TAHUN 1978 di Kelas Persiapan Pertama – Medan Pratama Seminari Mertoyudan, 63 seminaris krucil yang baru tamat SMP mulai mengayunkan kaki memasuki gerbang seminari menengah –sekolah khusus calon pastor di desa Mertoyudan. Mereka berasal dari berbagai SMP di Jateng, Jabar, Bali, Ketapang (Kalbar), dan beberapa wilayah di Jabodetabek.
Ayunan langkah mereka ini ibarat awal meniti perjalanan panjang yang ujung akhirnya tidak pernah jelas. Apakah akan sampai tamat di tahun keempat atau malah nantinya harus gugur di tengah jalan.
Gegar budaya
Puluhan remaja ini mayoritas berasal dari keluarga-keluarga sederhana yang tinggal di kawasan pedesaan. Maka, ketika mulai memasuki ‘hidup baru’ di Seminari Mertoyudan, pengalaman mencekat ‘gegar budaya’ langsung menyergap mereka.
Apalagi, sekolah khusus calon imam yang muridnya semuanya laki-laki ini ditandai dua corak utama hidup khas berasrama, yakni disiplin ketat soal pengaturan waktu dan rutinitas keseharian hidup.
Bel kehidupan bersama
Dering bel yang dibunyikan oleh Bidel Umum di pojokan depan Refter Besar persis di depan Aula adalah ‘nyawa’ kehidupan bersama.
Dering bel itulah yang setiap jam mengatur keseharian hidup bagi kurang-lebih 250-an orang –jumlah seminaris waktu itu. Jumlah itu masih harus ditambah sedikit 15 an formatores yang terdiri dari para imam Jesuit dan imam diosesan Keuskupan Agung Semarang. Mereka ini tinggal di unit Domus Patrum (DP) dan di beberapa lingkungan unit seperti di MP (Medan Pratama), MM1 (Medan Madya 1), MM2 (Medan Madya 2), dan MU (Medan Utama).
Ketika mayoritas seminaris MP-KPP mulai dihinggapi perasaan tak menentu gara-gara ‘gegar budaya’ itu, maka keberadaan Romo Joannes Madyasusanta SJ terasakan sebagai kiblat baru bagi ‘cah ndeso masuk kota’ ini. Almarhum menjadi teladan nyata bagaimana keseharian hidup yang diatur oleh deringan bel itu mesti dilakoni setiap hari. Seminaris harus selalu masuk kelas tepat waktu, belajar super disiplin mengikuti jadwal bacaan rohani dan studi; baik sebelum dan sesudah coenam (makan malam).
Dua sisi dalam sekeping mata uang
Bagi mayoritas seminaris MP-KPP angkatan 1978, bisa jadi sosok almarhum Romo Joannes Madyasusanta SJ tercermin dalam kiasan ‘berwajah dua’ – bak dua sisi dalam sekeping mata uang.
Terhadap tuntutan belajar dan disiplin diri, imam Jesuit berkacamata sangat tebal ini tidak pernah mau kompromi. Kehadiran fisik beliau setiap kali tiba-tiba datang ‘sidak’ berkeliling meninjau kelas-kelas di MP selalu menjadi momen ‘menakutkan’ bagi para alumni Angkatan 78.
Baca juga:
Laksana ‘hantu lewat’, Romo Madya nyaris tidak pernah bicara satu kata pun. Namun sekelebatan kehadiran beliau ketika melewati gang-gang mulai dari Bangsal Kaca menuju Ruang Rekreasi MP, maka hal itu rasanya sudah menjadi pelecut semangat disiplin. Setelah Romo Madyasusanto SJ lewat, maka tidak ada ramai-ramai lagi di gang. Semua seminaris duduk manis di kursinya masing-masing dan mulai belajar.
Itulah satu sisi yang terekam kuat di benak saya. Sisi bagian yang lain adalah sosok imam Jesuit yang sangat humanis, perhatian besar, dan ramah terhadap para seminaris muridnya.
Tentang hal ini, saya sering mengalami ‘sentuhan kasih’ itu setiap kali saya menyelinap diam-diam pergi ke Domus Patrum menemui alm. Bruder van Dooren SJ untuk belajar Bahasa Perancis secara mandiri. Atau juga ke unit susteran CB bertemu alm. Sr. Hedwigine CB yang mengajari saya belajar uitspraak Bahasa Belanda dan Perancis.
Soal ‘mencuri’ waktu untuk belajar Bahasa Perancis dengan diam-diam ini, hati ini selalu dihantui oleh dua jenis ketakutan besar.
Pertama adalah target harus bisa mendapatkan nilai bagus untuk Bahasa Latin dan Bahasa Inggris. Itu menjadi semacam ‘prasyarat’ untuk dizinkan boleh mencicipi indahnya bicara lafal Bahasa Perancis lewat buku Le Français élémentaire karya G. Mauger dan G. Gougenheim untuk para pemula (débutant).
Kedua, adakah izin dari Romo Madyasusanta SJ selaku Direktur (Kepala Sekolah) Seminari untuk dispensasi ini. Syukurlah dua kecemasan ini bisa berlalu cepat seiring dengan perjalanan waktu; juga berkat kemurahan hati Rektor Seminari waktu itu: Romo Julius Darmaatmadja SJ.
Tasrif dan konjugasi
Bahasa Latin adalah momok paling menakutkan bagi para seminaris baru di tahap KPP-MP dan mungkin juga tahap KPA-MU. Padahal, belajar Bahasa Latin itu merupakan sebuah keharusan di Seminari Mertoyudan. Bahkan, konon katanya, nilai rapor untuk ‘bahasa berkelas’ ini tidak boleh kurang dari 6.
Untunglah, angkatan kami mendapatkan guru Bahasa Latin yang sangat pintar dan energik. Mula-mula Fr. Yuwana Murjaka SJ, sebentar sekali dengan Fr. Antonius Sudiarja SJ, kemudian alm. Romo Johannes Pujasumarta dan akhirnya Romo Julius Darmaatmadja SJ yang kala itu menjadi Rektor Seminari .
Almarhum Romo Johannes Pujasumarta –adik kandung Romo Ismartono SJ— beberapa puluh tahun kemudian diangkat menjadi Uskup Bandung dan kemudian Uskup Agung KAS. Sementara, Romo Julius Darmaatmadja SJ beberapa tahun kemudian menjadi Provinsial SJ, Uskup Agung KAS dan KAJ, lalu diangkat menjadi Kardinal.
Belajar Bahasa Latin dengan para imam dedikatif itu sungguh menegangkan. Bukan karena gurunya, melainkan ketika ada kewajiban gramatikal khas Bahasa Latin yakni harus hafal luar kepala atas dua hal ini: tasrif dan konjugasi.
Bagi para seminaris asal pedesaan dengan kemampuan Bahasa Inggris pas-pasan, belajar Bahasa Latin pada waktu itu sungguh menjadi jam-jam yang sangat menyiksa. Ada perasaan keder setiap kali menemui terminologi yang sama sekali baru dalam studi bahasa asing yang tidak pernah mereka jumpai ketika belajar Bahasa Inggris.
Namun, juga ada semacam rasa bangga yang benar-benar grès baru sama sekali, ketika –misalnya—tiba-tiba para seminaris itu bisa merasa diri ‘lebih’ dibanding para murid SMA umum lainnya dengan mengatakan dua hal ini:
- “Ego amo te” yang berarti “saya mencintaimu”.
- “Video puellam pulchram” yang artinya “Saya melihat gadis rupawan’’.
Dua kalimat Latin rekaan para seminaris yang lagi puber ini menjadi sangat populer di kalangan seminaris Angkatan 1978. Apalagi, kalau dua kalimat spontan itu diucapkan ketika mereka tengah menghafalkan tasrif dan konjugasi Bahasa Latin dengan pendaran sinar terang di bawah ‘tugu’ tiang listrik di taman dekat bunga bougenvile di depan kamar Wakil Pamong MP.
Saat ber-ambulasi (jalan-jalan keluar asrama), misalnya, maka teman-teman itu dengan gagahnya akan mengatakan seperti ini: “Agricola terram arat” – lihat “Petani itu tengah menggarap sawah”.
Elementa Linguae Latinae
Bahasa Latin yang semula menjadi momok sangat menakutkan, tiba-tiba saja menjadi bahan perbincangan dimana-mana. Apakah itu saat para seminaris tengah makan siang dan makan malam di refter (ruang makan), tidur bareng-bareng di dormitorium (ruang tidur berbentuk sal), atau pun berjalan menyisir gang dan lorong-lorong kampus seminari. Atau juga saat mereka ingin ‘lari bersembunyi’ dari keramaian dan diam-diam menyelinap masuk ke ‘kawasan tidak biasa’ yang juga jarang dijenguk orang: kebun belakang Aula.
Di situ ada kandang babi. Namun lorong gelap yang menghadap kebun itu malah sering menjadi lokasi ‘zona nyaman’ bagi para seminaris angkatan saya saat kami di kelas MM1 untuk belajar ‘ngebut-ngedur’ sampai dinihari.
Tujuannya hanya satu: agar bisa terhindar dari ‘razia’ Romo Pamong kami saat itu: alm. Romo Johannes Pujasumarta Pr.
Saya tidak pernah ikut barisan ‘ngedur’ tersebut. Namun, rasanya saya sedikit ingat siapa-siapa saja yang suka belajar serius sampai batas waktu dengan ekspetasi bisa mengejar target mendapat nilai bagus untuk Bahasa Latin.
Pertanyaannya, mengapa teman-teman itu sampai rela ‘berjibaku’ belajar mati-matian sampai larut malam dan bahkan menjelang dinihari sudah bangun duluan hanya untuk belajar?
Tentu saja, praktik belajar dengan curi-curi waktu itu terjadi –salah satunya— karena Bahasa Latin.
Dimana-mana dan kemana pun, seakan menjadi keharusan bagi para seminaris waktu itu menenteng buku Elementa: Linguae Latinae I, I, III.
Buku pakem pelajaran Bahasa Latin ini adalah hasil karangan alm. Romo J. Wanamaja SJ –aslinya bernama Pater Groenewood SJ– dan Romo K. Bramantojo CM.
Buku klasik ini menjadi semacam ‘bacaan wajib’ waktu belajar Bahasa Latin.
Padahal, sejak Konsili Vatikan II mengizinkan dan malah mendorong umat katolik memanfaatkan bahasa lokal untuk liturgi tata Perayaan Ekaristi, sebenarnya pamor Bahasa Latin sebagai ‘bahasa resmi’ Gereja Katolik juga mulai ikut melorot. Namun, Seminari Mertoyudan pada tahun itu masih menggariskan kebijakan serius: para seminaris harus tetap bisa ‘menguasai’ Bahasa Latin. Setidak-setidaknya, para seminaris diharapkan punya kemampuan membaca teks atau istilah-istilah baku dalam studi filsafat dan teologi nantinya.
Jasa besar Romo Joannes Madyasusanta SJ
Pada bingkai besar berdasarkan kilas balik historis inilah, saya ingin memposisikandimana peran besar almarhum Romo Joannes Madyasusanta SJ.
Pada tahun-tahun itu, Romo Madya adalah pihak yang paling getol mengkampanyekan pentingnya belajar dan menguasai gramatika Bahasa Latin.
Sangat mungkin bahwa antusiasme Romo Madyasusanta SJ itu meletup-letup kuat seperti itu karena beliau adalah seorang filolog.
Romo Joannes Madyasusanta SJ secara khusus memang pernah belajar sastra dan bahasa-bahasa klasik Eropa –termasuk Bahasa Latin– di Fakultas Wysbegurk en Latteren – Katholieke Universiteit te Leuven di Belgia. Hasil studi selama empat tahun (1964-1968) di Vlaanderen ini (kawasan berbahasa Belanda di Belgia, sedangkan wilayah berbahasa Perancis disebut La Wallonie) akhirnya memberinya gelar licenciat di bidang filolologi klasik.
Maka tak heran, bila di tangan Romo Madyasusanta SJ sebagai Kepala Sekolah Seminari Mertoyudan (1974-1979), pelajaran Bahasa Latin itu dipentingkan sekaligus menjadi momok menakutkan. Konon ada banyak teman seminaris terpaksa jebling (keluar seminari) gara-gara nilai Bahasa Latinnya jeblok.
Namun, Bahasa Latin itu pula yang selalu bisa mendatangkan pride sangat khas ‘hanya milik’ para seminaris. Apalagi, ketika merekaini lagi berada di tengah kerumunan siswa sekolah menengah lain. Tiba-tiba saja mereka bisa merasa diri ‘lebih hebat’ dibanding kelompok baya mereka.
Pada saat-saat seperti ini, dengan lantang berani, mereka lalu suka mengatakan ini: “Puellas pulchras videmus” alias awas…awas…ya di depan kita tengah ada cewek-cewek cakep lewat. Maklum saja, terjemahan bebas dari kalimat Bahasa Latin itu adalah “Kami melihat gadis-gadis rupawan”.
Tentu saja, kalau ungkapan kekaguman terhadap kaum hawa itu harus diungkapkan dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia, sudah pastilah tak akan pernah ada seminaris dari tingkat mana pun berani mengucapkannya. Ketertarikan kepada lawan jenis akan ‘dipendam’ terus, karena rasanya tidak ‘elok’ bagi seminaris calon pastor kok bisa-bisanya sampai mengagumi keindahan fisik kaum perempuan.
Karena itulah, ekspresi emosi itu akhirnya meletup dalam ungkapan kata-kata sangat khas para seminaris –baik yang sudah jadi imam maupun para eksim jeblinger—ketika dengan langgam guyonan mereka suka berucap: “agricola terram arat” … atau “videmus puellam pulchram…”
Gunanya Bahasa Latin
Berkat Bahasa Latin dan ‘paksaan’ almarhum Romo Madyasusanto SJ itulah, puluhan ribu imam dan eksim jeblinger Seminari Mertoyudan itu bisa merasakan manfaat paling joss gandhos saat belajar bahasa-bahasa Eropa turunan dari Latin: Jerman, Belanda, Perancis, Spanyol, Itali, Portugis, dan lainnya.
Mengapa demikian? Karena dari sebuah kata dalam Bahasa Latin itulah, derivation of words kata-kata di berbagai bahasa dengan satu makna sama itu berasal.
Yang membedakan hanya satu: pengucapan kata dan cara penulisannya.
Namun, struktur ‘pathok bangkrong’ kata dasarnya masih sangat kental terasakan. Itu karena kata-kata berbagai bahasa asing di Eropa itu aslinya berasal dari Bahasa Latin atau lebih ‘lama’ lagi ya Bahasa Yunani.
Ini hanya satu contoh saja.
Kata angelus (singular) dan angeli (plural) dalam Bahasa Latin berarti ‘malaikat, pendamping’.
Arti yang sama dalam berbagai bahasa Eropa akan muncul sebagai berikut:
- “Angel’” sebagai noun dalam Bahasa Inggris dan ‘angelic’ sebagai
- “Ange” sebagai kata benda dalam Bahasa Perancis.
- “Angelo” dalam Bahasa Italia.
- “Anjo” dalam Bahasa Portugis.
- “Angel” dalam Bahasa Spanyol.
- “Angiluz” dalam Bahasa Jerman.
Jadi, berbahagialah para imam dan mantan seminaris di mana pun yang pernah belajar serius Bahasa Latin dan kini –meski sudah banyak lupa akan tasrif dan konjugasi—masih merasakan manfaat besarnya.
Apalagi, mereka yang kemudian belajar ilmu kedokteran dan ilmu hukum.
Di situ banyak istilah-istilah Bahasa Latin yang sudah menjadi istilah baku terminologi khas disiplin kedua ilmu ini.
Untuk jasa besar mengenalkan khasanah sastra dan budaya Bahasa Latin inilah, tulisan ini kami persembahkan kepada almarhum Romo Joannes Madyasusanta SJ.
In Memoriam Romo Madyasusanta SJ: 18 November 1937 – 15 Desember 2017.
Vita functi. Requiescat in pace et vivat ad aeternam.