In Memoriam Jakob Oetama: Fenomena Guru Berbudi Bahasa (1)

0
460 views
RIP Jakob Oetama (Ist)

MENGENANG almarhum Pak Jakob Oetama yang dipanggil Bapa ke Surga pada hari Rabu, tanggal 9 September 2020 pada usia 88 tahun adalah fenomena Guru Berbudi Bahasa.

Peribahasa klasik “Bahasa cermin karakter bangsa”. Gaya Bahasa selingkung Kelompok Kompas Gramedia tentu tidak dapat lepas dari Guru Berbudi Bahasa, Jakob Oetama.

Bagaimana bahasa yang berbudi adalah bahasa yang mewartakan amanat hati nurani rakyat. Bahasa yang mencerminkan nilai moral demokrasi. Karakter jujur dan setia pada amanat hati nurani rakyat indikator batu uji Kompas Gramedia.

Bagaimana itu mungkin bahasa cermin karakter bangsa?

Sebaliknya, pemberitaan atau narasi di media sosial kekinian bisa jadi bencana dari skala kecil sampai nasional. Bahasa bisa jadi api atau pun bom waktu perpecahan suatu bangsa ketika bertubi-tubi bahasa menyemburkan  hoaks, kepalsuan, hujatan, nafsu kekuasaan, fitnah atau nilai rendah.

Bahasa didikte narasi berujung duit semata.  Bahasa mungkin dipakai untuk memutarbalikkan akal sehat,  menjadi bangsa yang tidak waras.

Next, bahasa otot lalu dikedepankan daripada berbudi bahasa, karena struktur mental yang mendistorsi Pancasila. Ketidakmampuan berbudi bahasa cermin kemunduran suatu bangsa, defisit di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

Hal yang perlu diperhatikan pada fenomena  Jakob Oetama dijemput oleh Bapa ke surga, melihat dalam jernih ada endapan akar problem: data penelitian PISA tentang level reading literacy peserta didik di bangku SMP menunjukkan skor jauh di bawah rata-rata dunia.

Adakah juga merupakan  petunjuk umum ketidakhadiran pembelajaran berbudi bahasa di sekolah-sekolah sepanjang Indonesia merdeka?

Menurut YB Mangunwijaya Pr, pemerhati pendidikan atau adik kelas Bpk. Yakob Oetama, berpendapat bahwa induk atau ibu dari kurikulum pendidikan adalah pelajaran Bahasa. Semua mata pelajaran yang lain berinduk pada pelajaran bahasa.

Pelajaran Bahasa adalah solusi kunci. Kedua sosok, berbudi bahasa itu pada tahun 50-an, masa remajanya dioptimalkan untuk pertama-tama studi bahasa di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.

Sekolah untuk calon imam Gereja Katolik itu menerapkan model pendidikan Greco Roman yang dipraktikan sejak filsuf Yunani, Aristoteles, abad 3 SM sampai dengan abad ke-17. Bahkan hingga kini di hampir seluruh negara Eropa. Model pendidikan gymnasium untuk menyiapkan studi pada jenjang universitas.

Kenyataan historis, kurikulum gymnasium dalam tradisi Greco Roman melatih kemampuan fisik (gymn lebih era Kekaisaran Roma sebagai spartan), dan moral (era Yunani untuk menjadi pemimpin polis yang bijak, bermoral publik).

Dalam gymnasium, anak mulai usia 12-13 tahun disajikan 3 unsur pendidikan bahasa yaitu: literatur (bacaan  yang baik), reading (kemampuan interpretasi dan refleksi) dan writing (seni mengekspresikan, bisa dalam aneka tulisan sampai seni drama).

Induk kurikulum ini bukan hanya mempelajari bahasa klasik seperti Yunani, Romawi, juga bahasa modern seperti Inggris, Perancis, dan Jerman, tetapi juga bahasa Jawa Kuno, dan matematika, sains.

Dipastikan, pertama-tama seperti peribahasa mengatakan “good books as same as good how to read”.

Bacaan bagus (seperti, khasanah sastra Yunani dari Sopholes, Cicero) sama baiknya dengan cara-cara memanfaatkan strategi-strategi menginterpretasikan, seni imaginasi, dan seni mengekspresikan melalui bahasa tentang bagaimana rakyat hidup dan bagaimana rakyat menghidupi kehidupan mereka.

Bagaimanapun juga kita tidak dapat habis pikir, bahwa peserta didik dirasa cukup hanya disediakan bacaan bagus saja, atau pun membaca teknis dengan pertanyaan sekedar pemahaman harafiah atas teks.

Apalagi, tidak disiapkan literatur bermutu di sekolah. Oleh karena itu, semua pendidik wajib pada era digital ini membimbing siswa untuk mampu memilih bacaan bagus, dan untuk melatih strategi-strategi dan alat-alat khusus memahami teks sesuai coraknya.

Dalam koran Kompas, rubrik Tajuk Rencana menjadi suatu bacaan  bagus dan utama bagi pembaca karena biasa ditulistangani sendiri oleh wartawan senior, seperti Pak Jakob Oetama.

Alangkah elok, para peserta didik memang memilih bacaan bagus untuk melatih bersama pendidiknya: bertata bahasa, brainstorming mind map dalam diri peserta didik, untuk diuji bersama penulis, memetakan dan mengevaluasi teori, asumsi dari gagasan teks,  interpretasi kritis, refleksi diri, refleksi hidup bersama, berimaginasi menuju ideal moral, dan ambil sikap dasar sebagai rancang program dan  bertindak.

Celaka jika teks hanya dihafal secara harafiah, bahkan belum utuh jika sekadar seni memahami eksegese, metode tafsir teks.

Karena, seni memahami eksegese cenderung individual atau eksklusif, self service thinking. Maka, membaca selain berdialog dengan penulisnya secara individual, tetapi juga interaktif bersama seluruh kelompok studi atau pleno di kelas.

Teks menjadi bacaan bersama-sama.

Dalam pleno itulah, peserta didik belajar berlatih: bagaimana berpikir kritis dan kreatif: jelas, lengkap, koresponsensi kata dan fakta, seimbang, teliti, lugas, spesifik, konsisten, logis, relevan, fair, indah, baik, dan benar.

Bukan teks dihafalkan, tetapi membaca itu tindakan terus menerus: memeras otak, kerja keras otak.

Betapa cara-cara membaca, tidak berhenti pada eksegese, tetapi memahami dari sisi penulis dan mentalitas budaya sekitar penulis atau dikenal dengan seni memahami hermeneutik.

Akan tetapi, lebih jauh lagi, membaca adalah tindakan terus menerus (menjadi struktur budaya) membaca kenyataan kehidupan yang melatar belakang dan latar depan yang diekspresikan dalam kata-kata atau teks.

Inilah seni memahami phenomenologis atau jurnalisme bermakna baik dari sisi penulis maupun komunitas pembacanya.

Pada tataran membaca secara fnomenologis oleh komunitas pendidikan pada jenjang mana pun baik formal, maupun informal, bangsa ini menjadi cerdas.

Menjadi modal budaya bangsa.

Problem pendidikan masih saja belum dipecahkan antara lain: rendahnya literacy membaca, menulis, berhitung, matematika dan ICT.

Saatnya, mengenanghadirkan latar pendidikan gymnasium Pak Jacob Oetama. Juga jadi fenomena guru berbudi bahasa ada dalam tradisi gaya selingkung Kompas Gramedia.

Setiap unit usaha, khususnya unit media massa ada bagian editor dengan program rutin, forum bahasa untuk bersama-sama, bergotong royong membangun media sebagai sarana pencerdasan diri dan bangsa.

Belajar berbudi bahasa dalam komunitas yang anggotanya saling asah asuh untuk mendapatkan layanan excellency

Juga ada forum-forum diskusi untuk interpretasi hasil seni budaya yang rutin dilakukan di Bentara Budaya di beberapa kota. Semoga phenomena Jakob Oetama, terus bergetar juga di Unit Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara bersama-sama seluruh anak bangsa Indonesia menggelora gema amanat hati nurani rakyat.

Bahasa menjadi kekuatan mencerdaskan kehidupan bangsa, ketika bahasa itu menyatu dengan budipekerti (moral: sebuah amanat hati nurani rakyat).

Puji dan Syukur, Pak Jakob Oetama, anda satu kata dengan perbuatan. Fenomena Jakob Oetama: Pendidik Budi Bahasa, Pendidik Budi Oetama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here