TANGGAL X Mei 2019 lalu, Romo Karl-Edmund Prier SJ, pemimpin Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta meminta tulisan pada saya untuk merayakan ulang tahun Paul Widyawan ke-75. Tapi Tuhan berkehendak lain.
Paul Widyawan dipanggil Tuhan Sabtu, 10 Agustus 2019, pada usia 74 tahun.
Saya mengenal almarhum, karena saya pernah bergabung di Vocalista Sonora, paduan suara pimpinan Paul Widyawan dari tahun 1990-1994.
Di tahun 1992 saya mendapat pengalaman musikal, spiritual, dan ideologis sekaligus saat ikut tour ke negara-negara Eropa di mana saya menjadi peserta termuda saat itu.
Pengalaman ideologis saya dapatkan, karena mengunjungi kota-kota yang pernah menjadi bagian negara komunis Jerman Timur dan baru bubar 1989, hanya tiga tahun sebelum kami mengunjungi eks Jerman Timur.
Jelang HUT-nya ke-75
Berikut adalah cuplikan tulisan saya yang seharunya untuk perayaan ultah Paul Widyawan.
Praktik musik inkulturasi untuk liturgi di Indonesia memang sudah terjadi sebelum Konsili Vatikan II, seperti yang dilakukan oleh Atmodarsono dan Hardjasoebrata yang menggunakan gamelan dalam liturgi setelah Uskup Mgr. Albertus Soegijopranoto SJ mendapatkan izin dari Roma tahun 1956.
Izin untuk menggunakan budaya lokal dalam liturgi memang diperlukan saat itu.
Sebelum Konsili Vatikan II, liturgi yang menggunakan budaya lokal boleh dilakukan hanya dengan izin dari Paus.
Sesudah Konsili Vatikan II, inkulturasi boleh dilakukan dan dikembangkan secara lokal dengan berpegang pada dokumen Konsili Vatikan II terutama Gaudium et Spes, Lumen Gentium, dan Ad Gentes.
Sebelum Konsili Vatikan II, musik liturgi didominasi oleh pengaruh musik Gregorian, sacred polyphony dan klasik Barat.
Sementara sesudah Konsili Vatikan II, pengaruh musik lokal menjadi semakin kuat. Dengan demikian proses kreatif dalam musik liturgi di seluruh dunia memiliki dinamika yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya.
Secara makro, perubahan mendasar ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Eropa serta kolonialisme yang mendominasi perkembangan musik liturgi Kristen sebelum negara-negara baru muncul pasca kolonialisme di Afrika dan Asia.
Kondisi dominasi Barat ini membuat situasi yang kontradiktif, karena pada dasarnya perkembangan iman tidak mungkin dipisahkan dari perkembangan sosial budaya setempat, seperti halnya Yesus yang lahir dalam konteks sosio-kultural tertentu.
Kesadaran seperti ini sudah muncul pada dekade 1930-an, ketika Barat masih berkutat dengan Perang Dunia dan kolonialisme. Maka musik liturgi inkulturasi sering dianggap sebagai gerakan postkolonial.
Dalam sejarah Indonesia, inkulturasi sebenarnya sudah lama terjadi di sejarah Islam melalui Wali Songo.
Prinsip dakwah Wali Songo adalah mengakomodasi ekspresi budaya lokal untuk pengajaran agama Islam, misalnya lewat tembang-tembang Jawa, wayang, dan lain-lain. Cara ini kemudian menghasilkan corak Islam Nusantara yang mengakar kuat pada tradisi lokal sekaligus Islami.
Perkembangan musik inkulturasi Indonesia pada tahap selanjutnya nyaris tidak bisa dipisahkan dari Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta dan itu adalah duet Romo Karl-Edmund Prier SJ, dan Paul Widyawan.
Ada beberapa catatan penting yang bisa disampaikan terkait peran ketiganya.
Pertama, lokakarya musik tradisi Indonesia.
Musik inkulturasi sebagai konsep terasa sekali eksotismenya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tantangan berat muncul, ketika ada ribuan ekspresi kebudayaan untuk negara sebesar Indonesia.
Bagaimana mengakomodasi variasi budaya yang luar biasa bineka itu dalam musik liturgi merupakan tantangan luar biasa. Akan tetapi tantangan itu mampu ditanggapi oleh PML dan bahkan mengubahnya menjadi keunggulan.
Ratusan lokakarya yang dilakukan PML di segala penjuru Nusantara sejak tahun 1970-an menghasilkan beragam ekspresi budaya lokal dalam liturgi yang terangkum dalam karya besar Madah Bakti dan Kidung Adi yang berbahasa Jawa.
Di buku Madah Bakti, kita bisa menemukan misa dalam berbagai corak budaya Nusantara misalnya misa gaya Jawa, keroncong, Dolo-Dolo, Papua, Minang, Batak, Timor, dan masih banyak lagi.
Strategi yang dilakukan PML dalam workshop itu adalah mengajak musisi-musisi lokal dan bersama-sama membuat karya musik liturgi inkulturasi.
Dalam proses inilah tangan dingin Paul Widyawan tampak.
Musik-musik lokal Nusantara belum tentu semuanya bisa memunculkan suasana peribadatan, karena mungkin sekali berakar dari tradisi yang profan. Namun karya-karya Paul Widyawan membuat musik-musik lokal Indonesia mampu menghadirkan suasana khusus dalam peribadatan yang sesuai dengan tanah kultural iman umat Katolik Indonesia (sitz im Leben).
Ambil saja contoh lagu Bawalah Persembahan (Madah Bakti 228) bergaya keroncong yang sanggup menampilkan semangat Katolik yang Indonesia.
Pada saat tulisan ini dibuat, lagu ini sudah didengarkan 375 ribu kali di YouTube.
Suasana yang sama bisa kita rasakan saat mendengarkan lagu-lagu ibadah dari Indonesia karya Paul Widyawan lainnya. Kita juga bisa menemukan lagu-lagu lain dengan keberhasilan setara, misalnya Pulau Samadi, di Sanggar Mahasuci, dan masih banyak lagi yang lain.
Kedua, PML tidak hanya menghasilkan lagu-lagu ibadat Nusantara namun juga menyediakan supporting system bagi perkembangan musik liturgi inlukturasi yaitu paduan suara sebagai contoh, buku khusus aransemen paduan suara dan musik iringan, penguatan kapasitas pemusik pengiring melalui kursus, dan rekaman.