In Memoriam Johanes Sukandar, Sekelas Kardinal Darmaatmadja SJ: Tritunggal Mahakudus Sungguh Nyata

1
479 views
Romo Widiatmoko OMI bersama almarhum ayahnya Johanes Sukandar. (Dok. Romo Widiatmoko OMI)

NAMANYA Pak Johanes Sukandar. Meninggal 20 Februari 2022, dalam usia 88 tahun. Tampaknya, tidak ada sesuatu yang sangat istimewa dari sosok yang sederhana ini.

Apakah yang bisa dikenang dari seorang pensiunan Kepala SMP; dulunya guru Bahasa Inggris? Tentu tidak lebih dari kesan-kesan para alumninya, koleganya, tetangga-tetangganya, atau komunitas di Gereja.

Teman sekelas dengan Julius Kardinal Darmaatmadja SJ

Kalau ada yang menarik dari sosok ini, barangkali karena beliau satu angkatan (satu kelas saat SR/Sekolah Rakyat) dengan Julius Kardinal Darmaatmaja SJ yang sama-sama berasal dari Muntilan.

Namun, bagi anak-anaknya, sosok almarhum Pak Sukandar menyimpan berbagai misteri.

Telah puluhan kali, Pak Sukandar berpesan kepada anak-anaknya demikian. “Usiaku akan panjang. Tetapi hanya Romo Wiwid yang akan ‘menangi‘.”

Romo Wiwid adalah anak tertua yang kini menjadi imam dari Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI).

Kata ‘menangi‘ dalam bahasa Jawa berarti ‘menjumpai, menghadiri, menjadi saksi mata.’

Pernyataan yang diulang berpuluh kali itu seperti deja-vu, atau lebih tepatnya ramalan. Dalam konteks keyakinan Jawa, pernyataan itu bisa dimaknai sebagai sebuah kualitas hidup yang sedemikian tinggi.

Orang macam ini dinilai memiliki kemampuan memahami apa yang akan terjadi. Bernubuat. Ngerti sadurunge winarah.

Puasa Senin-Kemis

Sejak usia 73 tahun (15 tahun sebelumnya), Pak Sukandar mulai menderita diabetes. Namun, sosok ini memiliki pola hidup yang sangat menarik.

Puasa Senin-Kamis tetap dijalankan dalam kondisi apa pun. Puasa itu tidak terlepas dari pola hidup rohaniah yang ditekuni, “yang paling berharga dalam hidupku adalah ketika diriku bisa bertemu dengan yang aku imani: Sing Gawe Urip, Tri Tunggal Maha Kudus.”

Tidak hanya soal hidup rohaniah saja, Pak Sukandar dikenal ‘prigel‘ (terampil) dalam hal-hal teknis hidup keseharian.

Untuk mengendalikan kerja pompa air, dia tidak pernah membeli alat buatan pabrik. Dia membuatnya sendiri.

Ketika rambutnya mulai memutih, dia belajar membuat alat seperti bando, sebagai sarana untuk memijat akupuntur.

Alat itu akan dipakai di kepalanya, dan secara otomatis akan memijat bagian-bagian kepalanya.

Rambutnya yang memutih pun mulai menghitam. Magic. Tanpa semir. Tanpa campur tangan dokter.

Ketika giginya mulai tanggal, dia membuat alat sehingga gigi yang terlepas itu tidak terpisah darinya. Tidak terlalu berhasil, sebenarnya.

Bahkan, sekalipun telah cukup lama memiliki diabetes, dia tidak pernah setia meminum obat-obatan.

Dengan kepercayaan yang tinggi, dia mempercayai akupuntur ciptaannya akan mampu membuat dirinya mengatasi persoalan darah di dalam tubuhnya.

Romo Widiatmoko OMI saat menerima berkah tanda salib dari ibunya, sementara almarhum ayahnya lalmarhum Johanes Sukandar menyaksikan. (Dok. Romo Widiatmoko OMI)

Covid-19

Dalam konteks Covid-19, kondisi diabetic ini dinamai sebagai komorbid.

Covid-19 akan memperparah kondisi kesehatan bagi mereka yang memiliki penyakit bawaan, seperti diabetes, jantung, ginjal, paru-paru dan lainnya. Oleh karena itu, ketika terpapar Covid-19, Pak Sukandar pun terkapar.

Romo Wiwid menemani almarhum bapaknya di RS Panti Rapih. Mendampingi. Mendoakan. Pada saat kondisi makin parah, hanya Romo Wiwid-lah yang berkesempatan untuk menemani sang ayah.

Adiknya laki-laki, bersama dengan isteri dan anak-anaknya, saat itu sungguh tidak mungkin mendampingi sang ayahanda. Ibu Anastasia Dewi Palupi (Bu Sukandar) juga ikut terpapar COVID-19 juga – dan untungnya semua hanya bergejala ringan.

Jadilah, tepat pada waktu Bapak Sukandar berpulang, hanya Romo Wiwid yang ‘menangi.’ Nubuat Bapak Sukandar benar-benar terpenuhi.

Dari sekian banyak kenangan, Romo Wiwid mengenang satu ungkapan yang menggetarkan hati. Seiring dengan tubuhnya yang melemah, ayahandanya berulang kali menyampaikan pesan:

Aku wis tutug, tekan semene anggonku lumaku ing donya. Eling, aku wis nemokakke sing tak goleki. Tritunggal Maha Suci pancen nyata. Ora perlu golek kasunyatan liyane. Percayaa wae.”

(Aku sudah sampai pada batas akhir kehidupanku di dunia. Ingatlah selalu, aku telah menemukan yang aku cari selama ini. Tritunggal Maha Kudus benar-benar nyata. Tidak perlu mencari kebenaran lainnya. Percayalah saja.)

Video kenangan

Berikut ini video kenangan Romo Widiatmoko OMI bersama almarhum ayahnya: Johanes Sunandar.

1 COMMENT

  1. Om Kandar adalah adik ragil dari ayah kandung saya bap Sutrisno. Dalemnya di Muntilan. Om Kandar lucu, penuh cerita dan wejangan…
    Pernah ngendiko (berkata) uripku akan panjang luwih saka 100 tahun….. bukan 1000 tahun om?
    Ada lagunya lho… beliau ketawa… ternyata ya memang panjang bener sd 88 th… bapak saya sampi 89 th.

    Yang paling keren ciptaannya.
    Spr diceritakan romo Wid, putra yang menjadi romo, belia membuat bando, penyemir ajaib. Ada lagi ubtaian kawat uyk memijat refleksi saya diparingi (diberi). Semarang om yang lucu itu telah meninggalkan kita. Selamat jalan ya om. Jangan lupa setelah samlaj di rumah Bapa, doakanlah kami keponakan2 yang masih di dunia ini. ???

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here