SORE itu udara panas sungguh sangat menyengat. Keringat deras juga sudah melekat kuat di kulit. Dari sebuah hotel di kawasan wisata Kuta, kami berdua bergegas cepat meninggalkan kamar menuju sebuah mobil di parkiran.
Semua teman rombongan sudah pergi dengan kendaraan yang telah disediakan. Kami boleh dikatakan sebagai batch terakhir dalam rombongan besar menuju Gereja Santo Yosep Katedral Denpsar, Bali.
Kami akan menghadiri misa pembukaan Konferensi Nasional I KBKK (Kelompok Bakti Kasih Kemanusiaan) yang sedianya akan diadakan di Gereja Santo Yosep di pusat kota Denpasar.
Karena sedikit terlambat masuk rombongan besar, maka kami pun masuk sebuah mobil minibus yang telah disediakan oleh panitia untuk semua peserta.
Di dalam mobil minibus itu, baru ada tiga orang. Kami berdua dan seorang sopir. Kata pak sopir, mobilnya masih harus menunggu sejenak agar rombongan terakhir bisa terangkut ikut serta.
Lalu masuklah sepasang suami-isteri dari Kelapa Gading masuk ke dalam mobil minibun ini. Kami sama-sama menjadi peserta Konnas I KBKK dan di dalam bus kecil inilah kami malah baru bisa bertegur sapa.
Dan yang menegur saya untuk berkenalan adalah Pak Aloysius Aliunanto Sandjaja dan baru kemudian Esther, isterinya.
Jujur, kami tidak tahu banyak tentang keduanya, selain hanya yakin bahwa mereka ini umat Paroki Kelapa Gading.
Serba Jesuit
Perbincangan singkat kami lalu diawali dengan nama dan baru kemudian “organisasi” apa yang kami sering ikuti. Singkat cerita, perbincangan kami akhirnya sambung ketika menyinggung soal “Jesuit”.
Itu karena Pak Sandjaja adalah alumus ATMI Surakarta sehingga kenal betul bagaimana proses bina-didik di perguruan tinggi asuhan almarhum Romo Casutt SJ ini.
Pembicaraan makin “nyambung” karena penulis punya pengalaman kurang lebih sama di Kolese Loyola Semarang dan Kolese Gonzaga Pejaten. Jadilah, kami menjadi lebih hangat dalam perbincangan itu.
Selebihnya tidak tahu.
Dua buku kiriman
Beberapa tahun kemudian, perjumpaan saya dengan Pak Sandjaja terjadi di ruang virtual, ketika terbit semacam buku biografi Romo Cassut SJ.
Buku itu dikirim melalui pos oleh Pak Sandjaja. Lalu beberapa tahun kemudian, buku kedua juga dikirim. Kali ini tentang sosok Romo Sutopanitro Pr, imam sepuh yang kini menjadi pastor rekan di Gereja Santo Yakobus Kelapa Gading.
Sudah, perkenalan kami sangat singkat dan intensitas komunikasi ya hanya sebatas itu.
Rapat di rumah
Lalu beberapa tahun berselang, kami berjumpa lagi. Kali ini di rumahnya yang megah dan indah di Kelapa Gading. Beberapa teman sejawat anggota KBKK hadir di situ.
Pak Sandjaja dan Bu Esther menjadi tuan rumah yang baik dan murah hati karena semua jenis makanan tersedia di situ.
Bertemu terakhir di akhir Februari 2020
Pertemuan fisik terakhir dengan Pak Sandjaja terjadi di akhir bulan Februari 2020 yang lalu. Saat kami bersama-sama hendak nonton drama musikal besutan Yayasan Pendidikan Santo Yakobus di Ciputra Artpreneur Jakarta.
Saat itu saya lagi sedikit “bingung” karena rombongan saya terpisah. Lalu tiba-tiba saja ada seorang bapak lebih tua datang menghampiri saya dan menyapa dengan menyebutkan nama.
Dalam sekian detik, saya terlanjur lupa menyebut nama. Namun, micro-chip memori saya langsung “membunyikan” semacam alarm bahwa bapak inilah yang menyapa saya dan mengaja ngobrol panjang lebar tentang “Jesuit” dalam perjalanan dari Kuta menuju Denpasar.
Nah, begitu Pak Sandjaja menyapa saya dengan suaranya yang khas ramah, tanpa banyak waktu saya jadi ingat percakapan sederhana di dalam mobil dari Kuta menuju Denpasar di bulan Juni 2010 yang lampau.
Sebenarnya saya sampai malu hati, karena Pak Sandjaja menyapa saya duluan. Biasanya saya langsung cepat ingat nama orang, namun kali ini saya benar-benar “lupa” nama beliau. Tapi untunglah, ketika suaranya mulai saya kenali lagi, maka saya dengan sukacita memanggil nama, “Pak Sandjaja”.
Kami ngobrol tidak lebih dari satu menit. Buru-buru Pak Sandjaja mau pergi ke lantai 13, sembari melambaikan tangan menunjuk isterinya Esther yang berdiri kurang lebih 1,5 meter dari posisi saya berdiri.
Kami jabat tangan dan sejurus kemudian, Pak Sandjaja dan Bu Esther sudah “ditelan” kerumunan massa penonton.
Usai pertunjukan, kami tak sempat bertegur sapa lagi. Dan rupanya tegur sapa itu menjadi perjumpaan terakhir.
RIP
Hari Sabtu siang tanggal 4 April 2020, Pak Sandjaja meninggal dunia karena sakit.
Ia kini meninggalkan Esther sendirian, karena dua anak kandung yakni Romo Cornelius Leo Andrianus CSJ dan adiknya Romo Edwin Bernard Timothy OP kini bermukim sebagai imam di luar negeri. Yang sulung berada di Perancis dan yang bungsu di Amerika.
Tahun 2013, Wiwiek D. Santoso, kini Ketua Yayasan Atma Jaya Jakarta, sampai mengikuti perjalanan Pak Sandjaja dan Bu Esther ke sebuah kota kecil di Amerika di mana salah satu anaknya menerima Sakramen Imamat ditahbiskan menjadi imam.
Keakraban Wiwiek DS dengan keluarga ini sudah terbilang lama, lantaran rumah mereka juga sangat berdekatan. Hanya selemparan batu saja.
Lagi-lagi, kedua anak almarhum Pak Sandjaja ini juga alumni didikan Jesuit yakni di Kolese Kanisius Menteng Jakarta.
Banyak pihak pastinya merasa ikut kehilangan. Bukan hanya umat Paroki Kelapa Gading, melainkan juga banyak kelompok orang yang pernah mendapat bantuan dari almarhum.
Requiem in pace et vivat ad vitam aeternam.