HARI ini, Kamis tanggal 10 September 2020, jenazah almarhum Bapak Jakobus Oetama (Pak JO, Pak Jakob), salah seorang dari pendiri Kompas, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan karena almarhum menerima penghargaan bintang Mahaputra di bidang jurnalistik, 1973. Meninggal dunia kemarin, dalam usia hampir 89 tahun.
Lahir di Jowahan, tidak jauh dari Candi Borobudur, 27 September 1931. Anak pertama dari 11 bersadara.
Di rumah dipanggil Mas To oleh adik-adiknya atau Tom di sekolahnya, Pangudi Luhur (SR dan SMP) Pangudi Luhur, Boro, Kulon Progo, DIY.
Pak Jakob dilahirkan dari keluarga priyayi (Panji) yang berprofesi guru, dari pasangan Bapak Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo dan Ny. Margareta Kartonah Brotosoesiswo.
Lulus SMP Pangudi Luhur, Boro, 1945, langsung masuk seminari Menenggah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan. Saat di seminari menengah, Pak Jakob tidak tinggal di asrama tetapi ‘dititipkan’ di rumah umat.
Lulus Seminari Menengah, 1952, langsung masuk Seminari Tinggi dan tinggal di asrama Kota Baru Yogyakarta. Di seminari tinggi hanya tiga bulan, lalu keluar.
Hijrah mencari pekerjaan di Jakarta. Tahun 1952-1953 mangajar di SMP Mardiyuwana, CipomasmJawa Barat. Tahun 1953-1954 mengajar di Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung. Tahun 1954-1956 mengajar di SMP Van Lith, Gunung Sahari, Jakarta.
Sembari menjadi guru, Pak Jakob juga bekerja sebagai sekretaris redalksi Majalah Penabur (1956) yang dterbitkan oleh Kongregasi Ordo Fratrum Minorium (OFM). Di Penabur inilah minat dan jiwa jurnalistiknya ditumbuh-kembangkan.
Sambil bekerja, Pak Jakob juga mengambil Kursus B1 dalam ilmu sejarah. Dilanjutkan dengan kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik, lulus 1961.
Bersama Bapak Frans Seda, Bapak PK Ojong, menerbitkan koran baru dengan nama ‘Bentara Rakyat’. Terbit pertama 28 Juni 1965.
Oleh Bung Karno, disarankan ganti nama menjadi Kompas – penunjuk arah.
Di awal karirnya, Pak Jakob mengerjakan dua frofesi sekaligus: guru dan wartawan. Marwah kedua profesi ini sama, yaitu mendidik. Yang berbeda hanyalah sasaran dan bidang cakupannya.
Guru mendidik ‘hanya’ para muridnya yang terbatas baik sasaran maupun bidangnya. Wartawan mendidik masyarakat – sangat luas – baik sasaran maupun cakupannya. Kelak, wawasan yang luas dan majemuk ini akan tercermin dalam isi koran Kompas.
Profesi kewartawanan baru dipilih secara total setelah berdiskusi dengan Pater JW Oudejans,OFM, bosnya di Penabur. Kalimat yang mendorong untuk memilih berprofesi total sebagai wartawan adalah “Jakob, guru sudah banyak (orang), wartawan tidak.”
Pendidikan Seminari mewarnai gaya jurnalistiknya. Ilmu lmembawanya kearah berpikir yang jernih, runtut, dan logis. Sehingga, membuatnya dapat melihat persoalan sampai pada hakikatnya dalam konteks yang masuk akal-bernalar.
Ilmu Filsafat Antropologi membuatnya dapat mempelajari pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah manusia. Ilmu sosial-budaya – khususny Pendidikan Humaniora menumbuhkan rasa mengasuh, menggugah, serta mengembangkan pribadi manusia secara utuh. Tentu juga ilmu sejarah, yang digeluti ketika mengambil kursus B1, menambah warna jurnalistiknya.
Saya berpendapat, sajian Kompas, pada umumnya bersifat bagai pisau bermata dua, mengkritisi ‘with understanding’ dan sekaligus menawarkan alternatif solusi.
Sehingga, Kompas tetap kritis dilengkapi dengan fakta yang terkonfirmasi. Dengan cara sajian itu, Kompas dapat mengambil peran yang kokoh bagi pengembangan kehidupan bernegara yang semakin demokratis dan berbangsa yang majemuk dalam segala bidang.
Selamat jalan Pak Jakob.
Monumen besar jurnalisme Indonesia telah engkau dirikan di bumi Indonesia. Pantas engkau menerima sebuah pujian dari seorang wartawan AS sebagai seorang ‘Pahlawan yang masih hidup’.
Semoga dapat beritirahat dalam kedamaian di sana.
Pakem Tegal, 10-9-2020
Leo Sutrisno