Pengantar redaksi
INI kisah lama. Ditulis oleh A. Kunarwoko sebagai saksi mata atas peristiwa meninggalnya Romo Bardiyanto Pr, imam diosesan Keuskupan Agung Semarang.
Almarhum Romo Bardi adalah teman satu angkatan tahbisan imamat dengan Bapak Ignatius Kardinal Suharyo.
Usai menerima Sakramen Imamat di Kapel Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan dari tangan Bapak Uskup KAS waktu itu – Justinus Kardinal Darmojuwono- almarhum Romo Bardiyanto Pr langsung mendapat tugas pastoral sebagai pastor paroki di Gereja Santa Perawan Maria Bunda Kristus Paroki Wedi Klaten.
Saat misa perdana di Paroki Wedi, Romo Suharyo yang waktu itu belum jadi Uskup ikut menemani almarhum Romo Joseph Bardiyanto Pr memimpin misa perdananya di Gereja Paroki Wedi. Ini terjadi di tahun 1976.
Berikut ini kisah peristiwa meninggalnya Romo Bardiyanto Pr di Roma yang ditulis oleh Mas A. Kurnarwoko.
————–
ALMARHUM Romo Joseph Bardiyanto menyimpan banyak kenangan untuk kita semua. Romo Bardiyanto di tahun 1986 itu meneruskan kepemimpinan Romo Wardjito SCJ sebagai Ketua Irrika (Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi Roma).
Romo Mudjisutrisno SJ, almarhum Romo Yohanes Pujasumarta (kemudian Uskup), dan Romo Agustinus Purnama MSF (kini Superior General Kongregasi MSF) menjadi anggota pengurus Irrika tahun 1986. Bareng dengan almarhum Romo Bardiyanto.
Akhir Juni tahun 1986 itu, saya baru saja datang di Roma. Diutus studi oleh Uskup KAJ Mgr. Leo Soekoto SJ dan begitu sampai di Roma langsung masuk Collegio San Paolo.
Saya diajak almarhum Romo Pujasumarta Pr menengok Romo Bardiyanto. Waktu itu, almarhum Romo Bardi sudah masuk RS dan kemudian dirawat di rumah sakit dekat kampus kami Urbaniana.
Serangan jantung di halte Roma
Romo Bardiyanto mengalami serangan jantung di sebuah halte bus antara Largo Argentina dan Piazza Venezia. Terjadi saat almarhum menunggu kedatangan bis; berdiri di halte itu usai kuliah di kampus.
Bisa jadi, demikian kata Romo Pujasumarta Pr waktu itu, almarhum Romo Bardiyanto Bardiyanto terlalu kelelahan, usai membantu paroki-paroki di Amerika Serikat sekalian di sana juga ikut menyelesaikan tesisnya.
Memang Romo Bardiyanto terkena serangan jantung, setelah beberapa hari datang dari libur musim panas.
Selama sepekan lamanya di rumah sakit, kondisi kesehatan beliau tampak sudah membaik. Setiap kami tengok, beliau terlibat ngobrol seru.
Beliau kan memang meriah, semanak dan nyumedulur. Malah di rumah sakit itu, saya sempat melihat beliau ngajak diskusi AD dan ART Irrika bersama Romo Mudjisutrisno, Rm Pujasumarta, dan Romo Purnama – para pengurus Irrika tahun 1986 itu.
Misa requiem di collegio
Ketika misa penutupan peti di kapel Collegio San Pietro, tempat Romo Bardiyanto tinggal, kapel penuh sesak dengan para pelayat.
Misa requiem saat itu dipimpin oleh Kardinal Pemimpin Propaganda Fide dan Rektor Collegio, seorang imam SVD Jerman yang sangat baik dan sangat mencintai Indonesia.
Rektor Collegio San Pietro nampak sedih dan sampai menitikkan airmata.
Pak Suhardiman, Dubes RI untuk Vatikan waktu itu, juga memberi sambutan.
Saya dan Romo Mudji ikut Pak Gondo, pensiunan karyawan FAO sampai mengantar jenazah Romo Bardiyanto ke Bandara Fiumicino.
Saya dan Romo Mudji sempat menyaksikan peti jenazah Romo Bardiyanto masuk kargo.
Pesawat Garuda Indonesia meninggalkan Roma dan mulai terbang menuju Indonesia sekitar pukul tiga sore waktu Roma.
Kata teman-teman di Kentungan, saat berlangsung misa requiem, sudah sejak pukul tujuh pagi kapel Seminari Tinggi Kentungan sudah penuh sesak.
Padahal umat salah menghitung selisih waktu.
Romo Bardiyanto kemudian dimakamkan di makam para imam praja KAS di kompleks Seminari Kentungan yang saat itu masih sepi “penghuni”.
Tentu belum “seramai” seperti sekarang.
Tentrem langgeng Gusti Romo.
Doakan kami semua yang masih pringas-pringis di dunia ini.