KALAU harus menyebut apa yang paling baik di dalam diri almarhum Engelbertus Widiatmoko (1962-2022) -teman angkatan di Seminari Mertoyudan mulai tahun 1978- maka Widi adalah sosok seminaris yang -kalau sudah berpakaian- sungguh paling rapi.
Kalau sudah begitu, maka tak jarang almarhum dengan isengnya suka “menyentil” halus penulis: “Coba kalau berpakaian, itu hem-nya dimasukkan ke celana. Biar lebih tampak rapi,” ungkapnya berkali-kali sembari memperagakan bagaimana cara berpakaian mlithit rapi.
Saat di kelas dua, kebetulan lokernya Widi dan loker penulis tidak berjauhan. Mungkin berdempetan.
Itu belum cukup. Ia juga sering mengajari bagaimana caranya menyeterika yang benar. Lalu, harus punya setut -ikat pinggang- agar celana tidak sampai mlotrok.
Di masa pendidikan di Seminari Mertoyudan kurun waktu tahun 1978-1981 di mana almarhum Widi masih tercatat sebagai seminaris, maka yang disebut setut itu masih merupakan barang langka.
Yang pasti, di zaman itu penulis belum punya ikat pinggang. Bahkan, celana panjang dan hem pun boleh dibilang hanya berjumlah beberapa saja.
Lain halnya dengan almarhum Widi. Selain punya setut, ia juga punya hem lengan panjang. Itu pun masih dianggap “barang mewah” di kalangan seminaris waktu itu, karena praktis semua seminaris hanya punya hem lengan pendek saja.
Kalau pernah mengintip isi almari loker Widi waktu itu di kelas dua tahun 1981, maka sekali waktu Widi pernah “pamer” punya parfum – sebuah barang langka yang dianggap “haram” waktu itu karena masuk kategori kemewahan.
Bisa jadi, itu semacam Eau de Cologne – parfum yang waktu itu sangat ngetop sebagai pengharum tubuh sebelum deodoran pengurang bau penguk ketiak jadi marak.
Bagi kami yang boleh dibilang seminaris dari wilayah udik, maka injet atau kapur putih sudah selalu menjadi menu andalan untuk pengusir bau keringat di bawah ketiak. Tapi Widi sudah punya Eau de Cologne.
Keluarga militer
Kadang penulis bertanya dalam hati -setelah sekian lama berpisah karena di tahun 1981 itu Widi mundur dari Seminari Mertoyudan saat kami mau naik tingkat ke kelas tiga—darimana Widi punya “tradisi” berbusana rapi super mlithit seperti peragawan Rahadian Yamin yang super ngetop itu.
Usut punya usut, kira-kira tahun 1985-an, penulis kenal dengan kakak iparnya saat kami bersama-sama kursus bahasa asing di l’Alliance Francaise di kawasan Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat. Menurut isteri Mas Danan -kakak kandung Widi dan juga alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1976- keluarga Widi adalah militer.
Pak Soebijakto, ayahnya, dulu seorang perwira tinggi TNI AD. Sedangkan Bu Soebijakto aktif di organisasi WKRI.
Ini tak mengherankan, karena rumah keluarga Widi ada di wilayah permukiman orang-orang berada di kawasan Gandaria, Kebayoran Baru – sebuah permukiman elit sampai sekarang di bilangan Jakarta Selatan.
Bahwa almarhum Widiatmoko dan kakaknya Danan itu berasal dari Gereja Santo Yohanes Penginjil Paroki Blok B di Kebayoran Baru, maka label itu saja sudah membersitkan mereka datang dari paroki elit di Jakarta.
Sementara, mayoritas seminaris waktu itu -seperti penulis- rata-rata berasal dari keluarga belum sejahtera dan datang di wilayah permukiman udik, paroki dusun, dan bayaran sekolah dan asrama pun didukung oleh paroki.
Dandan berbusana
Karena ke-elitan-nya itu, Widi masuk sosok pribadi yang agak “tertutup”. Tidak suka banyak omong dengan banyak seminaris dan cenderung sangat irit bicara.
Kalau pun penulis bisa akrab dengan almarhum Widi, maka itu melulu perkara “meguru” sembari dibuat kagum atas gaya perlente cara dia berbusana.
Karena itu, saat tahun 2016 kami bisa bertemu untuk pertama kalinya sejak berpisah tahun 1981, antara penulis dan almarhum Widi masih tersimpan emotional bond perihal cara berbusana yang super mlithit itu.
Hidup membujang
Saya agak kaget ketika bertanya padanya tentang keluarganya. Ia menyebut dirinya hingga saat itu dan sampai meninggalnya masih tetap hidup membujang. Bahkan ada saat-saat tertentu, kata Widi sendiri lain waktu, hari-harinya sangat sepi di rumah.
Meski pernah lama sakit, hingga sekarang dia mengaku masih hidup sendirian dan tugasnya adalah menemani ibunya yang sudah sepuh.
Penampilan Widi masih seperti dulu. Berbusana rapi, namun pengaruh gaya hidup urban kini mulai menempel: pakai gelang dari bahan akar rotan, sudah mau pakai T-Shirt yang dulu di Seminari mungkin jarang orang punya sebagai busana harian, dan mulai banyak senyum.
Yang tidak berubah pada diri sosok Widi adalah tradisinya yang masih sangat irit bicara.
Reuni kecil di Wisma SJ Depok
Hal sama penulis alami lagi, ketika rombongan alumni Seminari Mertoyudan KPP 1978 dan KPA 1981 kumpul-kumpul di Wisma SJ Depok. Ada acara misa bersama dengan Romo Ignatius Swasono SJ –juga teman angkatan- di mana Thomas Suhardjono lalu bagi-bagi buku Katalog Merto TuLus 78/81.
Tak banyak teman datang. Selain angkatan 78: Donny Kamagi, Surasto Pramuji, Romo Swasono SJ, Thomas Suhardjono, Winarto, Koesbramono, Harsono, penulis, dan teman KPA 81 Yus “Yosi” Sasana.
Karena datang terlambat, maka penulis langsung duduk di sayap kanan aula. Eh ternyata di samping penulis sudah duduk pula almarhum Widi.
Penulis nyaris tak kenal siapa dia sebelumnya, karena kami sama-sama “tutup muka” dengan dua masker. Barulah ketika sesi syering dimulai, penulis baru ngeh bahwa di sisi kananku itu tadi ternyata almarhum Widi.
Lagi-lagi, Widi masih tak banyak bicara.
Barulah saat pulang bersama Rasta dan Yosi, dalam perjalanan Widi mengaku sekarang bisnis kecil-kecilan bidang usaha kuliner.
Karena itu, dia minta boleh turun di exit gate Tol Pondok Indah untuk kemudian bisa “ngacir” menuju lokasi outlet bisnis kulinernya di sekitaran titik turun nebeng mobil dalam perjalanan pulang itu.
Sementara penulis duduk di sebelah kiri pengemudi, Rasta dan Widi berada di bangku baris belakang. Kami tak sempat menoleh ke belakang, ketika Widi pamit undur diri untuk turun dari mobil.
Ia buka pintu sebelah kiri dan kemudian kami saling ucapkan “selamat tinggal”. Widi keluar dan berjalan ke arah mal. Dan rupanya jejak langkahnya itu merupakan penampakan fisik terakhir Widi di pelupuk mata penulis.
Tak terasa, penulis sampai menitikkan air mata, ketika pekan lalu tiba-tiba terbetik berita bahwa Widi sakit parah. Levernya kena. Dan hanya bertahan beberapa hari saja, akhirnya Widi meninggal dunia di RS Pertamina hari Selasa malam tanggal 11 Januari 2022 semalam.
Dari dunia sana, almarhum Widi masih saja senang membisikkan kata-kata saktinya kepada penulis: “Har, kalau kamu berpakaian mbok ya sing rapi dikitlah. Itu hem-nya kamu masukkan ke celana, biar kelihatan perlente.”
Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam.