SAYA dan Pak Sur terbilang sangat akrab, meskipun berbeda jauh angkatan saat di Seminari Mertoyudan. Jalinan kedekatan kami sudah terjalin begitu lama. Bukan hanya karena ikatan batin sesama alumni Seminari Mertoyudan, tetapi juga karena perjalanan bersama dalam dunia bisnis.
Saya bahkan pernah ikut reuni angkatan Pak Sur puluhan tahun lalu dan saat itu sayalah peserta termuda di sana. Itu menunjukkan betapa erat hubungan kami.
Ketika beliau mulai merintis bisnis pertamanya “Seruni,” saya diajak untuk bermitra. Namun, lebih dari sekadar mitra bisnis, Pak Sur merangkul saya dengan semangat persaudaraan. Ia menjadikan kolaborasi kami tidak hanya profesional, tapi juga penuh rasa kekeluargaan.
Kami pernah berkumpul dan bermain badminton di Ciawi Center sambil berdiskusi soal pelatihan soft skills berbasis Six Sigma. Seru, bersemangat, dan selalu saja ada tawa karena banyolan-banyolannya yang spontan dan lucu.

Seruni
Perusahaan outsourcing Seruni yang beliau bangun memang mengalami pasang surut, sempat terpuruk karena perpecahan internal. Tapi Pak Sur tidak pernah menyerah. Dengan semangatnya yang ulet, ia membangun kembali bisnis tersebut lewat rebranding dan kerja keras—dan hasilnya, bisnis itu kembali bertumbuh.
Saya pernah mendukung bisnis Pak Sur dengan menyediakan puluhan tenaga motoris saat saya bekerja di Gudang Garam Group, dan kemudian di PT Sahabat Abadi Sejahtera, distributor Philips Lighting di Sunter. Sekitar dua pekan lalu sebelum terkena serangan stroke keduanya, Pak Sur masih sempat melakukan video call – menyapa saya dan mengajak bermitra lagi, kali ini untuk pengembangan bisnis di Kalimantan.
Teman diskusi dan mentor
Bagi saya, Pak Sur adalah sosok yang selalu saya rindukan. Ia teman diskusi yang menyenangkan, pemikir kritis, dan -yang paling saya suka- pembawa tawa lewat canda-canda khasnya yang penuh kejutan.
Yang menarik, ke mana pun saya berpindah kerja, Pak Sur selalu menjaga komunikasi. Silaturahmi itu tak pernah putus. Setiap saya ada dinas atau waktu luang, saya sempatkan mampir menemuinya. Pasti seru kalau kami sudah bertemu, apalagi kalau saya bawakan oleh-oleh—wajahnya selalu ceria menerima, dan sebelum saya pamit pulang, pasti ada sesi foto bersama.

Menerbitkan buku
Ketika saya menerbitkan buku, saya selalu meminta Pak Sur menjadi endorser. Ia turut mengisi sinopsis untuk buku parenting saya: How to Improve Your Child dan juga untuk buku pengembangan diri Morning Inspiration: How to Keep Yourself Motivated.
Saat saya membuka resto & cafe di Yogyakarta, beliau pun datang berkunjung bersama keluarga besar dan teman-temannya, seolah berkata: “Apa pun bisnis yang kamu lakukan, saya pasti dukung.”
Kepergian Pak Sur sungguh membuat saya kehilangan. Bukan hanya sahabat diskusi dan mitra bisnis, tapi seorang saudara seperjalanan dalam roh Seminari Mertoyudan.
Baju sasirangan
Saya masih punya hutang yang belum sempat saya wujudkan: saat video call terakhir, Pak Sur minta saya bawakan sasirangan, pakaian tradisional khas Banjarmasin yang mirip batik. Belum sempat saya kirim.


Pak Sur, sugeng tindak ya.
Sabtu sore kemarin, saya mengikuti misa Minggu Palma. Entah kenapa, saya menangis. Saya menangisi Yesus yang diarak masuk ke Yerusalem, tapi juga menangisi kepergianmu yang begitu mendadak. Dalam misa itu, saya berdoa untuk kesembuhanmu dan tak lama kemudian, saat saya menyalakan HP seusai misa, saya membaca kabar duka di grup Ikafite: Engkau telah pergi.
Saya menangis lagi.
Duka saya beruntun, karena dua sahabat sesama teman angkatan KPP79 dan KPA 82 di Seminari Mertoyudan lainnya -Welliam dan Ign. Paryono— juga telah berpulang hari Jumat tanggal 11 April 2025.
Pak Sur yang baik, selamat jalan. Jujur, saya teramat kehilanganmu, sahabat sejati. Tuhan berkenan lebih dulu memanggilmu. Doakan kami yang masih menempuh peziarahan ini.
Berkah Dalem
Anton Hardi