Senin, 23 Februari 1987.
Hari ini, aku bangun cukup awal karena kelompok kami mendapat giliran memasak. Aku mengambil beras, bulgur, minyak goreng, garam dan ikan asin di gudang dengan Yohanes. Pukul 06.00 WIB, semua piring telah kami isi dan kami siapkan di meja makan.
Aku memukul tiang beton di dapur asrama tanda bahwa makan pagi sudah siap. Para warga masuk dan mengambil piring mereka masing-masing di meja.
Di sekolah, setelah istirahat kedua, kami diperintahkan mencari dompet salah seorang anak kelas I yang hilang. Tidak lama kemudian siswa kelas IIIA2 disuruh masuk. Kemudian, wali kelas kami masuk pula. Ia mengambil kursi rotan dan ditempatkannya sama tinggi dengan kursi siswa.
Ia duduk dan berkata, “Selama ini kalian memanggil saya Bruder, guru dan teman. Ada kalanya kita bergurau, teman dalam belajar. Tibalah saat sekarang saya harus berpisah dari kalian”.
Mendengar dia berkata demikian, semua kami siswa kelas IIIA2 tersentak. Selama ini kami tidak mendengar bahwa beliau akan pindah. Selanjutnya ia berkata-kata terbata-bata dengan mata berlinang. “Sebenarnya sangat berat untuk berpisah dari kalian. Saya minta maaf jika selama ini ada tutur kata, tingkah laku saya yang tidak berkenan di hati kalian”.
Beberapa teman putri tidak bisa lagi menahan rasa haru, mereka menangis terisak-isak.
Sejenak suasana hening. Sebagai wakil ketua kelas, aku mengisyaratkan agar ketua kelas kami bernama Iuskandar bisa menyampaikan sepatah kata perpisahan untuk wali kelas kami itu.
Ia pun mengerti maksud yang kusampaikan. Ia berdiri dan menyampaikan sambutan ini kepada wali kelas yang sangat kami cintai itu.
“Saya mewakili teman-teman menyampaikan banyak terima kasih atas bimbingan yang Bruder lakukan kepada kami selama ini. Kami sangat menyayangkan Bruder cepat-cepat pindah dari sekolah kami. Sebenarnya kami masih memerlukan bimbingan. Bruder itu orangnya baik, tidak pernah marah, selalu menghargai kami para murid. Kalau Bruder mengajar, kami gampang mengerti apa yang sampaikan.”
“Bruder orangnya sabar dan selalu ceria. Pada kesempatan ini, saya mewakili teman-teman semua mengucapkan terima kasih atas bimbingannya selama ini. Kami juga minta maaf, jika selama ini ada perkataan kami ataupun tingkah laku kami yang tidak berkenan di hati Bruder” Ketua Kelas kami Iuskandar selesai menyampaikan ucapannya, lalu duduk.
Selesai berdoa, kami kompromi untuk mengadakan acara perpisahan dengan wali kelas kami nanti sore. Kami sepakat untuk datang pukul 16.00, sebab beliau bersedia datang pukul 17.30.
Minggu, 20 Desember 2020
Pagi, pukul 06.00 aku sendirian misa di Gereja Katedral St. Gemma Galgani Ketapang. Isteriku masih tidur, aku sengaja tidak membangunkannya karena tadi malam ia mengeluh sakit kepala. Demikian juga anak-anak masih tidur.
Sejak masa pandemi Covid-19 Maret lalu, kami tidak pernah membawa anak-anak kami yang masih kecil untuk misa di gereja. Baru satu kali, Natal kemarin saya memabawa anak saya yang masih SMP kelas 9 mengikuti misa di gereja. Tentu saja dengan mengikuti protokol kesehatan.
Sekitar pukul 10.00 aku dan istreiku pergi ke toko pakaian di Jl. MT Haryono. Ini adalah toko pakaian ketua kelasku Iuskandar ketika di kelas tiga SMA.
Kami ke situ untuk membeli pakaian untuk Natal. Sejak lulus dan mulai kerja tahun 1995, aku bertemu kembali dengan mantan ketua kelasku itu. Ia bercerita, sejak lulus tahun 1987 ia sempat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Pontianak.
Tapi karena kesulitan biaya, ia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya. Ia pulang ke Ketapang dan kemudian membuka sebuah toko pakaian. Ia sempat memiliki dua toko, yang satu ia kelola dan yang satu lagi anaknya yang mengelolanya. Akhir-akhir ini karena pembeli berkurang, maka kedua toko itu digabung menjadi satu.
“Halo Mon, apa kabar? Mau cari pakaian apa?,” ia duluan menyapa.
“Baik. Kami mau mencari pakaian untuk anak-anak dan juga untuk kami,” jawabku.
“Tidak pulang kampung kah Mon Natal ini?,” tanyanya lagi.
“Tidak. Aku tidak berani membawa anak-anak keluar kota karena situasi covid seperti sekarang ini. Lagi pula kalau pulang kampung, memerlukan biaya yang tidak sedikit,” begitu jawabanku.
Istriku sudah mencari pakaian dipandu karyawan toko. Aku asyik ngobrol dengan temanku sejak SMA itu.
“Natal ini kamu juga tidak ke mana-mana?,” tanyaku lagi.
“Natal ini aku tidak ke mana-mana. Tapi sebelum Tahun Baru aku dan isteriku berencana untuk mengunjungi anak kami yang di Jakarta,” jawabnya lagi.
Ia pamit sebentar pergi ke rumahnya. Sekitar 15 menit kemudian ia muncul lagi. Kami pun hampir selesai mencari pakaian yang kami inginkan. Pakaian kami dibawa karyawannya ke meja dan dihitung harganya oleh sang mantan ketua kelas.
Sebagai bonus, ia memberi sepotong kemeja kotak-kotak untukku. Kami pun pamit pulang.
Jumat, 1 Januari 2021
Pukul 07.06 ketika aku membuka WA grup SMA kami, ada berita bahwa rumah teman sekelas kami Emi, terbakar tadi malam.
Pukul 08.50 aku sudah berada di lokasi. Di sana sudah ada teman kami dan suaminya sedang mencari barang-barang yang mungkin masih tersisa.
Pilu hatiku melihat sahabat kami ini. Aku sempat pangling ketika melihatnya. Ia baru saja sakit dan belum pulih benar. Harus menanggung musibah seperti ini. Sekitar 1 jam aku di sana, kemudian aku pamit.
Pukul 09.00 aku sudah berada di depan rumah mantan ketua kelas kami. Kulihat ada dua mobil diparkir di depan rumahnya.
Satu di depan pagar dan satu di depan garasi. Karena pagar masih tertutup, aku tidak berani menyorong pagar dan mengetuk pintu. Aku kemudian menelpon.
“Halo, kau di mana? Aku sekarang di depan rumahmu,”
“Aku masih di Jakarta Mon. Apa kabar Mon?,” ia menjawab sapaanku.
“Ada teman yang rumahnya terbakar tadi malam,” jawabku.
“Rumah siapa Mon?” tanyanya lagi. Aku lalu menyebutkan nama teman kami itu.
“Oh ya kah?,” jawabnya dengan nada terkejut.
“Begini Mon, nanti aku akan menghubungi anakku agar ia menyiapkan beberapa potong pakaian untuk teman kita. Nanti kamu kuhubungi lagi,“ jawabnya lagi.
“Baik, kalau begitu. Terima kasih. Udah dulu ya,” kataku mengakhiri pembicaraan kami.
Pukul 09.36 ketika aku sudah berada di rumah. Muncul WA dari sang ketua kelas di HP ku.
“Mon, besok kalau anakku buka toko kusiapkan beberapa potong pakaian. Nanti kuhubungi Amon untuk diantar ke Emil.”
Sabtu, 2 Januari 2021
Pukul 09.20 aku mengantar isteriku pergi ke toko alat-alat jahit di Pasar Baru. Aku menunggu di motor. Pukul 09.37 muncul WA ketua kelas di HP ku.
“Pag, Mon. Kalau dah sempat tolong ambil paket buat Emil di toko. Kamsia Mon.”
Kujawab, ”Aok. Kamsia.”
Selesai belanja alat-alat jahit jahit, aku mengajak istreiku mampir di toko teman kami itu, dan mengambil satu bungkus pakaian yang sudah disiapkan anaknya. Pakaian tersebut langsung kami bawa menuju tempat pengungsian Emi di kompleks perumahan di Kalinilam.
Sabtu, 9 Januari 2021
Pukul 18.18 WIB, Kemo menelponku. Ia mengabarkan bahwa sang ketua kelas dan isterinya berada dalam pesawat yang hilang kontak ketika tinggal landas dari Jakarta tadi siang. Daftar para penumpang pesawat itu ada diposting di grup kami.
Aku kemudian membuka TV dan melihat postingan Herina dan Evy di grup dan ternyata ketua kelas dan isterinya ada di situ. Aku dan isteriku konsentrasi menonton berita.
Menjadi jelas dari berita bahwa pesawat yang mengalami hilang kontak di Kepulauan Seribu itu adalah pesawat dengan nomor penerbangan SJ 182 rute Jakarta-Pontianak. Di berita disampaikan bahwa para nelayan menemukan kabel dan keping yang diduga berasal dari pesawat itu.
Kami masih berdoa agar ada mujizat yang terjadi. Tapi semakin lama kami menonton, semakin kami pesimis.
Pukul 20.30 aku pergi ke toko Kemo. Di sana kami ngobrol tentang kemungkinan apakah sang ketua kelas dan isterinya masih hidup. Kemo bercerita bahwa ia mencoba menghubungi HP-nya sebanyak 30 kali.
Hasilnya nihil. Kami berdua pesimis apakah teman kami itu masih hidup. Kami sangat sedih memikirkan bagaimana anak-anaknya, karena kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.
Biasanya, kata Kemo, kalau pergi mereka itu bergilir, kalau tidak dia, isterinya yang pergi. Tapi kali ini mereka bisa pergi berdua karena ada anak dan menantunya yang jaga toko. Namun ternyata, kedua-duanya dipanggil bersama-sama.
Ketika sedang di sana, aku ditelpon oleh Aliak, teman kami yang ada di Solo. Ia mengatakan sudah menonton berita di TV, tapi tidak menyangka bahwa teman kami dan isterinya ada di situ. Ia justru tahu, ketika ditelepon oleh adiknya yang berada di Ketapang.
Pulang ke rumah aku tidak mau menonton berita lagi. Pukul 10.00 aku mencoba untuk memejamkan mata. Tapi setiap aku memejamkan mata, selalu terbayang wajah teman baikku itu. Setiap bertemu ia selalu ceria.
Sejak SMA pembawaannya ramah dan menyenangkan. Setiap Imlek ia selalu menelpon dan minta aku dan anak-anak datang ke rumah. Ia sering juga mentraktir makan aku dan teman-teman seangkatan.
Persahabatan antara kami terjalin sejak SMA hingga sekarang. Setiap menjelang Natal, kami selalu belanja pakaian ke toko mereka. Biasanya kami tidak pernah menawar, ia sendiri yang memberi potongan.
Hingga tulisan ini dibuat aku belum mendengar kamu dan isterimu sudah ditemukan. Baru satu jazad yang sudah teridentifikasi.
Selamat jalan Iuskandar dan Nelly.
Engkau sahabat sejati, yang tidak berubah dilekang waktu. Budi baik kalian selalu kami kenang.
Semoga kalian mendapat tempat yang layak di Rumah Bapa.