JASA almarhum Paul Widyawan (74) bagi Gereja Katolik Indonesia itu banyak sekali. Yang paling mencolok dan telah mendapat hati di hati segenap Umat Katolik Indonesia adalah buku Madah Hati.
Buku doa yang selama beberapa dekade lalu itu telah menjadi buku panduan mengikuti Perayaan Ekaristi ini diproduksi oleh Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. Inilah “bengkel” sekaligus showcase produsen lagu-lagu dan musik liturgi yang dibesut almarhum bersama Romo Karl-Edmund Prier SJ.
Yang menarik, justru dari tangan mereka berdua itulah kemudian lahirlah ratusan lagu-lagu dan musik liturgi bercitarasa “khas Indonesia”. Digarap dengan apik sekaligus menghembuskan semangat “kontekstualisasi” iman Katolik berdasarkan tradisi seni lokal yang hidup di masyakat, tapi khususnya musik.
Kita kemudian mengenalnya sebagai gerakan inkulturasi di bidang musik dan lagu-lagu liturgi khas Indonensia yang kemudian terkoleksi secara apik dalam buku Madah Bakti tersebut.
Sesuai namanya, kata “madah” berarti lagu-lagu pujian. Sedangkan kata “bakti” mengacu pada sikap hati dan gerak tubuh yang menaruh hormat kepada Tuhan .
Lagu-lagu dan gerak tubuh itu telah disatu-padukan oleh tim PML Yogyakarta sebagai ungkapan iman khas Katolik melalui peribadatan dalam gereja yakni Perayaan Ekaristi.
Lagu rohani belum tentu lagu liturgi
Dari tangan almarhum inilah, lagu-lagu rohani khas liturgi Indonesia sekian puluh tahun lamanya telah mengisi hari-hari kegiatan iman Kristiani-Katolik melalui Perayaan Ekaristi dalam gereja, kapel, susteran, bruderan dan tempat-tempat lainnya.
Bisa saja orang lain menciptakan lagu-lagu bernuansa rohani-religius. Namun, lagu-lagu macam ini belum tentu layak menyebut dirinnya sebagai musik dan lagu liturgi.
Musik dan lagu liturgi tidak saja harus menyajikan syair dan lirik yang “suci”, melainkan dan terlebih lagi konten kalimat-kalimat suci itu juga mampu menyajikan inti iman Kristiani-Katolik. Dan di sinilah jasa besar almarhum Paul Widyawan ingin kita letakkan. (Berlanjut)