DI Kampung Rahung, Desa Golo Ropong, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai terpatri indah sebuah jembatan gantung.
Ini difungsikan sebagai akses transportasi “jalan kaki” menuju Narang, Ibukota Kecamatan Satarmese Barat.
Jembatan gantung ini membelah Sungai Wae Mau yang mengalir menuju Laut Sawu, bagian selatan Manggarai, Flores Barat, NTT.
Jembatan ini terbuat dari beton bertulang. Ia memiliki landasan lempengan besi yang berfungsi selain untuk bertapak, juga untuk mengurangi rasa takut dari para pejalan kaki ketika melewatinya.
Bagian sampingnya terbuat dari anyaman besi berbentuk tali yang berfungsi sebagai pegangan di tengah goyangnya jembatan itu.
Cerita jembatan gantung yang sayangnya hingga kini belum menjadi objek wisata resmi ini tak terlepas dari sosok almarhum Pater Stanislaw Ograbek SVD.
Almarhum Pater Ograbek lahir di Grudziądz, Polandia tahun 1937. Setelah tahun 1954 mengikrarkan kaul pertama sebagai anggota Serikat Sabda Allah (SVD), ia lalu menyelesaikan pendidikan filsafat dan teologinya dan kemudian menjadi imam SVD tahun 1963.
Ia bersama 19 imam misionaris dari Polandia tahun 1965, ia mulai menginjakkan kakinya di Indonesia.
Tahun 2013 dan dalam acara peluncuran buku Bertualang di Ladang Tuhan, 50 Tahun di Pulau Flores dan Kalimantan di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Pater Stanis berkisah sebagai berikut:
“Seorang utusan dari Gereja Indonesia yang tidak kami kenal tiba-tiba datang ke Polandia untuk meminta bantuan tenaga pendidik di daerah pedalaman di Flores (dan Kalimantan).”
Dalam tulisan studi stata duanya, Pastor Dr. Vincen Adi Gunawan SVD yang menyelesaikan program magister dan doktoratnya di Polandia, juga mengungkap tokoh yang berperan besar dalam karya misi di Flores. Dia adalah Pater Yosef Diaz Viera SVD yang saat itu menjabat anggota DPR RI Utusan Golongan.
Terjadilah serangkaian pertemuan antara Pater Diaz Viera yang diutus oleh Pater General Johannes Schütte (1958-1967) dengan pemimpin Provinsi SVD di Polandia. Hal ini juga mendapat dukungan dari Dubes Indonesia untuk Polandia saat itu yakni HE Gustav Maengkom dan Sekretarisnya Is Rahmat.
Semua kisah sejarah masa lampau ini akhirnya menjadi titik awal pengutusan 20 imam SVD Polandia ke Indonesia.
Pastor Saksemen dan Sakramen
Flores, sejak tahun 1914, menjadi wilayah karya misi imam-bruder SVD. Dan oleh Pembesar SVD waktu itu, Pater Stanis diutus ke wilayah barat Flores ke Keuskupan Ruteng.
Keterbelakangan masyarakat Flores telah emacu para imam misionaris untuk bertindak sangat nyata. Karya mereka sungguh membumi. Mereka tidak hanya pelayan Sakramen gerejawi, tapi juga menjadi pastor “Sak-Semen”.
Hal ini saya alami sendiri, ketika melihat pastor paroki saya, Pater Stefan Wrosz SVD, saat beliau bergiat keras mendirikan Paroki St. Maximilianus Kolbe di Wukir.
Mereka tidak hanya berjibaku dengan pewartaan iman, membaptis dan memberitakan Injil Tuhan. Para imam misionaris SVD ini mengurus besi, batu, pasir, semen, pipa air dan sebagainya.
Mereka tidak hanya mendirikan gereja, tapi juga perumahan rakyat, persekolahan, kesehatan dan banyak hal demi peningkatan sumber daya manusia yang mereka layani.
Demikian juga Pater Stanis Ograbek SVD.
Almarhum tidak hanya membangun jembatan fenomenal di Wae Mau, tapi juga merintis jalan Kebe Gego, membangun sekolah, paroki.
Di Kalimantan ia turut membangun Rumah Sakit Katolik.
Pater Stanis membangun daerah misinya: “bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk tercapainya kerajaan Allah” di atas bumi Manggarai, terkhusus di Satarmese.
Begitu alasan yang pernah almarhum kemukakan dan itu bisa diakses di saluran YouTube.
Kerajaan Allah bukan untuk siapa-mereka tapi di mana-mereka
Kerajaan Allah bagi Gereja dan terkhusus bagi seorang para imam misionaris SVD ini tidak hanya sebuah mimpi, yang kepenuhannya terjadi setelah kehidupan di dunia ini.
Berangkat dari Konsili Vatikan II, terkhusus dalam dokumen Gaudium et Spes yang berbunyi: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.“
Teolog Swiss, Urs Eigenmann, memahami dokumen ini sebagai universalitas pengutusan dan tanggungjawab Gereja: bukan tentang siapa yang kita layani tapi tentang di mana, dalam keadaan seperti apa mereka yang kita jumpai (Wo-Identität statt Wer-Identität).
Dokumen ini oleh Eigenmann dilihat sebagai eksistensi pengutusan dan hakikat Gereja sejak Konsili Vatikan II, di mana Gereja berada dalam hubungan terdekat dengan seluruh umat manusia, tanpa memandang siapa mereka.
Gereja harus berdiri untuk semua golongan, terkhusus mereka yang menderita, yang lemah, yang belum tercerahkan.
Dokumen ini secara praktis mewajibkan Gereja untuk bersolider tanpa diskriminasi identitas (SARA).
Mewujudkan “Gaudium et Spes” sebagai karya nyata
Dokumen “Gaudium et Spes” ini didefinisikan oleh Gereja dan terkhusus para imam misionaris, seperti Pater Stanis SVD, sebagai jalan masuk untuk secara baru mewujudkan Kerajaan Allah di tempat pengutusan mereka.
Merajanya Allah harus sudah terwujud di atas bumi ini, bukan hanya di akhirat nanti. Kerajaan Allah mesti terwujud dalam tindakan keberpihakan kita kepada sesama:
- tentang sejauh mana pendidikannya terpenuhi;
- sejauh mana kesehatannya, air bersih, sejauh mana papan dan sandang;
- sejauh mana transportasi;
- sejauh mana “cahaya” bisa menerangi gelapnya malam.
Para imam misionaris berjuang dengan segala daya yang ada, sehingga umat bisa mengalami sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Para imam misionaris SVD yang misalnya bertugas di Timor atau Flores dan daerah lain di Indonesia, bukan “Orang kaya “.
Mereka tidak memiliki modal pribadi: uang dan sebagainya. Mereka adalah imam relijius yang mengikrarkan kaul kemiskinan.
Bagaimana mereka bisa membangun banyak hal di Flores dan daerah lain? Apakah SVD itu Serikat yang kaya?
Jawabannya tentu tidak. (Berlanjut)