UNTUK ibunda Romo FA Martana Pr.
“Jangan anggap saya sebagai pamong. Saya di sini sebagai bapak dan sekaligus ibu bagimu. Tugas utama adalah membantumu belajar dan berkembang sebagai seminaris di Medan Madya 2, kelas 1,” kata Romo FA Martana Pr, saat membuka dan menyambut masa pendidikan pertengahan Juli 1983.
Tak banyak kata nasihat yang keluar dari mulut beliau. Tindakan bagi beliau berbicara lebih nyaring dari kata-kata.
Maka, segera kami tidak menjadi risi ketika membersihkan yang paling kotor di antara yang kotor: kosek WC dan urinoir.
Di waktu berikut diteruskan di terminal angkot dan bus antar kota di Secang, Magelang, Muntilan, saat kegiatan bakti sosial di masa Prapaskah dan Adven.
Romo Martada, panggilan yang diam-diam kami sematkan, memulai kosek WC dan urinoir, saat opera sore. Tak hanya itu: sandal ban bekas dan makan siang di refter besar. Teladan hidup sederhana.
Sering pula setelah kembali dari Jogja, saat pertemuan medan, selalu bertutur:
“Saya tadi pulang ke rumah di Gunung Ketur. Menjenguk nenekmu. Salam dan doa dari beliau. Ibuku, ya, nenek kalian, membuatkan oleh-oleh untuk semua. Ibu membuatkan sendiri. Dibantu adik-adik. Kue ini dibuat dengan cinta.
Silakan Juan dan teman-teman membagi. Masing-masing dapat sepotong. Tidak ada sisa.
Yang harus disisihkan adalah waktu berterimakasih pada dan mendoakan beliau.
05.03.2024. bm-1982. ac eko wahyono.
Baca juga: RIP Ny. Agnes Haryati Maryoto, ibunda almarhum Romo FA Martana Pr