In Memoriam Linus Putut Pudyantoro: Lagu Doa “Bapa Kami”, Warisan Ungkapan Iman Umat Katolik Indonesia (1)

1
8,660 views
RIP Linus Putut Pudyantoro. (Ist)

DI Seminari Mertoyudan tahun 1980. Pada tahun itu, puluhan remaja lelaki yang baru saja lulus dari berbagai SMP di Jawa, Bali, dan Ketapang datang di kampus Seminari Menengah Mertoyudan di Magelang, Jateng. Dari ‘gerombolan’ besar para seminaris baru tahun masuk ajaran baru di tahun 1980 itu ada sosok almarhum Linus Putut Pudyantoro.

Ia datang bersama para seminaris lainnya yang kini sudah menjadi imam dan bahkan Uskup Agung Semarang. Mereka adalah Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Romo FX Sukendar Wignyomartoyo (Vikjen KAS), Romo Djoko (Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta), Romo Agus Sriyono SJ  (ATMI Surakarta), Romo Benedictus Bambang Triatmaka SJ (ATMI Cikarang dan Paroki Ekspatriat KAJ), Romo Albertus Hartana SJ,  Romo Sigid Widisana SJ, Romo Agus Suryana Gunadi Pr (Paroki Sambiroto Semarang), Romo Harimanto OSC (dosen liturgi Unika Parahyangan Bandung), Romo Andi Wibowo Pr (diosesan Keuskupan Malang), dan masih banyak lagi.

Berbakat di bidang musik

Yang pasti, sebagai seminaris baru almarhum Linus Putut Pudyantoro dalam sekejap telah membetot atensi para seminaris seniornya. Setelah kakak kandungnya AM Putut Prabantoro mulai atif menggeluti permainan dawai di alat musik gitar bersama Doni Kamagi dan Agus Iput –Merto 78—kini (waktu itu) almarhum Linus Putut Pudyantoro mulai menggeluti tuts organ. Almarhum Linus Putut Pudyantoro  biasa bermain dan latihan sendiri memainkan alat musik itu di sebuah ruangan khusus di samping aula.

Baca juga:   RIP Linus Putut Pudyantoro, Penggagas Mia Patria Choir dan Alumnus Seminari Mertoyudan Tahun 1980

Waktu itu, organ lawas zaman itu masih memakai ‘tenaga’ pedal yang harus terus-menerus dipompa agar bisa menghasilkan suara.

Mia Patria Choir dan lagu doa “Bapa Kami”

Seiring dengan berjalannya waktu dan setelah sekian lama tak bertemu, tiba-tiba nama Linus Putut Pudyantoro berkibar di panggung seni: pentas musik dan gerak tari. Ia mengusung nama Mia Patria Choir, sebuah kelompok paduan suara yang dia besut sebagai branding name untuk membawa nama baik Indonesia di pasar eksibisi budaya di panggung internasional.

Almarhum Linus Putut Pudyantoro bersama kelompok paduan suara Mia Patria Choir. (Ist)

Perjalanan panjang menjadi ‘orang besar’ di jagad musik liturgi gerejani ditoreh oleh almarhum Linus Putut Pudyantoro melalui karya-karya musik liturgis yang indah dan terdengar anggun. Salah satunya tentu saja lagu doa Bapa Kami yang sering kita lantunkan saat perayaan ekaristi. Beberapa lagu lainnya juga berhasil juga dia gubah dan kini sering menjadi lagu andalan untuk diperdengarkan ketika terjadi misa perkawinan di gereja.

Di Gereja Paroki Eiken di Swiss di bulan September 2016, kelompok paduan suara Mia Patria Choir tampil memukau dalam perayaan ekaristi. Usai misa, demikian keterangan Romo Stefanus Wolo Itu Pr – imam diosesan Keuskupan Agung Ende di Flores, Mia Patria Choir melanjutkan penampilan eloknya dalam sebuah konser musik.

Tampilnya Mia Patria Choir di pentas konser musik internasional itu tidak hanya terjadi di Swiss, melainkan juga di sejumlah negara di Eropa; termasuk tentu saja di Vatikan.

Di dalam negeri, nama Linus Putut Pudyantoro terpatri menancap kuat di hati segenap umat katolik, berkat tembang-tembang rohani gerejani khas katolik yang sering kita nyanyikan saat misa. Lagu doa Bapa Kami adalah salah satu karyanya yang agung, selain Persembahan Hati, dan masih banyak lagi lainnya.

Komitmen besar pada Gereja melalui musik liturgi

Karyanya yang agung dan sering tidak kelihatan adalah komitmennya yang besar membantu lembaga-lembaga gerejani untuk program workshop tentang tembang-tembang rohani liturgis gerejani khas katolik.

Almarhum Linus Putut Pudyantoro dalam sesi lokakarya musik liturgi gerejani bersama para suster SFIC dan kelompok awam pemerhati musik di Pontianak, Kalbar, Juli 2017. (Dok. SFIC)

Bulan Juli 2017, ia datang dengan senang hati menemani sejumlah suster SFIC dan kelompok awam pemerhati musik gerejani dalam sebuah sesi lokakarya di Pontianak. 12-15 Oktober pekan lalu, hal sama juga dia lakukan di Ketapang. “Barusan  almarhum telah  memberi lokakarya kepada para pemazmur dan dirigen,” terang Xaveria Kimpin dari Keuskupan Ketapang di Kalbar.

Dalam beberapa kesempatan istimewa, ia selalu dengan ringan tangan dan cepat tanggap membuat komposisi lagu baru sebagai theme song sebuah acara atau peristiwa gerejani.

Setia dan tabah dalam derita

Ketika tampil di berbagai acara lokakarya, ia selalu tampil bersahaja dan membawa diri dalam suasana riang dan ceria. Padahal, kalau melongok sedikit beberapa tahun lalu, almarhum Linus Putut Pudyantoro pernah menjalani  hari-hari sedih selama bertahun-tahun saat menemani almarhum  Ririn –isterinya—yang mengalami penderitaan sakit bertahun-tahun.

“Putut telah dengan setia mengantar kepergian isterinya Ririn menghadap Sang Pencipta dengan segala ketabahan dan kesetiaannya,” tulis seorang alumnus Seminari Mertoyudan yang mengetahui sejarah pilu  seorang Putut yang periang saat harus  meniti hari-hari sedih menemani isterinya yang sakit serius.

Pada tanggal 17 November 2017 mendatang, almarhum Linus Putut Pudyantoro sudah menyanggupi akan datang menjadi juri dalam sebuah acara festival koor paroki di Gereja Keluarga Kudus – Banteng, Yogyakarta. Teman sekaligus kolega sesama komposer musik gerejani, Dr. drg Alma Linggar Jonarta Mkes –dosen Fakultas Kedokteran Gigi di UGM—menuturkan begini pagi ini:

“Beberapa kali saya tanya, kapan mau datang ke Yogyakarta dan pulangnya? Ini untuk keperluan booking tiket,” ungkap dokter gigi yang mengaku sudah jarang praktik buka mulut periksa pasien ini.

“Almarhum Mas Putut selalu menjawab dengan canda tawa. Nanti saja, karena waktunya masih lama,” tulis bu dosen sekaligus pencipta sejumlah komposisi lagu-lagu liturgis ini.

Rupanya pada hari Kamis tanggal 26 Oktober 2017 menjelang dinihari tadi, tulis Dr Alma Linggar Jonarta Mkes., “Mas Linus Putut Pudyantoro telah mengantongi ‘tiket perjalanan’ menuju ke surga menghadap Sang Pencipta.”

Selamat jalan kawan.  Karyamu yang besar di bidang musik liturgi  telah mewarisi Gereja dengan tembang doa Bapa Kami yang elok. Lagu doa Bapa Kami yang kami lantunkan setiap kali berlangsung perayaan ekaristi ini telah menjadi ekspresi iman yang dalam di hati  segenap umat katolik di Indonesia.

Requiescat in pace et vivat ad aeternam.

1 COMMENT

  1. Saya mngenal bp Alm Putut P sekitar tahun 2004-2008.
    Mohon info “Doa Bapa Kami” diciptakan beliau pada th berapa?/Trmksh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here