ZAMAN Romo Ignatius Haryoto SJ menjadi Magister Novis di Novisiat Jesuit St. Stanislaus Kotska Girisonta, Ungaran, Jateng, berlaku sebuah adagium yang berlaku umum untuk semua frater novis calon Jesuit.
Kurang lebih bunyinya seperti ini: dianggap belum sah jadi novis calon Jesuit, kalau belum pernah berhasil mendaki Gunung Ungaran. Tentu saja harus sampai puncak gunung.
Begitulah kira-kira bunyi adagium tersebut yang menjadikan setiap frater novis Jesuit merasa diri harus berani naik gunung. Karena itu, para novis Jesuit di Novisiat Girisonta kemudian seperti “dihantui” hasrat besar untuk sekali waktu bisa mendaki Gunung Ungaran dan berhasil tiba mencapai puncaknya.
Dua étape pendakian
Gunung Ungaran itu sendiri termasuk gunung berapi. Tidak terlalu tinggi sebenarnya; hanya 2.050 m di atas permukaan air laut. Perjalanan menuju puncak dikesankan berlangsung pada dua “étape”.
Tahapan (étape) pertama cenderung agak landai; hanya menyusuri jalan setapak dengan kanan-kiri hutan lebat dan jurang sangat dalam.
Barulah di tahapan kedua, jalur pendakian sangat menanjak dengan kemiringan sekitar 45%. Di sinilah nyali para pendaki diuji. Tidak hanya mental, tapi juga kekuatan fisik.
Mendaki Gunung Ungaran bersama Magister Novis: Romo Ignatius Haryoto SJ
Karena ada semacam “adagium” di atas, maka para novis Jesuit di Kolese St. Stanislaus Girisonta selalu bersemangat manakala diajak naik Gunung Ungaran. Apalagi bersama almarhum Romo Haryoto SJ. Untuk mengisi waktu liburan quindine.
Kala menjalani novisiat tahun pertama, penulis mengikuti program naik gunung tersebut. Bersama Romo Haryoto SJ yang memerankan diri menjadi “penutup” langkah para pendaki.
Sementara barisan “penyapu” alur jalan pendakian di bagian depan -kalau tidak salah ingat- waktu itu dilakoni oleh Frater Roni Nurhayanto – kini imam Jesuit. Sudah pada waktu itu, Romo Roni Nurhayanto SJ dikenal punya daya kekuatan fisiknya ampuh luar biasa.
Novisiat tahun kedua, bersama almarhum Romo Warnabinarjo SJ -waktu itu Minister Novisiat- kami pergi mendaki Gunung Merbabu.
Para Suster AK Ungaran ditemukan kelelahan di puncak Gunung Sindoro
Kurang lebih di tahun 1984 itu pula, Romo Ignatius Haryoto SJ membuat kehebohan besar. Terjadi ketika Magister Novis Jesuit ini bernyali membawa rombongan para suster Abdi Kristus (AK) dari Ungaran; plus hanya beberapa frater novis Jesuit dengan postur fisik kuat. Berrsama-sama mereka pergi mendaki Gunung Sindoro di wilayah Kabupaten Temanggung, Jateng.
Maka berangkatlah rombongan besar -mungkin lebih dari 15 suster novis AK- bersama Romo Ignatius Haryoto SJ dan beberapa novis Jesuit. Antara lain Frater Budi Subanar -kini imam Jesuit dan dosen Universitas Sanata Dharma, St. Sunardi (dosen USD), Filomena Jacob Abel (imam Jesuit di Timor Leste), dan beberapa kolega novis Jesuit lainnya.
Kehebohan itu lantaran dipicu oleh “persepsi salah” oleh sebuah media nasional terbitan lokal di Semarang.
Ada seorang suster novis AK yang mengalami musibah di puncak gunung. Kemudian, oleh beberapa temannya, ia harus jalan dituntun saat turun gunung. Akibatnya, jadwal ketibaan di basecamp bawah menjadi sangat molor beberapa jam dari prediksi awal mula.
Mestinya sore hari, rombongan para pendaki sudah tiba. Namun baru esok harinya, rombongan pendakian para novis suster AK dan novis Jesuit berhasil dievakuasi dan tiba di basecamp bawah.
Suasana ketidakpastian itulah yang kemudian memicu “kehebohan” di Novisiat SJ waktu itu. Sampai-sampai Minister Rumah almarhum Romo Warnabinarja SJ dan beberapa suster AK berprakarsa menjemput rombongan di kaki gunung. Mereka mesti harus bersabar, karena rombongan baru tiba beberapa jam kemudian.
Peristiwa ini “ditangkap” oleh media nasional dan “insiden” naik gunung ini kemudian diberi judul menarik tapi bisa misleading dan sensasional -karena langsung memberi persepsi buruk: “Para frater dan suster pendaki gunung ditemukan kelelahan.”
Frater Novis Toni Santoso selalu meledek para kolega frater, karena judul pemberitaan koran terbitan Semarang ini. Saya melihat beberapa kali Frater Novis Budi Subanar mesti menjalani terapi fisik di RS Sint Elisabeth Semarang, karena lengannya “kepuntir” saking beratnya beban pikulan yang harus dia bawa di ransel terpal carrier. Saya melihat teman angkatanku ini sering berolahraga ringan dengan menarik beban kecil yang dipautkan pada tiang kayu di gang depan kamar Romo Albertus Rutten SJ.
Bersama Hartoni Ashali naik Gunung Ungaran
Gunung Ungaran dan almarhum Frater Antonius Hartoni “Toni” Ashali (1961-2023) menyimpan kisah tersendiri bagi penulis.
Beberapa bulan sebelum Hartoni Ashali dan kolega angkatan novis 1981-1983 mengucapkan kaul pertama sebagai Jesuit tanggal 8 Juli 1983, Toni memimpin satu rombongan kecil untuk mendaki Gunung Ungaran.
Rombongan itu terdiri dari almarhum Hartoni Ashali sebagai pemimpin rombongan pendakian, Fr. Toni Santoso (dari Brumbungan Semarang), Fr. Robertus Haryono Imam (alumnus SMA Kanisus Jakarta), dan penulis yang waktu itu -saking demennya nonton film perang- mulai seneng menyebut diri “Bright Star”.
Sebenarnya saya pribadi tidak terlalu yakin bisa naik Gunung Ungaran lagi. Lantaran sudah terlanjur sedikit lebih gemuk dan juga tidak punya postur fisik sekuat tiga teman lainnya. Apalagi setahun sebelumnya juga pernah mendaki Gunung Ungaran dan beberapa bulan sebelumnya naik Gunung Merbabu.
Hartoni Ashali itulah yang kemudian membombong moril penulis untuk mau naik gunung lagi. Ia tahu saya tidak suka olahraga, karena lebih suka duduk manis dan menulis. Namun, Toni tidak putus asa untuk mengajak saya naik Gunung Ungaran lagi.
Dan benar saja, dari empat novis Jesuit ini, sayalah yang paling “lamban” berjalan. Selalu kedodoran jalan, ketika harus menaiki étape kedua. Ngos-ngosan bener dan Toni selalu menjulurkan tangannya untuk menarik tubuh saya agar bisa sedikit “meloncat terbang”. Karena saking pendeknya postur tubuhku, saya selalu tidak mampu meraih ranting pepohonan sebagai “pijakan” untuk bisa “ngayang” naik ke ketinggian.
Akhirnya kami berempat berhasil sampai di puncak Gunung Ungaran jelang tengah malam. Tiba-tiba hujan sangat deras terjadi di puncak gunung. Waktu itu saya mungkin satu-satunya pendaki yang restless dengan hujan deras di puncak Gunung Ungaran ini. Teman lainnya yakni Fr. Toni Santoso dan almarhum Robert Haryono Imam mengambil sikap tenang-tenang saja.
Hartoni mencoba “neng-nengi” (menenangkan) saya agar tidak terlalu cemas menghadapi dinginnya puncak gunung. Saat itu, tenda di mana kami berempat berbaring sudah basah oleh aliran hujan sehingga praktis sepanjang malam itu kami tidak bisa tidur.
Kalau ada hal yang menghibur kami berempat saat itu adalah pemandangan indahnya sunrise yang muncul di ufuk timur. Juga hangatnya hidangan makanan berupa mie instan dan biskuit yang disiapkan oleh almarhumah Suster Andrea OSF – kepala dapur Kolese Stanislaus Girisonta waktu itu.
Kira-kira jam 08.30 pagi, Hartoni Ashali memberi “instruksi” kepada kami bertiga untuk segera turun. Pada étape turunan pertama dengan kemiringan hampir 45% inilah, Hartoni mengajak kami “balapan” lari untuk mencapai étape kedua turun. Dan benar saja, Hartoni sebagai pemimpin regu selalu berada di garis depan. Kali ini, saya tetap di urutan paling buncit.
Tapi, saya harus berani mengatakan hal ini. Inilah untuk pertama kalinya saya merasa “gagah perkasa” karena turun gunung bisa berlari-lari kecil seakan-akan mau balapan dengan Hartoni, Robert Haryono Imam, dan Tony Santoso.
Kini, Hartoni Ashali dan Robert Haryono Imam sudah tiada. Robert telah meninggal beberapa tahu lalu karena serangan jantung. Sementara, Hartoni juga telah pergi menghadap Tuhan di Hamilton, Canada, tanggal 8 Oktober 2023 awal pekan ini.
Yang menarik pula, dari empat pendaki gunung itu, hanya saya novis Jesuit non Tionghoa.
Disuruh ambil air minum di jeriken tentengan
Sampai di étape kedua turun. Saya dan Hartoni mengalami sedikit bersitegang. Hanya lantaran karena sebagai pemimpin regu, Hartoni menyuruh saya untuk mengambil bekal air bersih di sebuah sumber air. Lokasi tuk sumber air itu letaknya kurang lebih 300-400 meter dari titik rendez-vous di étape kedua turunan ini.
Karena soal mendaki gunung saya termasuk kuper dan kurang pede, “perintah” itu saya protes. Mestinya Robert Haryono Imam atau Tony Santoso yang fisiknya jauh lebih fit dibanding saya. Begitu kurang lebih isi hati protes saya kepada almarhum Hartoni Ashali.
Namun, karena waktu sekarang ini waktu terbaik untuk belajar taat sama “pembesar”, maka perintah itu saya jalani juga. Meski dengan luapan emosi nggrundel setengah mati. Juga karena merasa takut harus “pergi sendiri” ke jurang – tempat tuk (sumber air alami) itu berada di sebuah aliran sungai kecil.
Kisah “pemberontakan” saya ini rupanya terdeteksi kuat oleh Hartoni. Sehingga sedikit mempengaruhi pola persahabatan kami sebagai sesama rasul untuk Stasi Tegal Melik. Setiap Senin petang sampai malam hari, kami berdua selalu bersama pergi bareng mengunjungi umat di kaki Gunung Ungaran ini.
Menjadikan lebih pede
Kalau mesti menarik benang merah dari pengalaman naik gunung ini, kiranya Hartoni Ashali sangat berperan besar pengaruhnya pada diri saya untuk “memeluk” rasa percaya diri.
Apa yang dulu pernah saya peroleh dari dunia ke-Pramuka-an di SMP Pangudi Luhur, kini lebih digojlok lagi oleh Hartoni di medan pendakian naik gunung.
Dan pengalaman itu rupanya memberi bekal mental lebih “berani”, ketika di tahun 1991, saya diajak naik Gunung Gede oleh Romo Wuryanto Hadisumarta SJ dan Ibu Komang berserta murid saya di Kolese Gonzaga: Mario.
Dalam pendakian ini, ikut bergabung pula Fr. Pamungkas Winarta SJ – kini imam diosesan Keuskupan Ketapang, Kalbar.
Meski diganjar diare hebat sebelum naik gunung, saya tetap bersemangat naik Gunung Gede.
Sekalipun ngos-ngosan benar sehingga terbetik keinginan untuk mundur dari jalur pendakian, namun dorongan moril dari Mas Wuryanto menjadikan saya berhasil mendaki sampai puncak Gunung Gede di wilayah Kabupaten Cianjur, Jabar.
Terimakasih Hartoni Ashali atas pengalaman naik Gunung Ungaran tahun 1984. (Berlanjut)
Baca juga: In Memoriam Hartoni Ashali, Piano Seminari Mertoyudan (5)