In Memoriam Mas Sugeng Wiyono: Teladan Cinta yang Besar (2)

0
320 views
RIP Aloysius Sugeng Wiyono - alumnus Seminari Mertoyudan tahun masuk 1973.

SEPOTONG tulisan ini ingin turut menghantar Mas Sugeng Wiyono (Mas Wi).

Mohon maaf kepada Angkatan 73 Merto, saya belum haturkan bela rasa duka cita; masih berusaha mencerna kepergian Mas Wi. Bersama banyak saudara-sobat kita di masa pandemi ini.

Apalagi Mas Wi yang selama ini dikabarkan selalu segar bugar, tiada kabar sakit apa pun, tiba-tiba saja juga ikut pergi.

Mas St. Tartono, katekis lama Paroki Kumetiran dan kini bermukim di Condong Catur, juga barusan kehilangan isterinya. Ia juga berkisah tentang sosok almarhum Mas Wi.

Mas Wi barusan pergi dari rumah sesepuh penulis budaya Jawa ini. Ngantar buku karya budaya Jawanya yang berjilid-jilid itu.

Edisi terakhir Ki Bangunjiwo ingin menjelaskan hal ini. Yakni, bagaimana tahapan mitologi Nyi Roro Kidul menjadi sebuah legenda hingga berkembang menjadi literasi masyarakat populer.

Karya ini dibantuterbitkan rekan Merto 88: Indro Suprobo.

Semoga berkenan dengan cerita kecil ini.

Notula memoria

Suatu siang di tahun 2013. Sekolah anak-anak kami SD (Sekolah) Tumbuh sedang melakukan syuting di Jogja TV. Ternyata direktur program acaranya adalah Mas Sugeng Wiyono.

Awalnya kami tidak tahu. Usai kru televisi di ruang studio rampung merekam acara Dolanan Anak Tradisional yang diinisiasi Jogja TV bersama Sekolah Tumbuh itu, sesosok pria jangkung keluar dari bilik kaca. 

Lupa-lupa ingat. Tapi, rasanya tak asing wajah sosok ini. Oh ya, Mas Wiyono yang keluar dari bilik “akuarium” ruang pengarah acara itu.

Kami pun lalu ngobrol. Reuni kecil lintas angkatan Merto 73 & 87.

Jauh sebelumnya lagi, jurnalis di Jogja juga mengenal Mas Wi sebagai kolega senior. Waktu itu, Mas Wi masih berkarya sebagai redaktur di koran Kedaulatan Rakyat (KR). Koran terbesar di Jogja (dan tertua di Indonesia) milik keluarga Wonohito.

Kami sudah jarang ketemu. Mengingat jabatan Mas Wi sudah redaktur senior di koran yang terbit 40 hari usai Indonesia merdeka itu. Maka, dia tinggal menugasi reporternya ke lapangan.

Ingatan lain muncul lagi. Jumpa Mas Wi di urusan lain. Di rapat berseri beberapa tahun sebelum kami bertandang ke Jogja TV siang itu. Di jelang Agenda 29 April 2012. Turut menyiapkan prosesi 100 Tahun Seminari Mertoyudan. Jogja TV turut menyiarkan perhelatan Seabad Seminari Mertoyudan.

Di rapat pembukaan, malam-malam kami lesehan di pondok makan milik mertua sobat Mas Wagiyono: Resto Moro Lejar. Romo Gustawan yang masih sugeng, selaku Rektor Seminari Mertoyudan dan para alumni ikut hadir dengan busana santai. Kasual.

Sedangkan Mas Wi hadir masih mengenakan batik. Lengan panjang lagi. Sempat saya tanya, “Kok resmi banget ta, Mas?”

Dia menjawab, “Ya, ngurmati kanca-kanca sing rawuh wae (ya menghormati teman-teman yang hadir saja). Jawabnya enteng sambil senyum.

Kelakarnya khas gaya Jawa alusan. Orang Jawa halus.

Padahal batin saya ya “mak jleb”. Kami yuniores ini sering lupa. Murang tata. Akan nilai dasar saling menghormati ini. Apalagi dalam era kuasi demokrasi di tengah banjir informasi bermedsos serba ganjil ini.

Mestinya semua tempat dan waktu ada tatanan, adab, sopan santunnya… It is so true.

***

Balik ke cerita syuting siang di awal tadi. Di tengah ngobrol di selasar studio, Ki Bangunjiwo–sapaan akrab Mas Wi di kalangan pengaji budaya Jawi, tosan aji perkerisan, mitologi Jawi itu — saya bisikin. Di antara ortu murid Sekolah Tumbuh hadir pula Sari (GKR Mangkubumi) & Lisa (Wahid).

Mereka ngobrol di ruang lain sehingga tak nampak oleh Mas Wi.

Lazimnya di Sekolah Tumbuh dan beberapa sekolah lain. Sering melibatkan orangtua di kegiatannya. Baik sebagai narasumber sesi kelas atau menemani anak di sesi sekolah luar seperti di Jogja TV itu.

Tinggal siapa yang bisa aja. Sapa sing kober wae, kata orang Jawa.

***

Mendengar kehadiran keduanya. Mas Wi segera bergegas. Alumnus Mertoyudan angkatan 1973 itu spontan menyapa kedua puteri itu.

Satunya sulung dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga si empunya Jogja TV sendiri. Satunya lagi, sulung dari Presiden RI ke-4 cum Ketum Gerakan Gusdurian itu.

Dengan gesit Mas Wi kemudian tidak hanya melakonkan gaya kerja seorang jurnalis. Namun lebih sebagai, Humas Jogja TV. 

Naluri jurnalistik Mas Wi yang tajam, berimbang dengan keluwesan pergaulannya yang simpatik. Sebuah anugerah terberi, pendeknya.

Narasumber potensial hadir tak dinyana di luar acara. Ya kudu diladeni. Karuan saja keduanya diboyong ke studio buat rekaman talkshow.

Syuting dadakan.

Kalau tak salah, soal kehidupan toleransi beragama di Jogja topiknya. Jadilah sesi syuting molor jelang petang.

Saat mau pamit, kami diceritain Ki Sugeng Wiyono Bangunjiwo, kira-kira begini:

“Kapan itu ada rekan imam (lupa namanya) kebetulan tengah berdinas ke Jogja dari parokinya di luar kota. Saya pikir bagus juga nanggap rekan imam itu. Cerita tentang apa yang beliau kerjakan dan perkembangan Gereja masa kini. Biar juga dia ada tambahan bekal (honor narasumber) sebelum kondur (pulang).”

***

Tuturan Mas Wi petang itu, membuat saya tercenung. Barangkali salah satu moment of truth juga. Ya, apa susahnya, bagi seseorang yang punya otoritas. Mengambil kebijakan dalam kewenangan. Bukan menyalahgunakan, namun menyiasati.

Demi kebaikan. Discretio pro bono. Kalo bukan sebuah pengorbanan…

Menakluklan goda. Kalau udah sibuk, acara terjadwal, maka hanya mendaku pada kekakuan bahkan keakuan. Bukannya malah berpikir, apa yang saya bisa bantu?

Sesuatu yang patut disyukuri, bila nilai itu bersemayam pada banyak imam, bruder, dan insan eksem.

***

Kesibukan sang isteri, Mbak Menik, di Yayasan Sayap Ibu dengan mengurus anak terlantar, mungkin juga turut mewarnai sisi nilai ini kepada Mas Wi. Selain tradisi Ignatian yang pernah dilakoninya saat mengenyam pendidikan. Bisa jadi juga mendasari pilihan sikap itu: semangat magis.

Go beyond your limit.

Ibaratnya, kalau orang biasa punya indera ke-5, maka Mas Wi sosok yang sudah menep dengan indera ke-6 mistik Kejawen-nya juga punya indera ke-7.

Ya, indera bela rasa yang kental itu….

Mas Ki Sugeng Wiyono Bangunjiwo sugeng tindak ya. Seniores, apa yang panjenengan dan Mbak Menik contohkan, tak ubahnya mengisi kembali, catu enerji pesan penting dari Kolkata, India itu:

Not All of us, can do great things. But we can do small things with great love. (Tak semua dari kita bisa berbuat sesuatu yang besar. Tapi kita bisa lakukan sesuatu yang kecil dengan cinta yang besar.”

(Bunda Teresa)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here