“AIRMATA adalah bahasa diam dari kesedihan.”
Tubuh telah terpuruk dan emosi batin lalu tenggelam di dalam suasana duka mendalam, sambil mencium lama sebuah guci berisi abu jenazah Albertus Trias Dwi Nugroho (1960-2022).
Guci berisi abu jenazah manusia itu masih disemayamkan di ruang tamu Seminari Tinggi OMI “Wisma de Mazenod” di Condong Catur, Yogyakarta.
Itulah peristiwa yang amat mengesan dan menyentuh hati bagi Ny Sri, isteri alm Trias.
Liem Tjay beberapa waktu lalu mendapat pesan WA dari Ny. Sri, isteri almarhum Albertus Trias Dwi Nugroho.
Bunyinya begini: ”Mas Thomas Suhardjono hari Minggu kemarin -tanggal 8 mei 2022- menangis lama di depan guci berisi abu jazad bapak. Bikin aku dengan Ovy mulai menangis lagi.”
Dulu bertiga, kini tinggal seorang diri
Mas Thomas Suhardjono adalah solmed, teman lama, sahabat kental sejak mereka berdua di Seminari Mertoyudan mulai tahun 1978.
Berkisah tentang Trias alias Dinuk, sambil sesenggukan (menangis tersendat sendat), Mas Thomas bernostalgia:
“Ketika mendaki gunung, ketika menikmati perjalanan ke Kalimatan, kami bertiga (saya, almarhum Trias dan almarhum Wawan) bersama-sama berinisiatif mengumpulkan koran bekas dan dijual, lalu uang untuk tambahan bekal perjalanan,” tulis Ny. Sri, isteri almarhum Trias lewat WA, mengisahkan syering emosional Thomas.
Dari pertemanan erat Tiga Serangkai Sahabat dekat itu, demikian Thomas kepada Sesawi.Net beberapa waktu lalu, “Kini tinggal saya sendirian. Dua teman dekat sudah lebih dahulu pergi.”
“Yaah… pokoknya beberapa kali hapus airmata, usai nangis sesenggukan,” kesan Ny. Sri dengan seksama, penuh empati mendengarkan Thomas, sahabat almarhum Trias.
Kini telah menjadi abu
Perjalanan amat panjang mengukir persahabatan Thomas Suhardjono dengan Trias, kini berakhir dalam “ciuman guci abu sahabatnya”.
Bersua terakhir dengan Trias yang kini sudah berubah wujud menjadi rupa “abu” sahabatnya. Tiada yang menyangka, tapi fakta kesedihan itu benar-benar terjadi. Juga harus dijalani di dalam kepiluan derai airmata.
Ny. Sri menemani Mas Thomas yang sedang menangis di depan guci berisi abu jenazah almarhum Trias. Mas Thomas menangis tersedu-sedu sambil memeluk “guci”.
Melihatnya, Ny. Sri dan Ovy ikut sedih, kini mulai menangis lagi dan miris.
Mas Thomas, sahabat Trias ini, mengalami kesedihan yang sangat mendalam (the depth of grief), karena Trias bukan orang lain dalam hidup Mas Thomas, melainkan pribadi Trias sudah menjadi bagian Mas Thomas.
Kekentalan relasi pribadi semacam ini seperti yang dikatakan oleh Mensius atau Mengzii, seorang filsuf Tiongkok (372-289 SM): “Sahabat adalah saudara kandung yang tidak pernah diberikan Tuhan kepada kita”
Memang tangisan di kala mengalami kesedihan itu amat perlu. Ini seperti yang dikatakan Richard dalam drama Shakespeare (1564-1616) yang berjudul Henry VI.
Katanya,” To weep is to make less the depth of grief” – menangis dapat mengurangi kesedihan yang mendalam.
Memaknai “air mata kesedihan” akan lengkap jika kita membaca puisi tulisan Vonny Aronggear dalam bukunya yang berjudul Antologi Puisi 66 Penyair, hal 234:
Tetes hujan basahi pipi
Tercabik hati dalam getir
Kurenda potongan memori
Dari jalanan yang tak sempurna
Cintaku menangis dalam diammu
“Duka yang tidak ada pelampiasan melalui air mata, bisa membuat orang lain menangis”. – Henry Maudsley (1835-1918), a pioneering English psychiatrist.
“Isteri, puteri-mu, para sahabat-mu meneteskan air mata dalam peristiwa kepulangan-mu ke rumah Bapa. Itu tanda bahwa kau Trias, tetap hidup dan hidup sambil menebarkan senyum,” ungkap Liem Tjay yang mengamini dan meneguhkan Ny. Sri dan Ovy, puteri semata wayang almarhum Trias Dwi Nugroho alias Dinuk
Senyum (pesan almarhum Dinuk) itu tetap menemani perjalanan hidup selanjutnya, seperti terlihat dalam foto Ovy, Ny. Sri, dan Mas Thomas.
“Airmata adalah pemberian Tuhan untuk kita. Air suci kita. Saat mengalir, mereka menyembuhkan kita.”
Demikian kata Rita Schiano, seorang penulis kelahiran Syracuse, New York, Amerika Serikat.
Tepian Serayu, Banyumas, 11 mei 2022
Nico Belawing Setiawan OMI