GEREJA Katolik Indonesia sedang berduka. Salah satu penulis lagu, pemimpin paduan suara, Linus Putut Pudyantoro, telah meninggal dunia Kamis (26/10/17) dinihari tadi. Linus mewariskan banyak karya. Barangkali salah satu yang fenomenal adalah lagu Bapa Kami dalam struktur melodi yang lebih populer dan terkesan ekumenis.
Selain musik liturgi, Linus juga peduli pada musik tradisi Indonesia. Pada tahun 2010, Linus memimpin paduan suaranya, Mia Patria (artinya: Negeriku) Choir, berkeliling Eropa untuk mempromosikan lagu-lagu daerah Indonesia dan liturgi. Pada kesempatan itu, Mia Patria Choir sempat bernyanyi di Basilika St. Petrus, di depan Paus.
Baca juga:
- In Memoriam Linus Putut Pudyantoro, Jejak Warisan Lagu-lagu Liturgis Gerejani Khas Katolik (2)
- In Memoriam Linus Putut Pudyantoro: Lagu Doa “Bapa Kami”, Warisan Ungkapan Iman Umat Katolik Indonesia…
- Requiem untuk Alm. Linus Putut Pudyantoro, Pencipta Lagu Doa “Bapa Kami”
Serupa tapi tak sama
Kombinasi antara musik liturgi dengan musik daerah itu mengingkatkan saya pada kelompok Paduan Suara Vocalista Sonora yang didirikan oleh Paul Widyawan di Yogyakarta tahun 1968 dan kemudian bernaung di bawah Pusat Musik Liturgi pimpinan Pater Karl Edmund Prier SJ.
Almarhum Linus sempat bergabung di Vocalista Sonora tahun 1980-an. Di antaranya dengan mengikuti tour ke Eropa tahun 1988.
Vocalista Sonora secara rutin mengadakan lokakarya musik liturgi dengan menggali metafora-metafora musik tradisi Indonesia. Ini selaras dengan kebijakan inkulturasi Gereja Katolik. Kebanyakan lalu ditulis di buku ibadat Madah Bakti. Pun juga, Vocalista Sonora juga sering sekali mementaskan lagu-lagu daerah Indonesia.
Nama pentasnya adalah Pentas Bhinneka. Kombinasi ini pula yang membuat Vocalista Sonora didukung oleh lembaga-lembaga Jerman seperti Missio Aachen dan Missereor untuk pentas keliling Eropa tahun 1978, 1984, 1988, dan 1992 dimana saya ikut.
Format yang sama lalu diteruskan oleh almarhum Linus.
Bahasa pementasan Mia Patria Choir hampir sama dengan Vocalista Sonora. Pakaian tradisional Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipakai oleh para penyanyi sopran, alto, tenor, dan bas. Secara teknik vokal sebenarnya tidak terlalu berpegang pada teknik standar paduan suara. Namun secara keseluruhan, tampilan di panggung tetap elok.
Alumnus Vocalista Sonora lain yang juga banyak mengeksplorasi tema kebinekaan adalah The Indonesian Choir yang digagas Jay Wijayanto. Bedanya, TIC mencoba memakai idiom lebih populer misalnya dalam pemilihan kostum.
Yang membedakan
Namun ada perbedaan ciri lagu-lagu Paul Widyawan dengan lagu-lagu Linus Putut.
Paul Widyawan sangat terpengaruh oleh ekspresi tradisional Indonesia. Sementara Putut lebih banyak terpengaruh oleh romantisme populer dan semangat ekumenis. Mereka berdua adalah penulis lagu penting dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Mereka digerakkan oleh suasana zaman yang berbeda. Paul digerakkan oleh semangat inkulturasi, sementara Linus banyak dipengaruhi oleh pembumian ajaran Gereja serta semangat ekumenis. Lagu-lagu Putut banyak diterima oleh komunitas urban.
Mas Putut sudah meninggalkan kita. Saya tidak terlalu mengenalnya secara pribadi karena kami berada di Vocalista Sonora di kurun waktu yang berbeda. Kami hanya sempat bertemu dan ngobrol beberapa kali saja.
Selamat jalan dan beristirihatlah dalam damai abadi.