Pengantar Redaksi
TIDAK ada banyak literatur tentang sosok alm. Romo Abbas Emeritus Frans Harjawijata OCSO (1932-2016). Untunglah, Majalah Hidup pernah membuat tulisan bagus tentang sedikit riwayat perjalanan hidup alm. Romo Frans dalam risalah bertitel Panggilan Baru di Jepang yang muncul sebagai laporan wawancara penulis Margaretha Ari Anggorowati dengan alm. Romo Abbas Emeritus Frans Harjawijaya OCSO edisi bulan Juni 2012.
Tulisan tersebut juga telah menginspirasi Sesawi.Net, sebuah portal berita katolik yang diampu oleh para eks Jesuit Indonesia, ketika merilis kabar duka meninggalnya Romo Abbas Emeritus Frans Harjawijata OCSO. Tulisan yang sama juga telah menjadi sumber inspirasi risalah rohani yang digarap oleh seorang pastor.
Foto yang dirilis Majalah Hidup tersebut juga menjadi sangat berarti bagi pembaca semuanya.
Kepada Sesawi.Net, M. Ari Anggorowati yang menulis risalah Panggilan Baru di Jepang kembali menggoreskan kenangannya sebagai ‘anak rohani’ alm. Romo Frans Harjawijata OCSO dalam tulisan berikut ini. Romo Frans Harjawijata OCSO keburu meninggal dunia, jauh hari sebelum Ari bermaksud mengunjungi beliau di Pertapaan Trappist St. Maria Rawaseneng.
———————-
PERJALANAN spiritual adalah perjalanan panjang bagi hidup setiap orang. Menapaki tiap pengalaman hidup dengan berbagai dinamikanya menjadi bagian dari upaya semakin dekat dengan Sang Sumber Kehidupan. Dalam untaian doa, mengenang perjalanan Sang Guru alm. Romo Abbas Emeritus Frans Harjawiyata OCSO adalah suatu kebahagian tersendiri.
Romo Frans Harjawijata OCSO dikenal dengan berbagai karya-karya dan kontribusinya bagi Gereja. Lagu-lagu liturgi, terjemahan syair-syair, dan penulis ibadat harian serta berbagai jabatan menjadi bagian dari perjalanan pelayanan beliau. Pelayanan yang tidak terbatas pada pelayanan dalam biara Pertapaan Trappist St. Maria di Rawaseneng, Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah, tetapi juga bagi komunitas lain dan berbagai kelompok dan lembaga.
Selalu tersenyum
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas keseharian dari beliau. Salah satu ciri khas yang lekat dalam ingatan saya adalah bahwa dalam berbicara, beliau selalu tersenyum. Tetapi hal ini akan berbeda, ketika beliau berbicara hal yang sangat serius, misalnya mengenai perkembangan Gereja masa kini, maka wajah beliau yang tenang menjadi sangat serius.
Alm. Romo Frans Harjawijata OCSO adalah seorang pendengar yang baik. Namun demikian, mengenal beliau pertama kali melalui surat elektronik, saya dapat melihat dan merasakan untaian-untaian kalimat yang jelas dan lugas. Menjawab dan menjelaskan berbagai hal mengenai spiritualitas dengan cara yang sederhana. Di usianya yang sudah sangat lanjut, beliau masih mampu menangkap dengan jelas setiap esensi topik yang dibicarakan, clear dengan berbagai detil yang menjadi bagian dari relasi dan pembicaraan.
Hidup, karya, dan panggilan adalah suatu hal yang dihayati dengan cara sederhana oleh Romo Frans.
Ketika dalam suatu pembicaraan santai, saya bertanya kepada beliau. Bagaimana bisa sedemikian banyak menciptakan karya berupa lagu-lagu Gereja? Maka, beliau menjawabnya dengan santai. “Itu diawali, ketika saya mendapat tugas mengarang lagu di Biara Trappist Koningshoeven di Tilburg. Negeri Belanda,” jawabnya rileks.
“Ya, waktu itu saya hanya mengarang saja… Tidak pernah berpikir apa-apa. Selanjutnya saya terus mengarang lagu begitu saja,” kata alm. Romo Frans yang sangat menghayati hidup kontemplatifnya dengan menjad seorang pertapa (rahib) dalam biara kontemplatif Trappist.
Seperti yang pernah dia sampaikan bahwa anugerah terbesar dan terindah dalam hidupnya adalah anugerah iman. Dalam setiap waktu, perjumpaan dengan Tuhan menjadi hal yang terus dilakukan.
Lain waktu, saya bertanya kepada beliau: Harus seserius seperti apa sehingga Romo dan kita semua bisa menjalani hidup ini dengan baik?
Beliau tertawa dengan ringan dan lalu menjawab: “Semua dijalani dengan ringan, hidup sekali saja kok dibuat repot”.
Menjadi Abbas pertama di Indonesia adalah beban yang tidak ringan untuk almarhum Romo Frans Harjawijata OCSO. Kehidupan sebagai pertapa yang selalu hening, justru “terganggu”,karena tugas pokok dan fungsinya sebagai Abbas. “Sebagai seorang pertapa, saya merindukan saat-saat diam dan hening.
Namun dalam posisi sebagai Abbas, saya harus sering berpergian dan selalu bertemu banyak orang. Ini sungguh ini bertentangan dengan kerinduan saya sebagai pertapa. Namun, bagaimana pun saya harus bersedia menjalani tugas itu dengan sebaik-baiknya,” jawabnya.
Alm. Romo Frans Harjawijaya OCSO menjadi Abbas untuk Pertapaan Trappist Santa Maria di Rawaseneng sampai 28 tahun; sejak tahun 1978-2006. Ia digantikan oleh Abbas baru yakni Romo Gonzaga Rudiat OCSO.
Hidup tak lama dan disiplin diri
Suatu saat, dengan tatapan serius, beliau bercerita. “Kita tidak pernah tahu tentang hidup kita. Sakit cukup serius di usia 40-an telah membuat saya berpikir pada waktu itu bahwa hidup saya tidak akan lama,” katanya dengan mimik sangat serius.
“Tapi saya berjuang dengan disiplin yang tinggi. Saya menjalani diet ketat selama 14 tahun untuk memperbaiki kesehatan dan akhirnya kesehatan saya justru membaik, seiring bertambahnya usia dan bahkan saya melewati masa pensiun saya,” lanjutnya.
“Saya tetap disiplin dengan senantiasa melakukan senam ringan setiap pagi,” tambahnya lagi.
Dengan demikian sudah menjadi jelas bagi kita semua bahwa kedisiplinan itu menjadi salah satu sikap utama dalam hidup beliau. Tidak hanya disiplin dalam hidup doa, tetapi juga disiplin untuk hal-hal lain dalam hidup.
Panggilan bukan hanya sekali
Bagi Romo Frans, panggilan tidak hanya sekali ada dalam hidupnya.
Setelah melewati masa pensiun, beliau malah mendapat kesempatan untuk menjalani hidup sebagai pertapa sendirian dalam pelayanannya sebagai imam di Biara Torapisuto Shudoin (Tenshien) di Jepang. Kesempatan ini dihayatinya sebagai panggilan kedua dalam hidupnya.
Beliau mengatakan hal ini dengan jelas. “Kerinduan saya sebagai seorang semi eremit akhirnya terpenuhi saat menjalani tugas di Jepang ini,” ujarnya waktu itu.
Meski jauh dari tanah kelahiran, meski sendirian dalam usia senja, namun hal itu tetap memberikan kebahagiaan. Itu dengan jelas bisa terpancar dari senyuman yang selalu mengembang dalam pertemuan-pertemuan di saat beliau berkunjung ke Indonesia.
Saya merindukan ini
“Bagaimana hidupmu? Saya akan selalu doakan kamu.”
Itu adalah kalimat-kalimat yang selalu saya rindukan dalam email-email yang beliau kirimkan.
Dalam sebuah email di bulan April, setibanya di Tanahair, beliau sempat bercerita. “Saya perlu berhari-hari memulihkan kesehatan saya, setibanya di Indonesia. Kesehatan dan tubuh saya ternyata cukup berat untuk sebuah perjalanan panjang dari Jepang ke Indonesia.”
Waktu itu, saya hanya mampu menjawab. ”Ya, istirahat dulu Romo. Saya juga sedang mencari waktu untuk bisa bertemu Romo, nanti di sekitar bulan Juni dan Juli,” jawab saya waktu itu.
Ada kesedihan mendalam, ketika saya tidak mampu mewujudkan keinginan untuk bertemu beliau. Sosoknya sedemikian dalam. Beliau telah menjadi sahabat saya dalam melakoni peziarahan hidup ini.
Kesederhanaan dalam menghayati iman dan panggilan hidup, kesetiaan dan ketekunan beliau serta penyerahan sepenuhnya pada Allah menghantar beliau sampai pada akhir perjalanan di dunia dan memenuhi seluruh kehendak Allah atas hidupnya.
Kini saatnya beliau bahagia bersama Bapa di surga. Romo Abbas, doakan kami yang masih harus berjuang di dunia ini.