RUPANYA ada rentang waktu sangat panjang bagi almarhum Linus Putut Pudyantoro untuk akhirnya bisa membakukan dirinya sebagai pencipta lagu-lagu liturgis gerejani khas katolik. Kisah tentang rentang waktu yang begitu panjang hingga akhirnya bisa menembus birokrasi ‘hirarki’ Gereja itu dikisahkan dengan apik oleh Wahyu Pribadi, mantan frater SJ yang menjadi yunior almarhum saat keduanya berjumpa di Seminari Mertoyudan kurun waktu tahun 1981.
“Pertemuanku terakhir dengan Mas Putut terjadi beberapa tahun yang lalu di Plasa Senayan sebelum kelompok koor asuhannya Mia Patria Choir berangkat ke Eropa. Makan siang di salah satu resto itu terasa membangunkan energi positif yang pernah kami timba bersama di Seminari Mertoyudan,” demikian Wahyu membuka catatan reflektifnya.
Baca juga:
- Requiem untuk Alm. Linus Putut Pudyantoro, Pencipta Lagu Doa “Bapa Kami”
- RIP Linus Putut Pudyantoro, Penggagas Mia Patria Choir dan Alumnus Seminari Mertoyudan Tahun 1980
- Requiem untuk Alm. Linus Putut Pudyantoro, Pencipta Lagu Doa “Bapa Kami”
“Waktu itu, almarhum Linus Putut Pudyantoro sempat bercerita bagaimana dia akhirnya rela memutuskan untuk ‘menjadikan’ karir profesionalnya bukan sebagai prioritas hidupnya. Itu dia lakukan, karena dia merasa terpanggil untuk menghidupkan dan membaharui liturgi gerejani khas katolik dengan cara menciptakan banyak lagu yang juga khas bersemangatkan katolik. Sejak itu, banyak lagu tercipta darinya dan kelompok koornya juga telah merekam serta mengedarkan banyak CD,” kenang Wahyu.
Menembus hirarki
Perjuangan almarhum Linus Putut Pudyantoro untuk bisa menembus birokrasi hirarki Gereja dan kemudian berkiprah dalam hal musik di Gereja ternyata tidak mudah. “Untunglah, dia punya jaringan pertemanan dengan banyak romo yang bersedia mau membantunya,”tulis Wahyu.
“Akhirnya, lagu-lagu liturgis gerejani hasil karyanya itu bisa diterima dan kemudian boleh juga dinyanyikan umat dalam perayaan ekaristi dan aneka ibadat. Sejak itu, almarhum mulai banyak berkeliling dari paroki ke paroki, dari keuskupan ke keuskupan. Tiga pekan yang lalu, ia masih melayani Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat,” konklusi Wahyu.
Meski Linus Putut Pudyantoro telah meninggalkan kita, demikian catatan reflektif Wahyu Pribadi, namun semua lagu rohani liturgis gerejani itu tetap akan abadi. “Lagu-lagumu itu akan membantu umat Gereja Katolik Indonesia untuk memuji Sang Khalik yang kini membahagiakanmu di Surga,” demikian tulis Wahyu seakan mau mengafirmasi pepatah bahasa Latin yang berbunyi “Bene cantat, bis orat” yang berarti “Siapa yang bernyanyi dengan apik, itu artinya dia berdoa dua kali.”
Terhadap bakat istimewa di bidang musik ini, penulis sering kali melontarkan decak kagum dengan mengirim pesan pribadi ke nomornya. Oleh almarhum Linus Putut Pudyantoro, lontaran kekaguman itu selalu hanya dijawab pendek dengan emosi datar penuh kerendahan hati. “Ya, memang hanya begini ini saja yang saya bisa lakukan,” tulisnya dalam bahasa Jawa yang mungkin terasa lebih nges.
Lagu “Terima Kasih” untuk Umat St. Clara Bekasi
Semangat berbuat kebajikan tanpa pamrih itu juga dilakukan oleh almarhum Linus Putut Pudyantoro saat menciptakan tembang bertitel Terima Kasih untuk umat katolik Gereja St. Clara Bekasi Utara. Ia sengaja menciptakan tembang itu guna mendukung langkah beberapa penggiat pencari dana untuk membiayai projek pembangunan Gereja St. Clara.
“Tembang bertitel Terima Kasih itu sekaligus menjadi judul album yang dijual untuk kalangan sendiri dalam rangka usaha penggalangan dana,” tulis Eman Dapa Loka di jaringan komunikasi para penggiat katolik di berbagai media.
“Tembang itu telah dinyanyikan dengan sangat apik oleh Romo Ray Sianipar OFMCap, pastor Paroki Gereja St. Clara,” jelas Eman.
Bersentuhan dengan tradisi katolik
Karya komposisi musik dan lagu yang dibesut almarhum Linus Putut Pudyantoro itu selalu ‘bersentuhan’ dengan Gereja Katolik. Saat berlangsung reuni lintas angkatan di Seminari Mertoyudan bulan Juli 2017 lalu, almarhum menorehkan karyanya dengan menciptakan lagu khusus untuk seminari.
Sebelumnya, saat berlangsung misa episkopal tahbisan Uskup Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko di bulan Mei 2017, ia juga membuatkan lagu khusus untuk Keuskupan Agung Semarang. Hal sama kembali dia lakukan saat misa tahbisan episkopal Uskup Keuskupan Pangkalpinang Mgr. Adrianus Sunarko OFM. Dua buah lagu baru tercipta untuk Keuskupan Pangkalpinang sebagai ‘hadiah khusus’ bagi Uskup baru, yunior setahun almarhum di Seminari Mertoyudan.
Kepada para suster SFIC di Pontianak bulan Juli 2017 lalu usai memberi workshop tentang lagu-lagu liturgi, sebuah lagu untuk Kongregasi Suster SFIC juga dia persembahkan. Yang paling gres tentu saja awal Oktober 2017 kemarin, ketika ia melakukan pelatihan di Keuskupan Ketapang. Kepada yuniornya setahun di Seminari Mertoyudan yakni Vikjen Keuskupan Ketapang Romo Sutadi Pr, almarhum Linus Putut Pudyantoro juga menghadiahi Keuskupan dengan dua buah lagu baru.
Dengan kiprahnya menciptakan banyak lagu gerejani liturgis khas katolik, kita bisa menempatkan almarhum sebagai komponis musik-musik gerejani kontemporer yang kini telah mendapatkan tempat di hati banyak umat dan Gereja Katolik. Mendengarkan kembali sejumlah lagu karya almarhum Linus Putut Pudyantoro, baik di luar maupun lebih-lebih di dalam gedung gereja, ketika tembang itu tengah dilantukan oleh paduan suara dan umat katolik saat berlangsung perayaan ekaristi dan misa perkawinan katolik, maka di situ kontribusi besar seorang Linus Putut Pudyantoro berada.
Jejak warisan ungkapan iman berupa lagu liturgis gerejani
Peran penting almarhum Linus Putut Pudyantoro dalam sejarah perkembangan musik liturgis kontemporer di panggung perayaan ekaristi dan aneka ibadat lainnya menjadi semakin signifikan, ketika dalam 15 tahun terakhir ini kita makin ‘digempur’ masuk oleh banyaknya komposisi-komposisi musik jenis pujian (worship) namun sering teks liriknya serasa tidak ‘pas’ dengan ajaran dan teologi katolik.
Serapan masuk musik dan komposisi lagu dari kelompok denominasi lain ini sungguh tak terhindarkan lagi, ketika umat katolik di abad milenial ini mulai merasa kurang ‘tune in’ dengan langgam musik dan lagu-lagu liturgis gerejani yang terkesan ‘hanya itu-itu’ saja sejak 30 tahun terakhir ini.
Di sinilah, hadirnya seorang Linus Putut Pudyantoro di jagad musik liturgis gerejani perlu kita letakkan.
Di dalam sejarah hidup almarhum Linus Putut Pudyantoro yang amat singkat ini (1964-2017), kita melihat bagaimana anak ragil buah hati keluarga RPS Padmabusono asal Langenastran, Yogyakarta ini telah memberi warisan berharga bagi Gereja Katolik Indonesia. Dan warisan itu menjadi ‘abadi’, justru karena teks lirik dan warna musik yang dia torehkan dalam beberapa lagu liturgis gerejani itu merupakan ungkapan iman umat katolik kepada Yesus Kristus.
Sepanjang tembang-tembang rohani itu merupakan ungkapan iman, maka dengan sendirinya almarhum Linus Putut Pudyantoro adalah jejak warisan musik liturgis pengungkap iman kristiani kepada Tuhan dengan sentuhan khasnya: sangat katolik dan bukan yang lain. Ketika lagu-lagunya ditembangkan dalam perayaan ekaristi, misa perkawinan katolik atau pada kesempatan ibadat lain, maka di situlah berlaku ‘kebenaran’ pepatah bahasa Latin di atas: “Bene cantat, bis orat.”