SIAPA tak kenal dan ingin mengenang jasa besar almarhumah Bu Martono, guru pensiunan Seminari Mertoyudan dengan spesialisasi mengajar etiket dan Bahasa Jawa bagi para seminaris asal non Keuskupan Agung Semarang (KAS)? Meski sudah hampir 30 tahun lewat, namun kenangan indah tentang almarhum Bu Martono masih mengiang-ngiang di benak, terutama di antara para kolega mantan seminaris non KAS yang pernah ‘bersentuhan’ langsung dengan almarhumah.
Bisa berbahasa Jawa
Nyaris tak ada seminaris asal non KAS yang kemudian bisa lancar berbahasa Jawa atau setidaknya mengerti omongan Bahasa Jawa tanpa kena ‘sentuhan’ almarhumah Bu Martono? Semua mengakui bahwa berkat Bu Martono inilah mereka lalu bisa omong bahkan misuh (memaki) dalam Bahasa Jawa dan tentu saja mengerti omongan orang lain dalam bahasa Jawa.
Tentu saja, Bu Martono tidak pernah mengajari para seminaris misuh atau mengintrodusir kosa kata ‘koleksi binatang’ sebagai ungkapan untuk makian dan seterusnya. Yang pasti, dari kelas khusus pelajaran Bahasa Jawa untuk para seminaris non KAS inilah, teman-teman calon frater itu belajar bicara dan mengerti Bahasa Jawa.
Untuk para seminaris asal KAS, tentu saja hal ini bukan hal istimewa karena toh sehari-hari mereka omong Bahasa Jawa. Namun, untuk para seminaris non KAS yang berasal dari Jakarta, Bali, dan Ketapang di Kalimantan Barat, peran besar almarhumah Bu Martono tidak bisa hilang dari ingatan.
Saya bisa membayangkan bagaimana teman saya misalnya Molly dan Mardius, keduanya etnis Dayak asli dari Ketapang, datang ke Seminari Mertoyudan dan langsung masuk ke lingkungan berbahasa Jawa: sama sekali tidak mengerti dan hanya bisa ndomblong alias diam tak tahu apa pun ketika para seminaris asal KAS asyik berbicara dengan ‘bahasa ibunya’.
Meski waktu itu sudah dianjurkan berbahasa Indonesia oleh Fr. Yuwono Murjoko SJ dan almarhum Romo Padmaseputra Pr, namun bagi kebanyakan seminaris lulusan SMP waktu itu, tentu saja omong Bahasa Jawa itu jauh lebih ‘menyenangkan’ dan sreg daripada berbahasa Indonesia.
Nah, pada konteks inilah, kehadiran Bu Martono sebagai guru Bahasa Jawa khusus untuk para seminaris non KAS yang dilatih mengerti Bahasa Jawa menemukan jejak historinya.
Ketika kami ada di Kelas Persiapan Pertama (KPP) dengan Rektor-nya Romo Julius Darmaatmadja SJ (kemudian menjadi Uskup Agung KAS dan KAJ serta diangkat menjadi Kardinal), putera sulung almarhum Bu Martono yang bernama Tyasmono duduk di kelas tiga. Usai lulus seminari tahun 1979, Mas Tyas lalu melanjutkan studi kedokteran dan kini menjadi dokter di RS Panti Rapih Yogyakarta.
Semangat sigrak
Bu Martono selalu tampil sigrak penuh semangat manakala mengajar etiket di kelas. Volume suaranya keras dan terdengar menggugah semangat. Ia dengan gampang menghafal nama-nama para seminaris, sehingga para seminaris pun lalu juga dibuat semangat mengikuti sesi pelajaran ini dan tentu saja kelas khusus belajar Bahasa Jawa untuk para seminaris non KAS.
Catatan Romo Joseph Kristanto Suratman Pr –kini Sekretaris Komisi Seminari KWI—menyebutkan, pada tahun 1977 itu pun Bu Martono sudah mulai mengajar kelas etiket dan Bahasa Jawa di Seminari. “Saya bahkan memiliki foto almarhum ketika beberapa siswa Medan Pratama tahun 1977 datang mengunjungi rumahnya di Magelang,” tulis romo diosesan KAS asal Magelang dan mantan Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan – Yogyakarta ini.
Beberapa teman seminaris MP/KPP tahun 1978 yang berasal dari Bali, Ketapang, dan Jakarta yang mayoritas tidak tahu bahasa Jawa juga menyebutkan kenangan indah bersama almarhumah Bu Martono. Di atas sudah disebut nama Molly dan Mardius dari Ketapang. Berikutnya masih Doni yang beretnis Manado dari Jakarta, Hastiono peranakan Jawa tapi lahir dan besar di Sorong – Papua Barat. Lalu ada lagi serombongan besar seminaris dari Bali yakni Respatia, Ambrosius, Galang, Switra, dan masih banyak lagi lainnya.
Sekarang ini, para alumni Mertoyudan MP/KPP 77 dan KPA 81 malah sering omong atau menulis curhatan memakai Bahasa Jawa melalui platform medsos. Yang menggembirakan, para mantan seminaris non KAS itu menjadi mudheng (mengerti) pembicaraan kami di medsos, kecuali beberapa kosa kata khusus yang tidak biasa bahkan untuk orang Jawa sekalipun.
Hal yang sama juga pasti dialami oleh alumni Merto MP 77 dan tahun-tahun berikutnya. Nah, semua ‘keajaiban kultural’ ini hanya bisa terjadi, berkat jasa besar almarhumah Bu Martono.
Requiescat in pace
Bu Martono diberitakan meninggal dunia di rumah kediamannya di Magelang pada hari Senin tanggal 25 September 2017 pada pukul 14.10 WIB. Ia terlahir dengan nama lengkap: Elisabeth Sri Sumartiyah. Namun, di telinga dan hati para seminaris angkatan tahun 1977 sampai tahun-tahun berikutnya, almarhum lebih dikenal sebagai Bu Martono, lantaran suaminya – Pak Martono—juga guru olahraga di Seminari Mertoyudan.
Pada hari Selasa tanggal 26 September 2017 ini akan berlangsung misa requiem di rumah duka keluarga Bapak Martono di Magelang dan untuk selanjutnya jenazah Bu Martono akan dimakamkan di Kerkop Mendut, Kabupaten Magelang.
Requiescat ini pace et vivat ad aetenam. (Berlanjut)
Sugeng tindak bu Martono.
Utk penulis: fokus aja sesuai judul. Gausah nambahi yg tidak perlu, khususnya yg di dalam tanda kurung.
Komentar aneh. Yang di dalam kurung menjelaskan kata/istilah di depannya.