KURUN waktu tahun 1943-1958, pasangan guru Soekono Darmobroto tinggal di Jalan Ronggowarsito No. 13 Gedangan, Semarang. Di rumah dinas guru, persis sebelah Gereja Santo Yusup Paroki Gedangan, Soekono tinggal beserta para guru alumni Kweekschool Muntilan dan guru-guru muda dari sekolah lain.
Sementara, Romo Soetapanitra SJ bersama “Romo Kanjeng” Soegijapranata SJ bertugas di Gereja Santo Yusup Paroki Gedangan. Mereka sering menitipkan anak-anak terlantar yang berasal dari mana-mana di era revolusi yang chaos.
Romo Soetapanitra SJ terkenal, karena suka mengenakan sandal jepit ke mana pun pergi. Termasuk saat bersua dengan Presiden Soeharto di suatu masa. Bersama Sang Uskup Vikariat Semarang, beliau membuka gereja yang dibangun sejak 1 Oktober 1870 itu bagi warga yang terpisah dari anggota keluarga yang terlantar karena perang.
Suasana clash di era Agresi Militer Belanda benar-benar sengsara. Banyak keluarga tercerai berai. Anak, remaja terpisah dari orangtua. Kebanyakan, karena orangtuanya maju ikut berperang.
Romo Soetanto SJ masa kecil
Di gereja berarsitektur gotik mirip Gereja Katedral Jakarta itu, Bapa Uskup Vikariat Semarang Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Romo Soetapanitra SJ dan Pak Soekono menyelamatkan para remaja tanggung yang kiranya bisa menjadi korban umpan tembakan peluru. Mereka segera upayakan pengasuhan anak.
Di antara para remaja itulah ada sosok bernama Tanto.
Selain remaja Tanto dan anak pribumi lain, juga disembunyikan para remaja-sinyo Belanda. Mereka masih merengek panggil nama ibunya, ketakutan dipaksa berperang. Para puteri Soekono masih ingat, ada nama Tony, Wastenberg, selain remaja Tanto.
Mereka diamankan dari chaos oleh Mgr. Soegijapranata SJ, Romo Soetapanitra SJ, dan Bapa Soekono beserta rekan disembunyikan di dalam rumah dinas Soekono di mana banyak guru juga indekos.
Soekono sendiri tak lain adalah satu dari dua keluarga yang namanya diberikan credit title di akhir tayangan film (Uskup) Soegija.
Dinding antara Gereja Santo Yusup Paroki Gedangan dan rumah Soekono jmenjadi saksi: tembok dilubangi, ditutup almari. Buat sembunyi, menyelamatkan bapa uskup dan para pastor, bila ada patroli.
Ibu Soekonolah yang menjadi pemasak logistik untuk Mgr. Soegija dkk, ketika sedang sembunyi di rumah Soekono. Entah kenapa akhirnya, adegan indah manusiawi ini tidak dimuat dalam scene film Soegija.
Di antara para remaja -selain Tanto- ada yang disekolahkan atau sekadar “ngenger“, menumpang hidup.
Romo Tanto SJ meguru musik pada Pak Soekono
Menurut kesaksian adik ipar Romo Soeanto SJ, pastur yang rendah hati namun kukuh dalam pendirian itu, juga belajar ikhwal bermusik dari Pak Soekono.
Beliau adalah pemain biola alumnus Kweekschool Muntilan seangkatan Pak Cornel Simanjuntak, Pak Doeriat sepuh dkk.
Pak Soekono kemudian hijrah ke Solo pada tahun 1959. Sebagai guru, mendiang Soekono tetap aktif memberi les musik hingga akhir hayat. Sama persis seperti muridnya Romo Sutanto.
Dari Blateran, Klaten, ke Muntilan
Sesepuh keluarga Romo Tanto sendiri, awalnya tinggal di Blateran, Klaten, Jawa Tengah. Kampung yang terkenal dengan tradisi kuliner swikee-nya.
Dalam suasana kekacauan perang itulah, kakek Sutanto, Mbah Ahmad Diarjo membawa puteri-puteranya berpindah ke Jagalan, Muntilan. Di sana lah puteri Mbah Ahmad, Ibu Zulaikah yang akrab dipanggil Bu Ikah membesarkan Romo Tanto bersama ketujuh saudaranya.
Pada tahun 1945 , Jepang kalah dalam Perang Asia Timur Raya. Lalu, kekacauan Indonesia terjadi dengan adanya peristiwa Clash I alias Agresi Militer Belanda I. Di tengah suasana kacau, pada 1948 itulah Gereja Santo Antonius Paroki Muntilan dibakar.
Romo Sanjaya wafat sebagai martir. Pada masa-masa penuh pergolakan itulah, Tanto kecil dibesarkan.
Sang kakek, Mbah Ahmad di kalangan umat Katolik Muntilan dikenal dengan kesalehan dan busana khasnya. Bila bepergian selalu bersarung dan berpeci rapi, kadang mengenakan blangkon Jawa. Tiap subuh, ia rajin mengikuti misa harian di Gereja Paroki Muntilan.
Seturut sang kakek, adik Romo Tanto bernama Bu Biyartini jmengikuti jejaknya. Bu Biyartanti juga penggiat Gereja Paroki Muntilan pada masanya.
Kisah dari Muntilan
Muntilan, kota berjuluk Betlehem van Java sendiri adalah tempat tokoh Romo Van Lith beserta generasi klerus (suster, pastor, bruder) misi Gereja Katolik perdana memulai karya di Pulau Jawa. Para pastor, bruder membangun sekolah guru laki-laki Kweekschool. Sedangkan para suster mendirikan sekolah guru perempuan di desa Mendut, tak jauh dari Candi Mendut dekat Borobodur.
Pada 1947 mereka bahkan sempat memindahkan Seminari Menengah.
Ambarawa menjadi medan perang, sehingga seminari dipindah ke Bruderan FIC Muntilan di masa Agresi Belanda di bawah asuhan Romo van der Putten SJ sebelum bertempat kembali di desa Mertoyudan, Magelang. Di kemudian hari, para suster Fransiskanes juga mendirikan lembaga pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar di Jalan Kartini, Muntilan itu.
Tak jauh dari sana lah, rumah keluarga Romo Antonius Soetanto SJ itu berada. Di belakang rumah Romo Tanto, Jagalan, terdapat “tempuran” Sungai Pakis dan Sungai Lamat. Sungai Pakis adalah sungai kecil yang lewat depan komplek ziarah Romo Sanjaya, seberang Balai Perikanan, Muntilan.
Suasana masa kecil Romo Tanto memang banyak diwarnai oleh suasana asri-alami di sekitar pertemuan kali itu. Kampung Jagalan sendiri dikenal sebagai komunitas keluarga yang amat hangat. Namun juga dipandang eksklusif bagi sebagian warga luar. Sebuah komplek keluarga besar jagal sapi dan lurah lama kota Muntilan.
Sebelum Romo Tanto hijrah ke Gedangan, Semarang, di tengah chaos agresi militer Belanda. Hingga kemudian terpanggil menjadi imam masuk Seminari Mertoyudan di Magelang.
Karesidenan Kedu
Di kota kecil -eks wilayah Karesidenan Kedu itulah- Romo Tanto bersekolah SD. Kota kecil yang punya ragam kuliner tradisional lebih banyak dari kota kabupatennya yakni Magelang itu juga sarat akan keberadaan situs keagamaan. Baik Islam, Katolik, maupun Buddhisme. Selain ziarah makam martir Romo Sanjaya dan Frater Bouwens SJ, kini riwayat Misi Katolik perdana di Jawa telah diabadikan dalam Museum Misi. Persis di sebelah Gereja Paroki Muntilan.
Di kota ini pula terdapat Ponpes NU Watu Congol. Nyaris saban hari umat se-Nusantara berziarah di ponpes di selatan kota ini. Di sisi barat kota, selepas kampung perajin batu Prumpung, sebelum arah candi agung umat Buddhis -Candi Borobudur- terdapat Pondok Pesantren Pabelan dengan tokohnya mendiang Kyai Hamam dan beberapa Ponpes Muhammadiyah hadir belakangan.
Teman sekolah SD
Masa sulit di tengah peperangan di Muntilan, Tanto kanak-kanak bersekolah SD di Sekolah Rakyat Sempoerna di Koplak = dekat RSU Muntilan. Kini di seberangnya telah berdiri TK, SD, SMP milik Kongregasi Suster Fransiskanes Semarang (0SF)
Semasa itu, Tanto memiliki teman sebangku bernama Tanti alias Martanti. Mantan guru bahasa Perancis di Merto dan dosen bahasa asing di ASMI Tarakanita (kini STARKI) di Billy Moon Jakarta itu, masih sering dikirimi teks-teks tembang lawas berbahasa asing oleh Romo Tanto saat berkarya di Paroki Tanjung Priok, Kampung Sawah, hingga jelang akhir hayat.
Selepas lirik ITU diterjemahkan Tanti di rumahnya di Bogor, teks lagu lalu dikirim balik ke Tanto untuk dibuatkan notasinya.
Saat Tanto sakit di RS Carolus, lantaran jatuh dari halte busway Cawang UKI, maka Tanti, Chelli, dan puteri Tanti -si Maxi- menengok Tanto. Beliau terlihat happy banget bertemu teman-teman masa kecil di Muntilan.
“Poyokan” Tanto dan Tanti cukup populer pada masanya. Tanto sungguh berbahagia menikmati momen-momen relasi organik, sejak masa kecil hingga akhir hayat bersama para sahabat.
Paduan Suara Ascensio Paroki Tanjung Priok
Sesuatu yang amat beliau syukuri, selain nikmat lain, adalah saat almarhum memberi les musik kepada anak-anak di Paroki Tanjung Priok dan Kampung Sawah. Juga tetap setia mendampingi kelompok paduan suara anak didiknya yang jadi legend: Paduan Suaran Asencio.
Asencio adalah kelompok paduan suara anak-anak. Mirip-mirip Die Eiener Sangerknaben dari Wina, Austria. Mereka adalah “malaikat-malaikat” kecil bersuara jernih yang belum berubah pita suaranya menjadi suara dewasa.
Ascensio sebagaimana Vienna Boys Choirs itu kerap kali tampil menjadi artis langganan pengisi acara.
Tak terhitung lagi konsernya di Taman Ismail Marzuki, aula Bogasari di kelompok usaha Salim Group, festival paduan suara gerejani Pesparani dan di berbagai pentas Gereja, perusahaan, serta acara musikal lainnya.
Penggiat musik gerejani
Peziarahan bermusik Romo Tanto bersama anak-anak tidakah sendirian. Koleganya antara lain adalah:
- Romo Karl Edmund Prier SJ bersama rekan seperjuangan sekaligus rekan dalam berbaku karya: almarhum Paul Widyawan di Vocalista Sonora.
- Lalu ada almarhum Putut Pudyantoro dengan tembang Bapa Kami dan Mia Patria Choir-nya.
- Dokter gigi sekaligus dosen FKG-UGM: Ibu Damian Alma yang selain mengajar juga membuat komposisi-komposisi lagu; di antaranya lagu komuni batin.
- Mendiang Romo FA Martana Pr, sang pelatih musik diatonis-pentatonis yang amat antusias itu;
- Kakak beradik guru musik mendiang Lestari Maryata dan Wahyuni Markiswo tetangga mendiang Ibu Pluk Sitohang – ibunda Oloan yang menjadi junior-nya Romo anto di Seminari Mertoyudan. Terutama berkat koleksi tembang yang berpusat pada anak.
- Pasangan Aldrin-Endah, pemimpin koor anak dan keroncong sedari Jetis di Yogja hingga Paroki Blok B Jakarta.
- Paschalis Setiawan, pendamping setia musik paduan suara di lereng selatan Merapi.
- Asti Wardhana dengan anak-anak dampingannya di Semarang.
- Boni dan Awied yang selalu siap ber-pro bono mengiringi duka keluarga tidak mampu.
- Mendiang Yus, pendamping setia koor anak berinstrumen yang ditemukan meninggal dunia di Sungai Bengawan Solo, jelang acara konsernya.
Hemat penulis, Mo Tanto bersama para penggiat musik gereja ini adalah penjaga-perawat khasanah kekayaan Gerejani itu. Kita yakin Gereja memberikan apresiasi yang amat baik kepada mereka…
Kesaksian dari Paroki Kampung Sawah
Kesaksian seorang ibu, umat Paroki Kampung Sawah, almarhun Romo Antonius Soeanto SJ tak segan memeluk anak didiknya, bila berhasil memainkan lagu yang telah djajarkan. Sebagai ungkapan kasih sayang sekaligus apresiasi untuk memotivasi, membesarkan hati si organis cilik.
Body contact, human touch dalam nafas cinta agape yang Mo Tanto lakukan, sejatinya adalah afirmasi sikap welas asih dan wujud perhatian atas kecintaannya kepada musik (cara) sebagai media penyampai pesan kasih Sang Guru kepada murid-muridnya (tujuan).
Dalam budaya kita, kadang hal itu bisa saja disalahartikan.
Belajar dari metode Mo Tanto, semoga ekspresi ketimuran kita yang kadang menabukan sapaan hangat dan semacamnya dapat kita tempatkan dalam pola relasi yang lebih lapang.
“Kemarilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu….(Mat 11),” ajak Yesus pepunden Mo Tanto bersama lebih dari 2,5 miliar pengikut Kristianitas di dunia yang meyakini: cinta kasih, welas asih adalah hukum yang tertinggi.
Bukan yang lain…
Pelukan bersalut pujian semacam Mo Tanto tidak sekadar meneguhkan. Namun juga menyembuhkan dalam banyak aspek psikhis. Tidak hanya bagi sang anak, namun juga bagi orangtua yang menumpahkan kasih sayang dalam momen tertentu.
Dalam simpulan sang ibu dari si organis cilik itu: alangkah baiknya pula, bila di kantor misalnya, lebih banyak pimpinan atau atasan yang memiliki belas kasih (compassion) dan mampu mengungkapkannya (empathy) kepada karyawan atau sejawat.
Saling meneguhkan, tentu juga akan saling menyembuhkan.
Dalam sesi les musik di gereja Kampung Sawah yang dikenal dengan suasana inkulturasi budaya Gereja Katolik dan budaya Betawi asli tersebut, si organis cilik kemudian diwanti-wanti oleh Mo Tanto. Agar mau menularkan kemahiran bermusiknya kepada anak lainnya.
Cara Mo Tanto mewanti murid untuk menularkan keterampilan bermusik, tak ubahnya juga sebuah visioning atas moda loka latih yang dilakukan secara sederhana. Ia ejawantahkan dalam laku sunyi di panti paroki. Tanpa bentangan spanduk, ruang pelatihan/seminar yang besar, dan pengeras suara ruangan yang memekakkan telinga.
Selamat jalan, Romo Antonius Sutanto SJ. Karya bapa amat lah banyak, agung, dan megah adanya. Ordinarium Misa Kita II, IV, dan lusinan lagu yang menyiratkan keagungan Tuhan dengan modulasi yang indah.
Magnum opus itu bapa buat dalam ruang-ruang kerja yang sederhana. Bila bepergian pun masih gemar naik bus TransJakarta. Hingga jatuh, karena tak secekatan dulu kala.
Dari Romo Antonius Soeanto SJ, kita sungguh belajar lagi, bahwasannya: penghayatan hidup (iman) itu, lebih dari sekadar menemukan antusiasme. Seperti pesan Emerson: “Nothing more than enthusiasm“. Untuk ke sekian kali kita belajar. Seorang Sutanto juga telah melampaui pesan Emerson itu.
Bahkan rute penghayatan iman Romo Tanto telah berkontribusi besar dalam menghidupkan salah satu ruh Gereja itu: Per cantum ad Iesum. Melalui nyanyian kita dihantar menuju Tuhan Yesus.
Sumber tulisan: selain referensi penulis, juga hasil serangkaian wawancara dengan:
- Bapak Kelik, adik ipar Romo Tanto.
- Bapak Edy, tetangga terdekat di Muntilan dan mantu Pak Purwo.
- Ibu Tyas Utami di Solo, puteri bapak-ibu Soekono Darmobroto.
- Bapak Maryata dan Bapaj Marseno sahabat masa kecil di Muntilan.
- Bapa Andreas Ambar Purwanto di Pondok Gede, tetangga Paroki Kampung Sawah.
- Ibu Maxi ,puteri Mar-“Tanti” sahabat Soe-“Tanto”, teman sebangku SD di Muntilan.