakti
Aki Sriyono kalau berjalan memang terkesan gemulai. Mungkin karena posturnya ceking dan kurus. Namun jangan ditanya lagi, kalau tangan saktinya sudah beraksi di titik-titik refleksi tubuh manusia.
Pijatannya sakit. Justru karena Aki Sriyono bisa “mencapai” titik-titik pusat refleksi itu di ujung telunjuk atau jempolnya.
Hebatnya lagi, almarhum Aki Sriyono tidak pernah memakai media pembantu untuk “mencapai” titik-titik refleksi itu, selain hanya menggunakan lotion putih dan kekuatan “tenaga dalam” yang dia miliki.
Juga hanya “bersenjatakan” biji-biji lada hitam kalau harus memijat sejumlah titik refleksi di daun telinga.
Bila sudah demikian, maka pijatan sakti Aki Sriyono ini langsung menimbulkan rasa sakit berupa perih dan panas. Di titik-titik refleksi yang disebutkan tadi. Apalagi di daun telinga.
Saya kadang minta pause, saking tidak tahan sakitnya. Pijatan itu sendiri tidak lebih dari satu menit. Namun, efek rasa perih dan panas di setiap titik daun telinga pasca dipijat dengan media lada hitam masih terasa “seperti terbakar”.
Lalu, saya biasa pakai tangan atau kertas untuk mengipasi telinga itu barang 2-3 menit agar “panasnya” berkurang dan siap dipijat lagi.
Pemandangan beginian sudah saya lihat dengan mata kepala sendiri sejak tahun 2000-an – awal pertama saya bertemu dan sowan untuk merasakan kesaktian dan keampuhan pijatan refleksi almarhum Aki Sriyono.
Buku pijat refleksi
Sudah pada waktu itu, saya dibuat “terkesima” karena ternyata Aki Sriyono ini yang pernah menulis buku seni dan tekni pijat refleksi yang di tahun 1990-an banyak bertengger dipajang di rak-rak toko buku. Sampulnya hijau daun dengan kualitas kertas cetakan yang terkesan tidak mewah.
Hasil dari pijatan almarhum Pak Sriyono menimbulkan efek sembuh. Setidaknya itu saya alami sendiri.
Akibatnya, dengan naluri ingin berbagi “berita baik”, saya pun aktif berkabar ria tentang keampuhan Pak Sriyono ini dalam menyembuhkan aneka penyakit “terminal ill” di mana pengobatan medik kadang sudah “angkat tangan”.
Berkat tulisan Yanuari Marwanto dari Majalah Hidup -atas rekomendasi penulis- sampai datang sendiri menguji “kehebatan” Pak Sriyono dengan keampuhan pijatan refleksinya. Dan ketika berhasil sembuh, ia lalu menulis risalah menarik tentang sosok Pak Sriyono ini.
Kesaksian yang genuine seorang wartawan
Judul tulisan Totalitas Pelayanan Sang Pemijat itu sendiri sudah merupakan “testimonial” yang sangat genuine seorang wartawan.
Ditulis bukan berdasarkan gosip atau “kata orang”. Tapi dikerjakan berbasis “data lapangan” yakni pengalamannya sendiri berhasil “disembuhkan” oleh Pak Sriyono.
Alhasil, tulisan Marwanto ini pula yang sering saya pakai sebagai “bahan promosi” untuk mengenalkan Pak Sriyono ke jaringan pertemanan atau siapa pun yang butuh akses pengobatan alternatif.
Tapi ya dengan syarat pasti: sedikit bernyali mampu tahan sakit. Lalu, sedikit mau beravonturir mencari lokasi rumahnya yang memang “tersempit” di ujung gang kecil yang hanya bisa dilalui motor dan pejalan kaki.
Syukurlah, sejumlah orang berhasil termotivasi mau mengunjungi Pak Sriyono. Yang bermobil selalu saya ajak parkir di ujung kompleks Perumahan Mahkota Simprug Ciledug.
Lantaran terjadi pandemi Covid-19, akses gang kecil itu tiba-tiba saja dicor beton, sehingga akses satu-satunya hanya melalui gang-gang kecil untuk motor dan Jalan Inpres Raya untuk mereka yang bermobil.
Obatnya hanya pijat dan ramuan herbal
Dalam upaya menyembuhkan pasiennya, modal Pak Sriyono hanya tiga hal yakni lotion, “kekuatan” ujung telunjuk dan jempol, serta “info” ramuan herbal yang dia sebutkan usai terapi refleksi selesai dilakukan. Hanya 5-10 menit saja.
Tidak lebih. Namun, efek rasa panas seperti “terbakar” atau “disilet” pisau amat tajam langsung muncul di setiap titik refleksi.
Dan yang mengherankan, di semua titik itu tidak terjadi pembengkakan. Tentu saja, efek “panas-terbakar” itu masih sedikit terasa sisanya untuk beberapa jam kemudian.
Pada kasus-kasus penyakit serius, efek itu malah akan tetap terasa selama berhar-hari.
Lalu, untuk menunjang proses penyembuhan, Pak Sri lalu menunjukkan sejumlah tetumbuhan alam liar yang bisa menjadi sumber obat. Taruhlah itu daun dan akar sidagori, daun tapak liman, akar ilalang, daun mangkok, daun sepatu, daun sirsak, daun belimbing buah, dauh sirih, daun salam, lengkuas, dan masih banyak lagi.
Saya mengikuti anjuran “resep” tersebut dan memang efeknya sangat hebat. Sembuh atau paling tidak efek tingginya trigliserida, kolesterol, dan lainnya bisa berkurang. (Berlanjut)