SUDAH lama dia menginginkan. Berulangkali dia mengatakannya. Dia semakin mengungkapkan itu, setelah ibunya wafat di usia lanjut, sekitar 110 tahun, beberapa bulan lalu. Itulah kerinduannya: rindu akan kematian.
Ketika raganya semakin rapuh, tidak ada selera makan dan bicara lagi, kalau ditanya, jawabannya selalu senada: kerinduan akan kematian. Waktunya dianggapnya sudah dekat.
Demikian juga saat Kamis pagi mau dibawa ke RS Elisabeth, Semarang, dia menyatakan yang sama. Di rumah sakit pun masih sempat mengutarakan yang sama, malahan ditambahi dengan perasaan sudah berjumpa dengan ibu dan kerabatnya yang sudah mendahului.
Mgr Julianus Sunarka SJ, engkau sudah merasa waktunya tiba. Engkau merasa bahwa saatnya sudah selesai, sudah tuntas dengan apa yang engkau rasakan sebagai tugas panggilanmu.
Cintamu akan pengembangan Gereja setempat dan bertumbuhnya para imam diosesan, baik di Keuskupan Agung Semarang dan terutama di Keuskupan Purwokerto menjadikanmu merasa sudah berbuah, sehingga engkau telah merasa siap meninggalkan itu dengan bangga.
Engkau tidak ragu akan masa depan, dan karenanya mengaku bukan lagi pemilik masa depan itu.
Beberapa hari sebelum sungguh melemah, Mgr. Julianus Sunarka SJ masih sempat mencarikan sumber air untuk Girisonta. Itu peningalanmu untuk rumah yang ditempati, bahkan tempat istirahatmu.
Engkau ingin memastikan kebutuhan dasar hidup rumah dan komunitas terjamin dan terjaga. Setelah memastikannya, engkau siap meningggalkannya.
Mgr. Sunarka, saat istirahat sudah tiba. Engkau meninggalkan kami dengan wajah segar dan senyum cerah. Engkau pergi dengan lega dan damai, tak ada lagi kegelisahan dan kecemasan, bahkan pula tiada lagi rasa sakit.
Saat dipakaikan jubah, kasula dan lainnya oleh para suster di RS Elisabeth Semarang, engkau dengan tenang membiarkan digerakan, diangkat dan dipersiapkan. Semuanya berjalan dengan enak dan mudah. Engkau telah lega, telah damai.
Istirahatmu begitu tenang, dalam senyum.
Dia meninggalkan pertarungan hidup di dunia ini dengan tenang. Pergi sebagai pemenang.
Selamat jalan, Bapak Uskup, banyak yang sedih dan kehilangan. Namun engkau pergi dengan tenang dan menang. Engkau telah merindukannya, dan bahkan berharap segera terjadi.
Engkau pergi tanpa duka, sebab engkau tahu kemana engkau pergi, dan kepada siapa engkau datang menghadap.
Mgr. Julianus Sunarka, beristirahatlah pemenang, beristirahatlah dengan tenang.
Terimakasih atas segalanya. Jasamu tak akan lekang, walau engkau tahu waktumu berada dalam batas, namun engkau berada dalam deretan kaum pemenang kehidupan.
Berkat Tuhan menyertaimu selalu. AMDG.
Bapak Uskup Sunarka sudah sangat mendarah daging & berjasa bagi kami warga Keuskupan Purwokerto, apakah alasan raga beliau diistirahatkan di Girisonta & bukan di di tanah perjuangannya di Kaliori? Sangat disayangkan kami umat Keuskupan Pwt harus berjalan jauh jika hendak berziarah menemui uskup tercinta nya!
biasanya dalam tradisi SJ, usai bertugas di mana pun, selalu kembali pulang ke ordonya.
Alangkah lebih elok kalau Keuskupan Pwt & Kongergasi SJ Prov Indo memberikan klarifikasi kenapa Mgr Sunarka tidak dibaringkan di Kaliori Bms, sehingga umat Keuskupan Pwt bisa berpikir kritis; padahal Uskup Pwt sebelumnya (Mgr. Paskalis) yg seorang MSC saja ditempatkan di Kaliori. Harum kehidupan beliau sudah tidak hanya milik kongergasi & gereja partikular, tapi juga umat & tokoh agama lain. Akan jadi pertanyaan mengapa beliau dijauhkan dari banyumas saat kami mau memberikan penghormatan, menimba semangat nya & mengenang jasa nya selalu
biasanya dalam tradisi SJ, usai bertugas di mana pun, selalu kembali pulang ke ordonya.