Catatan Redaksi:
Tulisan in memoriam ini kami ambil materi pokoknya dari situs resmi Yayasan Bhakti Luhur (www.bhaktiluhur.org). Redaksi mengedit ragam bahasanya agar memenuhi standar kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan resmi. Kami berterima kasih atas penulis sejarah kilas balik Yayasan Bhakti Luhur ini yang ditampilkan dengan perspektif peran penting almarhum Pater Paul Hendrikus Janssen CM.
—————–
KISAH pejuang kemanusiaan seperti yang bertahun-tahun ditorehkan oleh almarhum Pastor Paul Hendrikus Janssen CM sudah terukir indah dalam satu arsiran kuat di lembaran berita sejarah: eksistensi Yayasan Bhakti Luhur. Inilah lembaga sosial yang menaungi banyak panti asuhan dengan fokus pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus; baik cacat fisik maupun non fisik.
Terlahir di Venlo, Negeri Belanda, tanggal 29 Januari 1922 dari pasangan Paul Hubert Janssen dan Maria Helena Fillot, almarhum Pastor Janssen menginjakkan kakinya pertama kali di Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya tanggal 11 Mei 1951. Ia segera datang menghadap Uskup Keuskupan Surabaya waktu itu dan oleh pemimpin Gereja Katolik Lokal di Keuskupan Surabaya, almarhum lalu dibenum (ditugaskan) di Kediri.
Ia memulai tugas pastoralnya di tlatah Pohsarang, sekitar 15 km jauh dari pusat kota Kediri.
Ia belajar bahasa Jawa untuk memudahkan komunikasi dengan umat sekitarnya dan mengefektifkan langkah pastoralnya. Ia banyak melakukan perjalanan jalan kaki ke arah Gringging, Kalinanas, dan Kalibago dan di situ ia banyak menemui penduduk lokal menderita sakit TBC dan framboesia (koreng).
Untuk bisa membantu pengobatan orang lokal, almarhum Pastor Janssen sering bolak-balik Kediri-Surabaya guna mendapatkan bantuan obat dari dr. Parijs di Karangmenjangan. Dari dokter inilah, ia belajar teknik bagaimana bisa mengobati penyakit kulit (koreng) dengan penisilin dan berkeliling dengan sepeda onthel menyusuri kawasan pedesaaan di Kediri.
Merintis karya di Kediri
Ia merintis pendekatan RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (CBR, Community Based Rehabilitation) terhadap banyak pasien penderita cacat.
Di Kediri, ia mendirikan sekolah, mulai dari TK Montesori, SD dan SMP Don Bosco. Karena tenaga guru kurang, ia pergi minta bantuan ke Yogyakarta dan Muntilan dan akhirnya tenaga guru berhasil dia dapatkan untuk mengajar di TK, SD, SMP. Barulah kemudian ia merintis berdirinya pendidikan Kursus B1 di Kediri bidang bimbingan dan konseling.
Di Kediri inilah, ia merintis pembangunan berdirinya asrama untuk anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampung anak-anak cacat yang tidak mungkin dirawat di rumah sakit berlama-lama. Akhirnya berdirilah sekarang Panti Asuhan Yayasan Bhakti Luhur di Kalibago – Kediri yang berfungsi sebagai pusat rehabilitasi masyarakat (Puremas).
Tahun 1959, almarhum Pastor Janssen CM pindah tugas ke Madiun, Jatim. Ia ditugasi merintis berdirinya perguruan tinggi katolik yang kemudian bernama Universitas Widya Mandala. Awalnya, perguruan tinggi ini dirintis melalui praktik kursus B1 yang kemudian berkembang menjadi Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), lalu menjadi FKIP dan sekarang telah resmi menjadi Universitas Katolik Widya Mandala yang berlokasi di Madiun.
Tanggal 5 Agustus 1959 di Madiun, almarhum Pastor Janssen CM mendidikan Yayasan Bhakti Luhur guna mewadahi berbagai aktivitas sosial.
Karena terjadi kelaparan hebat di Ponorogo tahun 1963 dan waktu itu sangat dibutuhkan banyak tenaga relawan membantu pekerjaannya, maka tanggal 8 September 1963 berdirilah Asosiasi Perawat Bhakti Luhur. Awalnya, organisasi ini hanya beranggotakan 7 orang puteri dan merekalah yang kemudian membantu secara langsung bencana kelaparan hebat (wabah tikus) di Slahung dan Ponorogo. Hingga beberapa waktu kemudian, para perawat inilah yang kemudian menjadi pembina sekaligus yang menjalankan Yayasan Bhakti Luhur.
Baca juga:
- RIP Pastor Dr. Janssen CM: Pendiri IPI Malang, Tarekat Suster Alma, Yayasan Bhakti Luhur
- Requiem untuk Pastor Prof. Dr. Paul Hendrikus Janssen CM (3)
Para pemudi yang bergabung dalam ALMA inilah yang bekerja membantu masyarakat di Slahung, Ponorogo ketika masyarakat lokal di situ mengalami wabah kelaparan hebat kurun waktu tahun 1963–1965. Sampai sekarang, ALMA menjadi pemilik dan pengelola Yayasan Bhakti Luhur.
Berkarya di Malang
Bulan Mei 1967 Romo Janssen pindah ke Malang. Awalnya, ia tinggal menkontrak rumah di Jl. Tapaksiring I, Samaan. Namun karena di situ sudah ada banyak anak cacat yang perlu ditampung dan dirawat, maka pada tanggal 26 Agustus 1967 mereka dipindahkan ke panti anak–anak cacat di Jl. Dempo 14, Malang.
Dari sinilah perkembangan Bhakti Luhur di bawah asuhan Romo Janssen terus berkembang, kian hari kian banyak anak–anak cacat yang harus ditolong dan dirawat dari sekeliling Malang.
Di Jl. Oro-oro Dowo, Malang, pada tahun 1969, Romo Janssen mendirikan Institut Pembangunan Masyarakat (IPM, Institute of Social Development). Semula, IPM menyelenggarakan kursus–kursus rehabilitasi, baik rehabilitasi sosial maupun yang spesifik ke rehabilitasi penyandang cacat.
Periode tahun 1962–1972 inilah merupakan periode sibuk bagi Romo Janssen, terlebih karena ia berhasil menjalin kerjasama dengan Departemen Sosial RI. Wujud kerjasamanya adalah bahwa IPM menjadi tempat penyelenggara kursus bagi Lembaga Sosial Desa (LSD) dalam bentuk Training for Trainers.
Kursus yang dimaksud adalah kursus pengembangan masyarakat, termasuk peternakan dan pertanian. Kegiatan IPM tak hanya berpusat di Oro-oro Dowo, namun juga meluas ke Jl. Galunggung 3, Malang. Di dalam IPM inilah secara mendetil, Romo Janssen juga menulis sebuah buku pengembangan masyarakat yaitu 10 Metode Pekerjaan Sosial.
Dengan metode itu, banyak masyarakat di pedesaan mendapatkan bantua keahlian melalui program kerja LSD yang telah mendapat training dari IPM. Pada masa ini, pula Romo Janssen diangkat menjadi Guru Besar IKIP Malang.
LSD–LKMD
Sayangnya di akhir tahun 1972 ada kebijakan dari pemerintah pusat, bahwa LSD tidak lagi di bawah naungan Departemen Sosial, melainkan akan dimasukan di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Barulah, lembaa ini berubah namanya menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
Dengan perubahan kebijakan ini, praktis IPM tidak lagi memberikan pelatihan kepada LSD–LSD, namun hanya pelatihan spesifik ke arah rehabilitasi penyandang cacat dan sosial pada umumnya. Tahun–tahun berikutnya, setelah IPM tidak lagi dapat berbicara banyak, Romo Janssen mulai merintis SMPS.
Tidak berputus asa
Tidak ada kata putus sama sekali di benak pikiran Romo Janssen, kendati banyak ahli datang dari UNICEF dan UNDP maupun dari Jerman dan Belanda harus pulang meninggalkan Indonesia. Ini berarti mereka juga harus meninggalkan projek yang tengah dikerjakan karena terkena dampak peristiwa itu. Tetapi bukan berarti segala apa yang telah diperjuangkannya di dalam Institut Pembangunan Masyarakat tanpa hasil.
Sebaliknya, LSD-LSD yang telah mengenyam pelatihan di IPM lewat Training for Trainers malah mulai sungguh-sungguh bisa menyebarkan ilmu dan keahliannya di daerahnya masing– masing. Ada banyak hal yang dapat dipetik dan diterapkan dalam pengembangan masyarakat.
Setiap peristiwa pasti membawa makna tertentu. Demikian pula pergantian LSD ke LKMD juga membawa hikmah besar. Dan justru hal itulah menjadi semacam titik tolak bagi Romo Janssen CM untuk kemudian bisa memberi perhatian secara penuh bagi penyandang cacat yang papa dan miskin serta terlantar.
Yang terkenang dari IPM
Hari demi hari, anak–anak cacat yang dibina oleh Romo Janssen di Yayasan Bhakti Luhur semakin bertambah. Konsep bahwa penyandang cacat harus tinggal di dalam masyarakat telah mengantarkan pada suatu bentuk implementasi berupa rumah–rumah (wisma–wisma) untuk penyandang cacat di tengah masyarakat.
Adalah paling baik jika penyandang cacat yang terlantar dan tidak punya keluarga, atau bahkan dijadikan komoditi oleh pihak–pihak yang tidak bertanggung jawab diasuh, dirawat dengan penuh cinta dan rasa tanggungjawab yang besar. Karenanya, keberadaan rumah-rumah bagi penyandang cacat (asrama/wisma) mutlak diperlukan. Itu sekaligus menjadi lahan bagi edukasi dan penyadaran kepada masyarakat secara konkrit bahwa di sekitar mereka masih ada sesama yang ‘cacat’ dan berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perhatian ekstra kasih dari orang lain yang peduli.
Romo Janssen dan Bhakti Luhur
Setiap penyandang cacat apa pun adalah anaknya.
Pada tahun 1975-an, semakin banyak penyandang cacat dengan berbagai jenis kecacatan diterima untuk diasuh dan dirawat oleh Yayasan Bhakti Luhur. Rupany, a para perawat Bhakti Luhur yang sudah dibentuk dan terus berkembang itu tidak dapat mengimbangi jumlah penyandang cacat yang ‘ditemukan’ di tengah masyarakat dan kemudian mereka asuh, rawat, dan bina di asrama (baca: panti asuhan).
Di tahun 1979, Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS) yang telah eksis beberapa tahun sebelumnya dan secara spesifik memberikan perhatian pada pelayanan kepada anak–anak cacat dan berkebutuhan khusus akhirnya mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah RI. Ini terjadi tepatnya tanggal 29 September 1981 dan pengakuan resmi itu datang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Dengan semakin kuatnya posisi sosial SMPS ini, maka pengasuhan anak–anak cacat di asrama–asrama bisa lebih terjamin.
Begitulah seterusnya, hari demi hari Yayasan Bhakti Luhur terus berkembang. Kini, hampir semua jenis kecacatan bisa diterima di sini. Pada tahun 1987, Romo Janssen mulai tidak hanya berfokus pada pendekatan institusional (melalui panti dan sekolah), namun juga mulai aktif dalam usaha Primary Health Care. Ini terjadi di Kecamatan Donomulyo, Malang Selatan dan di sebuah desa di Mojorejo, Blitar. Semuanya di Jatim.
Untuk program PHC, tentu saja ia bekerjasama dengan Puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat.
Dua tahun kemudian yakni per tanggal 27 September 1989, Romo Janssen secara sah berhasil menjadi Warga Negara Indonesia.
Community Based Rehabilitation
Memasuki tahun 1992, PHC diperluaskan ke arah Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) dengan memperhatikan masalah kecacatan; baik secara fisik maupun kombinasi cacat fisik dan mental. RBM ini merupakan program WHO dan hal itu merupakan salah satu program paling baik untuk mengatasi masalah kecacatan dengan memberdayakan masyarakat setempat. Namun, menerapkan konsep RBM rupanya tidak begitu saja mudah dan bisa dijalankan.
Diperlukan tenaga-tenaga terlatih untuk memberikan motivasi dan teladan konkret bagi masyarakat lokal agar mereka bisa menyadari perlunya kebutuhan itu dan memulai upaya rehabilitasi. Untuk itu diperlukan pelatihan–pelatihan bagi warga setempat supaya mereka mampu menjalankan program rehabilitasi penyandang cacat.
itulah sebabnya, pada tahun 1994 digagaslah kursus Petugas Lapangan RBM. Hal itu baru bisa terwujudkan di bulan September 1995.
Kursus Pekerja Rehabilitasi
Awalnya, praktik menjalankan program ini diampu bekerjasama dengan PPRBM Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Namun di tahun-tahun berikutnya, Bhakti Luhur telah berhasil dan mampu menyelenggarakan pelatihan sendiri dalam wadah Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) Yayasan Bhakti Luhur.
Banyak kaum muda datang dari berbagai pelosok tanah air datang untuk mengikuti program pelatihan ini. Sebut saja NTT, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua.
Mereka adalah pemuda–pemudi yang telah lulus dari pendidikan tingkat atas (SLTA) dan mempunyai komitmen mau menjalankan program rehabilitasi di daerahnya. Dalam program PPRBM ini pula, Dinas Sosial beberapa provinsi juga telah mengirimkan tenaganya mengikuti pelatihan di Bhakti Luhur. Taruhlah itu Dinas Sosial DKI Jakarta, Dinas Sosial Kupang, RBM Provinsi Sulawesi Selatan, serta berbagai LSM yang ada di banyak provinsi. Mereka hepi mengikuti program pelatihan ini.
Bhakti Luhur di Indonesia
Sampai saat ini, Bhakti Luhur telah berkembang menjadi salah satu yayasan sosial bagi penderita cacat yang terbesar di Indonesia dengan 400-an wisma yang banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan lebih dari 2.000 anak di dalamnya, serta kurang lebih 700 perawat yang tinggal bersama anak–anak tersebut. Dengan program RBM-nya, Bhakti Luhur telah berkarya di 15 provinsi di Indonesia dan 40 Puremas (pusat rehabilitasi masyarakat) yang telah mengintervensi dan merehabilitasi lebih dari 5.000 penyandang cacat.
Sesuai mottonya, Bhakti Luhur dan program RBM akan terus menjangkau daerah yang belum terjangkau, supaya semakin hari, semakin banyak penyandang cacat bisa dibantu dan diinklusikan ke dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat
Rumah di Jl. Galunggung 3, Malang semula dijadikan sebagai salah satu pusat Institut Pengembangan Masyarakat. Namun, akhirnya bangunan itu sekarang menjadi satu lingkungan pusat pengembangan rehabilitasi penyandang cacat. Mula–mula hanya satu rumah, yaitu hanya di Galunggung 3, namun perlahan tapi pasti, tempat ini telah berkembang menjadi lebih luas dan majemuk.
Dengan luas tanah kurang lebih 2,5 hektar, kompleks ini telah berkembang menjadi pusat rehabilitasi bagi penyandang cacat. Semula, hanya satu wisma, kini telah berkembang menjadi 20 wisma, bermacam persekolahan, bermacam unit terapi dan latihan kerja, serta training center.
Karena begitu padatnya aktivitas di Jl. Galunggung 3 ini, maka kompleks ini menjdi tidak pas lagi sebagai akses keluar-masuknya rutinitas harian kompleks ini. Karena itu, sekarang digunakanlah Jl. Raya Dieng sebagai gerbang utamanya; tepatnya di Jl.Raya Dieng 40, Malang.
Layanan Bhakti Luhur
Wisma ini melayani terapi anak–anak cacat yang miskin dan terlantar dengan ketersediaan unit-unit terapi fisik, okupasi, wicara, terapi integrasi sensori, terapi anak tuna grahita, terapi & latihan tuna netra – low vision, terapi tuna ganda, terapi anak autis, terapi dan latihan anak cerebral palsy.
Lembaga pendidikan persekolahan: SLB (A, B, C, C1, Autis ), SD Integrasi, SMP Integrasi, SMK/SMPS, dan STPS.
Sumber: Sejarah Yayasan Bhakti Luhur
saya mantan asrama murid yayasan bhakti luhur thn 1980 sampai thn 1988 jl seeruni sama jl. Gondosuli malang