PERTAMA-tama sugeng tindak Romo Hendra.
Almarhum sekali waktu pernah menjadi sahabat kerja. Waktu kami berdua bersama-sama “bersamadi” di Tanjung Pinang.
Setelah akhir pekan itu, saya sudah bersiap akan segera meninggalkan Camp Galang -tempat penampungan para pengungsi pencari suaka politik dari Vietnam- dan kemudian bisa bertemu dengan almarhum Romo Hendrawinata Pr.
Kami berdua lalu asyik berdiskusi, syering, mengobrol sana-sini yang lucu-lucu. Juga membicarakan kisah-kisah pelayanan pastoral kami di Pulau Barelang.
Waktu penulis akhirnya memutuskan akan segera pamit dari Serikat Yesus, almarhum Romo Hendrawinata dengan tegas memberi semangat.
Lalu segera bilang, “Semoga kamu segera dapat kerjaan ya Wi. Juga segera berkeluarga. Mumpung belum terlanjur jadi tua,” ungkap almarhum Romo Hendrawinata waktu itu.
Setelah pisah lama, saya kemudian bisa bekerja di World Bank.
Sekali waktu bisa kembali bertemu dengan almarhum Romo Hendrawinata Pr di Batam bersama Romo Freddy Rante sebagai penggiat CU.
Sejak itu pun, kami berdua lalu terlibat dalam komunikasi intens.
Terakhir, kami berdua bertemu waktu tahbisan uskup yang juga mantan momongan penulis di Seminari Mertoyudan: Mgr. Sunarko OFM.
Kami bertiga lalu reunian dengan Romo Iwan Murdjoko Pr.
Saat saya pamit balik Jakarta, almarhum Romo Hendrawinata Pr bilang membisiki saya.
“Wi, kamu kan ndak doyan makan menu babi to? Tapi, nanti dalam perjalanan ke bandara, baik juga kamu berbaik hati membelikan keluargamu babi panggang,” ungkapnya sedihit menahan tawa.
So sweet, so care.
Semua dalam kenangan bersama. Terutama waktu saya pamer karena sudah berhasil membangun bangunan gereja bersama pengungsi Vietnam di Galang II.
Lalu, bersama almarhum, penulis diajak melihat proses pembangunan Gereja Katolik di Batam. Bisa jadi hal itu ada di Bukit Nagoya. Tentang ini, saya benar-benar lupa di mana persis lokasinya.
Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam.