SEMALAM (Senin, 13/05/2019), saya masih bertukar informasi tentang kondisi Ratno lewat sambungan WA, begitu dia sering kita panggil, dengan Wahyu Ketut alias Soni.
Soni bilang bahwa kondisi Ratno kritis, lalu saya telepon Soni untuk mengetahui langsung kondisi Ratno. Ratno mau dibawa ke RS Siloam untuk operasi bypass jantungnya, tetapi karena kondisi belum stabil, maka perlu distabilkan.
Saya masih berharap bahwa akan ada keajaiban untuk kondisi Ratno. Namun, Sang Pemilik Kehidupan berkehendak lain.
Ratno, Soni dan saya pernah hidup bersama di Seminari Mertoyudan angkatan 1988/1992. Empat tahun bersama telah merekatkan kita sebagai saudara.
Ratno dan Soni berasal dari satu paroki, yakni Paroki Nanggulan.
Saya masih ingat saat awal-awal masuk di Medan Pratama, Soni selalu saja nempel dengan Ratno. Seolah Ratnolah yang menjaganya saat mengawali kehidupan di asrama sekolah calon Romo ini. Kita baru saja lulus SMP waktu itu.
Soni yang berwajah seperti bayi, meskipun sekarang sudah berputera dua, toh wajahnya tidak berubah. Tetap saja baby face.
Ingatan itu muncul kembali di benak saya saat mendengar kabar bahwa Ratno Wahyudi berpulang tadi pagi (Selasa, 14/05/2019) pukul 00.45 WIB di Ciputra Hospital.
Rasanya cepat sekali sahabat kami ini kembali kepada Sang Penyelenggara Ilahi. Pertemuan terakhir dengannya sudah tiga tahun yang lalu, saat angkatan kami menjadi panitia reuni ATM (Asu Tilik Merto).
Usahawan
Senang sekali bisa berjumpa dengan teman-teman seangkatan dan Ratno selalu menyempatkan hadir di tengah kesibukannya mengelola usahanya di bidang fabrikasi alat-alat pemanas.
Selepas dari Mertoyudan, Ratno melanjutkan kuliah di Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI) Solo, sebuah sekolah teknik yang dikelola oleh para Jesuit. Selesai dari sekolah itu, Ratno sempat bekerja sebagai “buruh” di sekitar Tangerang, namun setelahnya dia mendirikan usahanya sendiri.
Orangnya sangat ulet dan gigih. Saya mengikuti postingan tentang perkembangan usahanya lewat laman FB. Usaha fabrikasi alat-alat pemanasnya (oven) berkembang pesat. Relasi bisnisnya menjalar sampai Jepang dan negara lain.
Sebuah prestasi yang luar biasa dari seorang putera asal Nanggulan.
Kesibukannya sebagai pengusaha muda tidak menghalangi Ratno untuk menghayati panggilannya sebagai warga Gereja.
Ia sangat aktif sebagai pengurus Gereja Santa Odilia, Paroki Citraraya. Pendidikan di Seminari dan digembleng di ATMI Solo telah mendidiknya utuk menjadin “rasul awam” yang militan.
Saya tidak menyangka bahwa Ratno –demikian terpanggil– untuk terlibat dalam kegiatan Gereja Katolik. Begitu banyak kegiatan yang dia organisir, dari mulai latihan koor, komuni pertama, sampai dengan urusan dialog antarumat beragama.
Pada peringatan May Day 2019, saya masih menemukan dirinya berfoto dengan Mgr. Suharyo. Pasti dia juga salah satu tokoh penggerak Hari Buruh di KAJ.
Tidak hanya itu, kegiatan OMK pun tidak luput dari perhatiannya. Saya masih menemukan jejak digital di laman FB-nya bahwa dia menyambangi kemah OMK di Gunung Patjar bersama isterinya.
Saya selalu tertarik bahwa Ratno selalu memposting kegiatan ziarah bersama keluarganya ke Gua Maria. Pernah saya temukan, dia bersama istri dan kedua puterinya mengunjungi semua Gua Maria sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Jogya. Bahkan mungkin dia kunjungi semua Goa Maria yang berada di Jawa.
Ratno dan keluarganya sangat beriman kepada Maria, Bunda Yesus Kristus. Bunda Sang Ratu Surga, tampaknya mengerti bahwa Ratno paling tepat kembali dalam dekapan Sang Pemilik Kehidupan saat Bulan Maria.
Ratno pun, setelah berjuang untuk menstabilkan jantungnya, akhirnya harus mengembalikan jantung kehidupannya bersama Bunda Maria.
Bro Ratno, bersama Bunda Maria, Sang Ratu Surga, kuiringi kepulanganmu dengan Doa Salam Maria…
Salam Maria Penuh Rahmat,
Tuhan sertamu.
Terpujilah Engkau di antara wanita
Dan terpujilah buah tubuhmu Yesus
di antara wanita
Dan terpujilah buah tubuhmu Yesus
Santa Maria, Bunda Allah,
Doakanlah kami yang berdosa ini,
Sekarang dan pada waktu kami mati.
Amin.
Sugeng kondur Bro Ratno Wahyudi.