KABAR wafatnya Romo Joannes Madyasusanta SJ pada hari Jumat tanggal 15 Desember 2017 telah membuka kembali ingatan saya sebagai murid-nya. Itu terjadi di pertengahan 1986, saat saya mulai menapaki belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang waktu itu masih bernama IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sebagai Ketua Jurusan kala itu, Rama Madya mengampu perkuliahan Pengantar Linguistik dan Logika. Secara runtut perkuliahan dimulai saat bel dan berakhir, ketika terdengar bel 100 menit kemudian.
Bukan “o”, tapi “a”
Bagi saya dan rekan-rekan sejurusan, menuliskan nama beliau tidak boleh keliru di dokumen apapun. Nama J. Madyasusanta, SJ tidak boleh ditulis seperti mengejanya Madyosusanto, “a” tidak sama dengan “o”, kekeliruan tulis akan panjang urusannya.
Baca juga:
In Memoriam Romo Joannes Madyasusanta SJ: Dua Wajah Bahasa Latin (3)
Kesadaran tertib berbahasa dimulai dari kecermatan tatatulis. Saya memperoleh kesan bahwa berbahasa ada unsur kreatif lewat banyak dosen, tetapi bersama Romo Madya menjadi lengkap bahwa berbahasa itu tertib dan disiplin.
Disiplin perilaku calon guru bahasa pun diteladankan oleh Romo Madya. Sepanjang saya berkuliah, selalu menjumpai Romo Madya berbaju lengan panjang, tanpa pernah digulung ujungnya, rapi dimasukkan, bersabuk lengkap, bersepatu mengkilap. Tampilan rambut yang terkesan basah dengan minyak yang menjaganya tetap rapi sejak pagi hingga ujung hari.
Tetap ingat kami
Saya diwisuda oleh Romo Madya sewaktu beliau menjadi Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Setelahnya kami hampir tidak pernah lagi bertemu beliau. Namun, ingatan beliau itu seketika muncul, tatkala isteri saya tanpa sengaja bertemu Romo Madya di Rumah Saki Panti Rapih.
Kata Romo Madya kepada isteri saya: “Titip salam kagem keng raka (baca: buat suamimu). Saya bangga, dia produktif sekali menulis”.
Ternyata Romo Madya mengikuti nama saya yang “jedhal-jedhul” (sering muncul) di kolom opini koran-koran.
Isteri saya di kala muda adalah umat Romo Madya di Paroki Santo Antonius, Purbayan, Surakarta.
Meski, selama berelasi sebagai dosen dan mahasiswa terkesan serius, toh Romo Madya berkenan hadir di tengah kami alumni 1986 berkumpul kembali 25 tahun kemudian 2011. Romo Madya jauh-jauh dari Mertoyudan, Magelang, menyempatkan hadir di kampus Sanata Dharma di Mrican.
Kehangatannya yang sungguh kami rasakan bersama rekan-rekan seangkatan.
Sekali peristiwa, ketika memasuki aula saat menjadi pembicara tamu di Seminari Mertoyudan, Magelang, saya bertemu Romo Madya yang duduk di deret belakang. Saya menghampiri tempat duduknya, Romo Madya bangkit dari kursinya, “Saya menunggu Pak Kartono bicara, lho. Saya bangga”, sembari menunjukkan kehangatan dengan menepuk-nepuk punggung tangan saya ketika berjabat. Dan, saya pun yang muridnya ini disapanya dengan “Pak”.
Saya memperhatikan dari meja bicara, Romo Madya mengikuti acara hingga usai. Saya terharu, bahkan ketika menuliskan catatan ini.
Romo Madya, selamat jalan.
Terimakasih untuk teladan dan bimbingan Romo.
St. Kartono
Kolumnis dan Guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta