BARU kali ini terjadi, banyak umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) secara gegap gempita langsung memberi tahu Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo berita lelayu berpulangnya Pandji Wisaksana pada tanggal 24 Februari 2022.
Makna dari peristiwa tak biasa ini langsung menunjukkan betapa sangat dikenalnya oleh publik di KAJ akan sosok almarhum Pandji Wisaksana (1925-2022) sebagai pribadi yang “sangat baik hati” kepada sesama.
Hal ini diungkapkan Bapak Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo dalam Perayaan Ekaristi Tutup Peti dan Malam Kembang di Pluit, Jakarta Utara, Jumat (25/2/2022) kemarin.
Mantan Provinsial Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Romo Alexander Sapta Dwi Handoko SCJ ikut mendampingi Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo dalam Perayaan Ekaristi semalam.
Empat anak kandung, dua cucu, dan kerabat dekat serta kenalan
Perayaan Ekaristi semalam dihadiri oleh empat anak kandung, dua orang cucu almarhum Pandji Wisaksana.
Pasutri Pandji Wisaksana dan Ny. Trijuani Pandji memiliki lima orang anak kandung, tujuh cucu, dan tujuh cicit. Anak bungsu mereka bernama Charles Pandji sudah meninggal lama, waktu kuliah di Amerika Serikat karena menderita sakit.
Ikut datang melayat dan juga mengikuti Perayaan Ekaristi Misa Pelepasan dan Malam Kembang semalam antara lain:
- Tiga orang biarawati Kongregasi Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromesus (CB) dari Komunitas Biara Carolus Jakarta: Sr. Louisa CB, Sr. Engeltrudis CB, dan Sr. Marga CB.
- dr. Stephanus Indrajaya mantan Pembina Yayasan Sint Carolus yang secara kekerabatan masih terbilang keponakan alm. Pandji Wisaksana yang didapuk membacakan obituari almarhum.
- Pengusaha papan atas sekaligus pemilik industri jamu Tolak Angin: Irwan Hidayat.
- Sejumlah umat Katolik dari berbagai paroki.
- Anggota kerabat keluarga.
- Kenalan almarhum saat berkontribusi ikut membangun kompleks ATMI Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jabar: Rodion Wikanto dari Komunitas PUKAT KAJ.
Sejak usai sangat dini
Menurut Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo, almarhum Pandji Wisaksana telah lama dikenal oleh banyak orang dari berbagai kalangan sebagai sosok pribadi baik dan juga sangat bermurah hati.
Kalau kita ingin membahasakan profil pribadi macam itu dalam bahasa modern sekarang ini, maka pribadi almarhum Pandji Wisaksana itu tidak lain adalah seorang tokoh filantropis sejati. Yakni, pribadi yang selalu punya perhatian besar dan semangat belarasa kuat untuk ingin berbagai kebaikan kepada sesama.
“Hal itu selalu dilakukan oleh Bapak Pandji Wisaksana sepanjang hidupnya dengan menebar banyak kebaikan kepada banyak orang, banyak lembaga, dan banyak organisasi,” kata Kardinal Suharyo mengawali homilinya.
Bukan produk instan
Semangat filantropi atau punya hati dan semangat besar berupa perhatian dan cinta kepada sesama itu, demikian kata Kardinal Suharyo, tentulah bukan sebuah produk instan yang “sekali jadi”. Atau muncul secara tiba-tiba sekarang dan kemudian bisa dilakukan.
“Melainkan dan seperti yang saya tahu dari banyak orang dan juga berdasarkan tulisan opini di Harian Kompas edisi terbit hari Jumat ini, maka semangat filantropi di dalam diri Pak Pandji Wisaksana itu sudah beliau hayati sejak usia dini.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) di Bandung, almarhum Pak Pandji Wisaksana sudah mulai aktif berkegiatan di organisasi kemanusiaan yakni Pandu atau Pramuka,” ungkap Kardinal.
“Di situlah jiwa kemandirian dan semangat peduli Pak Pandji Wisaksana kepada sesama mulai diasah, dibina, dan kemudian dipelihara serta dihidupi sebagai laku hidup. Barulah di tahun-tahun kemudian, hati penuh kasih dan peduli kepada sesama itu lalu beliau dipraktikkan melalui semangat hidup almarhum untuk selalu saja ingin membantu sesama,” kata Kardinal Suharyo.
Di masa remaja hhidup almarhum, semangat filantropi itu Bapak Pandji Wisaksana itu secara intentif dilakukan melalui organisasi PMI (Palang Merah Indonesia). Waktu itu, caranya dilakukan dengan menolong para korban luka yang terdampak oleh Perang Bandung Lautan Api,” jelas Uskup Keuskupan Agung Jakarta sekaligus Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Motivasi ingin berbuat baik
Sekarang ini, kata Kardinal Suharyo, maka saatnya kita mesti bertanya darimana kira-kira asal mula semangat belarasa yang sepanjang hidup telah bergelora sangat kuat di dalam sosok kedirian almarhum Pak Pandji Wisaksana.
Tentang hal itu, Kardinal Suharyo lalu mengintrodusir kata “motivasi”.
Bacaan Pertama di dalam Misa Tutup Peti semalam diambil dari Kitab Nabi Yesaya 25:6a-7-9.
Berdasarkan isi semangat Bacaan Pertama tersebut, jelas Kardinal Suharyo, kita mau menyebut naas Kitab Nabi Yesaya itu dengan mengutip kalimat berikut ini:
“Sesungguhnya, inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan supaya kita diselamatkan. Inilah Tuhan yang kita nanti-nantikan; marilah bersorak-sorak dan bersukacita oleh karena keselamatan yang diadakan-Nya.”
Menurut Kardinal Suharyo, professor matakuliah Kitab Suci dengan jam terbang lama di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, maka dalam konteks merefleksikan kisah sejarah hidup almarhum, ketokohan dan semangat filantropi Pak Pandji itu sudah sangat sejalan dengan inti naas Kitab Nabi Yesaya tersebut.
“Inilah Pak Pandji Wisaksana yang kita nanti-nantikan; marilah bersorak-sorak dan bersukacita oleh karena keselamatan yang diadakan oleh almarhum,” ungkap Kardinal Suharyo, seraya menegaskan sebegitu banyaknya lembaga, organisasi-organisasi sosial dan puluhan individu yang telah dan pernah menerima wujud kebaikan hati almarhum Pandji Wisaksana.
Inspirasi
Mengalami rasa sukacita di dalam hati, karena sering berbagi kasih dan perhatian itulah, tandas Kardinal, yang mungkin telah menjadi motivasi spiritual bagi almarhum Pandji Wisaksana. Sehingga, kata Kardinal, “Beliau menjadi begitu murah hati kepada sesama.”
Namun dalam konteks iman Kristiani, motivasi terasa belum lengkap dan “sempurna” bila tidak mengikutsertakan “inspirasi”.
Dalam konteks hidup Pak Pandji, maka inspirasi kebaikan atau semangat filantropi itu dihidupi sebagai tindak-tanduk kebaikan karena “Pak Pandji selalu melihat Tuhan” di dalam hidup kesehariannya.
Itulah pesan penting yang bisa kita petik dari Bacaan Injil Yohanes 17:6-11 yang naasnya berbunyi.
“Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang, yang Engkau berikan kepada-Ku dari dunia. Mereka itu milik-Mu dan Engkau telah memberikan mereka kepada-Ku dan mereka telah menuruti firman-Mu.”
Bersama isterinya Ny. Trijuani Pandji yang terlebih dahulu meninggal dunia tanggal 26 Mei 2021, kini Bapak Pandji Wisaksana (97) juga sudah meninggalkan kita semua.
Demikian kata Kardinal Suharyo.
“Karena itu, bersama almarhumah Ny. Trijuani, Bapak Pandji Wisaksana sekarang ini sudah berjumpa dengan Bapa sendiri. Tidak lagi memandang (wajah) Allah, tapi sudah bisa berjumpa dan bertatap muka dengan Allah sendiri.
Dan itulah yang membuat hidup beliau berdua hidup bahagia di alam keabadian. Terutama karena sudah berbuat banyak kebaikan bagi sesama,” ungkap Kardinal Suharyo.
Warisan rohani untuk keluarga dan masyarakat
Menurut Uskup KAJ ini, hidup dengan umur panjang dan sering berkeliling ke sana dan kemari sembari berbuat baik inilah yang sudah sepantasnya bisa menjadi warisan rohani dari sosok tokoh filantropis Indonesia: Bapak Pandji Wisaksana.
Almarhum Pandji Wisaksana, kata Kardinal, sudah seyogyanya layak menjadi sosok teladan dan sumber rasa bangga bagi keluarga yang ditinggalkan.
“Bagi kita semua,” jelas Kardinal, “Bapak Pandji Wisaksana dengan sejarah kemurahan hatinya itu sungguh layak menjadi sosok ideal bagi seluruh masyarakat Indonesia dan Umat Katolik.
Tentang apa itu artinya ‘pergi berkeliling dunia sembari berbuat kebaikan’, sebagaimana semangat itu menjadi pesan penting yang bisa kita petik dari Bacaan Injil Yohanes,” terang Kardinal Suharyo mengakhiri homilinya yang sangat mentes dan jelas pesan moralnya dari kedua bacaan semalam. (Berlanjut)