ALMARHUM Pater (Romo, Pastor) Agatho Elsener OFM lahir dari pasangan orangtua berdarah Swiss bernama Carl Elsener dan Elisabeth Gut. Ia lahir di kota kecil bernama Scwyz, Swiss, 15 Juli 1932.
Carl Elsener, ayah kandung alm. Pater Agatho Elsener OFMCap, adalah pemilik pabrik pisau Swiss yang amat kesohor karena tingkat ketajamannya dan keindahan estetikanya. Victorinox, demikian nama label pisau-pisau lipat produk Swiss ini.
Almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap adalah anak ke-4 dari enam bersaudara anak pasangan orangtua Carl Elsener dan Elizabeth Gut. Meski datang dari keluarga sangat-berada, namun perjalanan hidup rohani imam Fransiskan Kapusin dari Provinsi OFMCap Pontianak ini malah ‘berakhir’ di panggung kehidupan yang meninggalkan kemewahan.
Seakan seperti meniti ulang kisah hidup Santo Fransiskus Assisi yang meninggalkan hidup mewah sebagai bangsawan Italia dan kemudian mengadopsi hidup sederhana dan “bersahabat’ dengan alam, maka pun demikian kisah hidup almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap. Ia meninggalkan tanahairnya yang makmur dan keluarga kandungnya yang serba berkecukupan, menjadi imam Fransiskan Kapusin dan rela diutus menjadi imam misionaris di “negeri antah berantah”: Indonesia dan masuk hutan lebat di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Baca juga:
- RIP Romo Agatho Elsener OFMCap Meninggal di Swiss, Perintis Pertanian Organis di Cisarua
- In Memoriam Pater Agatho Elsener OFMCap: Yang Benar Pertanian Organis, bukan Organik (1)
“Orangtua mengajarkan saya untuk selalu hidup sederhana. Kami tidak pernah bercita-cita menjadi orang kaya. Ayah menempa kami agar selalu kerja keras dan menolong sesama. Kalau tidak kerja, maka berarti tidak makan,” kata almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap saat masih hidup.
Itu setidaknya sosok profil almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap sebagaimana ditulis di situs resmi Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB), nama lembaga pengembangan pertanian organis yang dibesut pendiriannya oleh almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap.
YBSB kini murni bukan lagi milik Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak, namun milik awam di bawah naungan Yayasan BSB.
Berawal di Sanggau, Kalimantan Barat
Kisah panjang sukses almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap mengembangkan pola pertanis organis itu berawal dari pengalamannya menjadi imam misionaris di kawasan pedalaman di Sanggau, Kalimatan Barat.
Ia menerima tahbisan imamatnya di Swiss pada tahun 1958. Dua tahun kemudian sebagai pastor muda, almarhum Pater Agatho Elsener OFM rela diutus oleh Ordo Kapusin (OFMCap) menjadi imam misioner untuk berkarya Indonesia, tepatnya di Bumi Kalimantan. Ia dengan senang hati rela memasuki kawasan hutan di Sanggau, jauh di belahan Utara Pontianak, Ibukota Provinsi Kalbar.
Datang ke Sanggau untuk mengabdikan diri dalam kegiatan pengembangan sosial ekonomi dan memberdayakan masyarakat suku Dayak. Di kawasan pedalaman Sanggau inilah, almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap sering mendapat pertanyaan dari para petani Dayak lokal di situ tentang bagaimana bisa bercocok tanam yang baik agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan hasil pertanian tidak tergantung pestisida.
Revolusi Sebatang Jerami
Tahun 1980, almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap berkenan diutus pindah tugas ke Jakarta, setelah lebih 20 tahun memimpin projek pengembangan masyarakat Sanggau, Kalimantan Barat. Tahun 1982, pastor Fransiskan Kapusin yang dulu punya hobi berat meluncur di dataran es main ski di kawasan pegunungan Alpen itu kemudian ‘banting stir’ menggarap pola bertani organis yang biasa disebut natural farming.
Awalnya, dengan rumah residensi di Pastoran Assisi di Tebet, Jakarta Selatan, Pater Agatho Elsener OFMCap meninggalkan posnya guna menuju ke Semarang di Jawa Tengah untuk membantu Romo G. Utomo Pr, imam diosesan Keuskupan Agung Semarang yang waktu itu menjadi Sekretaris Kantor Pembangunan Sosial Ekonomi dari KAS dan kemudian MAWI (kini KWI)
Perkenalannya dengan Romo G. Utomo Pr –imam diosesan (praja) KAS kelahiran Jasa, Ngering, Wedi, Klaten ini– seakan membukakan jalan untuk merintis keinginannya melakukan pola pertanian organis yang telah menyergap hatinya saat berkarya di Sanggau, Kalbar.
Minatnya semakin membuncah bungah, karena pengaruh dahsyat salah satu bacaan favoritnya yakni buku bertitel The One-
Straw Revolution (Revolusi Sebatang Jerami: Penerbit Obor, Jakarta) karya penulis Jepang Masanobu Fukuoka. Sejak itulah, almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap seakan terpacu emosi dan motivasinya untuk segera mewujudkan ambisinya untuk mewujudkan pola pertanian organis yang selama ini hanya bermain di dalam angan-angannya. Itu harus segera bisa diwujudkan. Terlebih di tahun 1983, sudah banyak petani mulai mengeluhkan melambungnya harga pupuk kimiawai (pestisida).
Memulai pola pertanian organis di Cisarua
Tahun 1983 itulah, almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap mulai bergerilya mencari lokasi yang cocok untuk pengembangan pola pertanian organis. Ia memacu waktu guna mewujudkan impiannya.
Maka sering kali, almarhum Pater Agatho meninggalkan Pastoran Gereja Assisi di Tebet untuk datang ‘mengobok-obok’ kawasan Cibubur, Cipayung di bagian selatan Jakarta yang waktu itu masih dibilang kawasan hutan belanatara, tempat jin buang anak –begitu kata orang.
Ternyata, kawasan di selatan Jakarta itu tidak cocok untuk membangun pola pertanian organis karena tekstur ketinggian tanah tidak memenuhi kriteria. Maka opsi lainna adalah kawasan Cisarua yang berdiri di posisi ketinggian sekitar 1.000 dpl.
Menurut situs Yayasan Bina Sarana Bakti yang didirikan almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap, kiprahnya mengawali pola pertanian organis itu dilakukan dengan mendirikan satu unit kerja atau unit pengembangan yang disebut dengan “unit pengembangan sayuran”. Ini dia tempuh seiring dengan nafas semangat pada decade tahu 1980-an, ketika pemerintah tengah gencar-gencarnya rajin mengkampanyekan swasembada beras.
Unit tersebut adalah unit pertanian yang tidak menggunakan sarana kimia. Karenanya, rekomendasi pun datang bukan saja datang dari Departemen Pertanian, melainkan juga dari Kementrian Lingkungan Hidup — sebuah kondisi yang memang yang sangat dilematis saat itu.
Demi menjalankan cita-cita luhurnya, begitu tulis situs Yayasan BSB, almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap dengan bantuan beberapa rekannya mendirikan lembaga resmi bernama Yayasan Bina Sarana Bakti. Melalui lembaga ini, almarhum Pater Agatho Elsener OFMCap tidak hanya berkeinginan mau mendidik orang agar bersedia melakukan pola pertanian organis. Juga, almarhu ingin bertani secara mengajari semakin banyak orang untuk bersikap organis, saling membantu, dan tidak egois.
Setelah melihat pertanian organis yang dikelola pastor berhasil, semakin banyak orang yang ingin belajar mengenai sikap organis dan pertanian organis darinya.
Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak
Sejarah Ordo Kapusin Provinsi Pontianak, demikian paparan Pastor Egidius Egiono OFMCap dalam situs resmi OFMCap Provinsi Pontianak, rupanya tidak bisa terpisahkan dari kisah berdirinya Keuskupan Agung Pontianak. Para biarawan Kapusin adalah para pionir dalam berbagai kisah pendirian paroki-paroki dan termasuk pihak yang paling berjasa di balik kisah berdirinya Keuskupan Agung Pontianak.
Misi Kapusin di Kalimantan dimulai pada tanggal 30 November 1905, tepatnya di Singkawang, Kalimantan Barat. Misi ini dirintis oleh empat orang Kapusin dari Belanda. Mereka adalah Pater Pasificus Boos, Pater Eugenius, Bruder Wilhelmus, dan Bruder Theodovicus. Misi ini sebenarnya hanya melanjutkan misi rintisan yang telah dimulai oleh para Pastor Jesuit yang waktu itu melayani di banyak wilayah misi di Indonesia.
Singkawang menjadi stasi pertama besutan para imam Kapusin misionaris dari Belanda. Jumlah umat katolik di Singkawang waktu itu sekitar 300-an orang dan mereka semua beretnis Tionghoa.
Pada tahun 1906 , para Kapusin mulai menuju Sejiram dan mendirikan sebuah paroki. Dua tahun kemudian, tahun 1908, mereka mendirikan sebuah paroki di Lanjak. Belakangan, barisan Kapusin misionaris mendapat pasokan baru dari luar negeri, ketika dua imam Kapusin asing datang ke kawasan itu.
Pada tahun 1907, kedua pastor misionaris asing itu ditugaskan berpastoral di Laham Kalimantan Timur. Pada tahun sama berhasil berdiri Paroki Pemangkat (tidak jauh dari Singkawang), Paroki Pontianak di tahun 1909, Paroki Sambas tahun 1914, Paroki Nyarumkop tahun 1916, dan Paroki Sanggau tahun 1925.
Karena awal karya misi di Kalimantan Barat itu sungguh tidak mudah, maka para Kapusin misionaris ini lalu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan untuk menarik kaum muda. Lembaga-lembaga pendidikan itu antara lain Sekolah Pertukangan di Singkawang yang berdiri di tahun 1913, Pusat Pendidikan di Nyarungkop tahun 1913, dan Sekolah Pertukangan di Pontianak pada tahun 1928.
Sekolah-sekolah katolik besutan para imam misionaris Kapusin ini pada tahun-tahun berikutnya berhasil ‘melahirkan’ banyak tokoh Gereja dan masyarakat di Provinsi Kalimantan Barat.
Berbagi tugas pastoral
Pulau Kalimantan merupakan daerah misi yang sangat luas dengan kawasan pelayan yang tersebar kemana-mana. Karena itu, pada tahun 1925, Wilayah Sintang diserahkan ke Serikat Maria Montfortan (SMM). Pada tahun 1926, misi Kapusin di Kalimantan Timur diserahkan kepada Kongregasi MSF. Sesudah penjajahan Jepang, karya misi di Ketapang juga diserahkan kepada Kongregasi Passionis.
Mgr. Pacificus Boos OFMCap menjadi Praefect Apostolik dan kemudian diangkat Vikaris Apostilic pertama. Karena jatuh sakit, ia digantikan oleh Mgr. Tarcicius van Valenberg OFMCap.
Pada Tahun 1942-1945, semua misionaris di Kalimantan Barat dipenjara di Kuching- Sarawak, Malaysia oleh pemerintah kolonial Jepang. Setelah selesai masa penjajahan, maka pada tahun 1957 Mgr. Herkulanus van den Berg OFMCap menggantikan posisi dan jabatan Mgr. Tarcicius OFMCap.
Pada tahun sama, tiba di Kalimantan Barat tiga orang imam misionaris Kapusin dari Swiss. Mereka adalah Pater Franz Xaver Brantschen OFMCap, Pater Ewald Beck OFMCap, Pater Rene Roscy OFMCap. Sementara itu, para kapusin dari Provinsi Belanda mulai berubah kiblatnya dengan melaksanakan karya misi mereka yang baru di Tanzania. Ini terjadi karena para misionaris dari Belanda tidak lagi diizinkan masuk Indonesia oleh Pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1934, Fr. Pacifikus Bong OFMCap menjadi imam Kapusin Indonesia pertama yang ditahbiskan sebagai seorang imam. Tahun 1966 menyusul kemudian Fr. Matheus Sanding OFMCap yang mendapat tahbisan imamatnya pada. Barulah kemudian di tahun tahun 1967 Fr. Hieronymus Bumbun OFMCap juga ditahbiskan menjadi imam.
10 tahun kemudian, pada tahun 1977 Pater Hieronymus Bumbun OFMCap ditahbiskan menjadi Uskup untuk Keuskupan Agung Pontianak.
Karena jumlah para Kapusin di Indonesia semakin bertambah, maka pada tanggal 31 Januari 1976 Provinsi Kapusin Indonesia didirikan. Provinsi Kapusin Indonesia terdiri dari tiga Regio, yakni Regio Kapusin Medan, Regio Kapusin Pontianak dan Regio Kapusin Sibolga.
Provinsial pertama Kapusin Indonesia adalah Pater Gonsalvus Snijders OFMCap; Provinsial kedua adalah Pater Barnabas Winkler OFMCap, sementara Superior pertama Kapusin Regio Pontianak adalah Pater Amantius Pidjenburg OFMCap.
Selain itu, karena jumlah Kapusin Indonesia semakin bertambah secara signifikan dan karena alasan geografis, pada tanggal 2 Februari 1994, Provinsi Kapusin Indonesia dibagi menjadi tiga Provinsi: Provinsi Kapusin Medan, Provinsi Kapusin Pontianak dan Provinsi Kapusin Sibolga. Hingga kini, ketiga Provinsi Kapusin masih berkolaborasi, terutama di bidang pendidikan para calon Kapusin di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Sekarang ini, jumlah anggota Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak ada sebanyak 139 orang , termasuk postulan dan novis. Ini data terakhir hingga Maret 2015 tahun lalu. Para saudara Kapusin berkarya di Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Palangkaraya, dan Keuskupan Agung Jakarta.
Sumber:
- Situs resmi Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak: http://www.pontianak.kapusin.org/
- Situs Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB)