In Memoriam Romo Eddy Putranto OSC: Saat Bertemu di Amerika (3)

0
1,614 views
Penulis bersama almarhum Romo Eddy Putranto OSC saat kami bersama-sama di Amerika. (Dok. Paulus Sarwoto)

PAGI ini, saya menerima berita duka dari Bandung: Romo Eddy Putranto OSC, anggota Kuria Keuskupan Bandung, meninggal.

Usianya sama dengan saya, karena kami dulu satu angkatan di Seminari Mertoyudan. Selepas Mertoyudan, ia lanjut ke tarekat OSC hingga ditahbiskan sebagai imam. Sementara saya akhirnya memilih melanjutkan hidup di luar biara, setelah tujuh bulan menjalani tahun rohani di Jangli, Semarang.

Tidak bertemu selepas lulus SMA, kami berkabar lagi lewat email dan yahoogroups (alm.) ketika sama-sama studi lanjut di AS tahun 2002.

Ia ambil S-3 teologi di Catholic Theological Union, Chicago. Sedangkan, saya studi S2 Comparative Literature di Louisiana State University, dengan biaya beasiswa Fulbright.

Di peta, tempat kami studi cukup jauh, ujung utara dan selatan AS. Jumpa darat baru terjadi saat semester break.

Saya terbang dari Baton Rouge ke Chicago dan kami menyewa mobil di bandara O’Hare untuk keliling beberapa negara bagian selama 5 hari.

Hamparan salju berkilo-kilo meter sepanjang jalur interstate 65 di wilayah Indiana menimbulkan kesan surealis pada dua selibater ini.

Dia selibat karena sumpah, sementara saya karena uang beasiswa hanya cukup untuk satu orang; sehingga harus meninggalkan isteri di Indonesia selama 2 tahun full hanya setelah dua pekan menikah.

Antara kaget dan tidak kaget

Kabar duka itu tidak begitu membuat saya kaget.

Yang membuat kaget dan sedih sudah terjadi berbulan-bulan sebelumnya ketika dikabari bahwa almarhum Romo Eddy Putranto OSC telah kena multiple sclerosis berat sehingga hanya terbaring di RS tanpa bisa merespon ligkungannya.

Pertanyaan saya, seperti juga mungkin pertanyaan Sophocles Ketika menulis Oedipus Rex ribuan tahun lalu: bagaimana harus merasionalisasi ‘evil’ yang menerjang orang tanpa pandang bulu ini.

Nah, almarhum Eddy adalah teman dialog yang asyik untuk membahas pertanyaan-pertanyaan seperti ini.

Sebagai teolog, dia juga merasakan ketegangan-ketegangan antara rumusan teologis dan praksis sehingga tidak puas dengan jawaban mudah yang seperti hiburan palsu saja.

Menghadapi dan menghidupi absurditas bisa dia lakukan dengan tenang, solutif dan tanpa kepaitan.

Begitu juga Ketika berdialog, dia tidak melihat kritik terhadap doktrin sebagai serangan atau sikap tidak beriman.

Dalam suatu kesempatan bahkan dia mengemukakan hermenutika terhadap KS yang tidak mainstream, namun mencerahkan.

Mungkin ini karena dia belajar teologi di AS, bukan di Roma.

Saya sungguh merasa kehilangan, sudah sejak dia mulai masuk rumah sakit beberapa bulan lalu.

Sampai ketemu lagi Ed.

Ini foto kenangan, ketika kami dolan bareng 20 tahun lalu menjelajah kawasan Amerika.

Penulis bersama almarhum Romo Eddy Putranto OSC – kenangan 20 tahun lalu saat kami bersama-sama di Amerika Serikat. (Dok. Paulus Sarwoto)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here