In Memoriam Romo JVM Tondowidjojo CM: Pencetak Kader, Penggerak, dan Pendorong Umat Peka Lingkungan (7)

0
661 views
RIP Romo John Tondowidjojo CM (1934-2018) -Ist

INI catatan pribadi penulis sepanjang mengenang alm. Romo JVM Tondowidjojo CM alias Romo Tondo.

Pastor bonus

Berita tentang wafatnya Romo Tondo CM, Rabu pagi tanggal 5 September 2018 tetap mengagetkan, kendati kami tahu Romo Tondo sudah beberapa pekan terahir telah mengalami sakit kritis di RKZ Surabaya.

Umat Katolik di Keuskupan Surabaya umumnya merasa kehilangan seorang gembala yang baik (pastor bonus);  tidak hanya karena status gembalanya, tetapi terutama juga karena fungsi ke-gembala-annya yang riil, praktis.

Sudah banyak obituari untuk Romo Tondo yang menggambarkan kualitas ke-gembala-annya yang prima. Romo Tondo itu amat dekat dengan umatnya. Sering menyapa umatnya secara personal satu per satu. Ahli, bahkan guru besar, ilmu komunikasi. Pintar memainkan piano. Pelindung dan pencari solusi bagi eks-frater atau eks-pastor. Priyayi berdarah biru keturunan (cucu) RA Kartini.

Dan tentu masih banyak lagi kesaksian-kesaksian lain yang menunjukkan kehebatan Romo Tondo.

Tiga hal

Masih ada tiga hal yang perlu saya ungkapkan tentang Romo Tondo.

  • Pertama, bahwa Romo Tondo adalah pencipta kader.
  • Kedua, bahwa Romo Tondo adalah piawai dalam menggerakkan umat untuk berbuat lebih baik bagi Gereja, masyarakat dan bangsanya.
  • Ketiga, bahwa Romo Tondo selalu mendorong umatnya untuk peka dan sadar akan kebutuhan lingkungan, masyarakat dan bangsanya.

Tiga hal ini saya ketahui dan rasakan ketika saya menjadi umatnya di (Stasi yang kemudian menjadi) Paroki Santo Marinus Yohanes Kenjeran) maupun dalam persahabatan kami di Surabaya sejak tahun 1980.

Pencipta kader

Umat Stasi/Paroki Santo Marinus Yohanes merasakan benar sentuhan bimbingan dan pengkaderan dari Romo Tondo itu. Romo Tondo selalu dikenal umatnya serba cepat singkat. Malah ada yang bilang kesusu-susu. Tetapi di balik serba singkat dan terus berkomunikasi itu, Romo Tondo sangat serius dan tekun menciptakan kader-kader muda.

Ia amat percaya perlunya dan pentingnya alih genertasi dan kaderisasi. Ada tulisan Romo Tondo di Warta Paroki Syukur HUT Ke-6, 2002: hh 14-16. Di situ jelas dan gamblang pikiran dan semangat Romo Tondo tentang kader. Beberapa di antaranya saya kutip di bawah ini:

  • [di segala lapis kehidupan] proses perubahan alih generasi terjadi… Ini semua tidak lain diperlukan tidak hanya karena manusia itu tidak abadi tetapi juga demi suksesnya proses perkembangan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga. Ini merupakan suatu tuntutan proses kehidupan di dunia yang diciptakan Tuhan. Hanya Tuhanlah yang tidak berubah. Esensi kehidupan apa saja yang diciptakan adalah berubah.
  • Dalam hidup bermasyarakat, baik di lingkungan keagamaan, merupakan suatu keharusan memikirkan generasi penerus dengan mmpersiapkannya. Yang ada harus mendapatkan perhatian dengan mengadakan ongoing formation antara lain dengan kaderisasi. …
  • Kader adalah orang yang bertindak, bekerja untuk kepentingan bersama, bukan mendengarkan ceramah-ceramah saja! Kalau kader lemah atau kurang tegas, maka seluruh organisasi juga akan lemah. Maka, pendidikan kader yang sistematis, baik secara teoritis maupun praktis, adalah mutlak perlu untuk suatu organisasi/lembaga pembangunan dan administrasinya.
  • Di masa saya bertugas sebagai Pastor Kepala Stasi St Marinus Yohanes dari tahun 1970-1996 hal ini saya lakukan. Dan, untuk mencetak kader-kader di stasi, proses tahap pertama memakan waktu selama tiga belas tahun (1970-1984), lalu tenaga-tenaga yang saya kader benar-benar diterjunkan ke kegiatan-kegiatan sampai pada pembangunan Gereja dan bahkan sampai ke tahbisan Uskup Mgr. J. Hadiwikarta Pr. Ini mengalami proses waktu selama 13 tahun pula, yakni dari tahun 1984-1996.
  • Masyarakat akan tetap mantap dan berkembang kalau kader-kader yang telah dicetak itu menyadari perlunya mencetak kader-kader penerus. Ada tidaknya kader-kader baru dan muda ini bisa dilihat dari antara lain pengurus-pengurus dalam komposisi baru di lingkup Dewan Paroki dan organisasi, wilayah dan lingkungan. Sedangkan kader-kader lama jangan sampai mengkonsepkan diri sebagai orang-orang yang sudah tidak dipakai lagi, tidak bermanfaat, melainkan tetap menjadi dinamisator, animator dan konsultor, supaya generai yang muda bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan efektif dan efisien dengan visi dan misi yang jelas.
  • … jangan hanya dibidang administrasi dan keuangan saja, tetapi juga menyangkut bidang-bidang sosio-edukatif, sosio-ekonomis, sosio-kultural, sosio-religius dan sosio-politik.
  • Hendaklah diingatkan kembali apa yang dilakukan oleh Paulus. Ia membangun jemaat-jemaat kecil. Gereja kita, yaitu umat kita, menjadi nyata di basis-basis dan basis itu adalah orang-orang nyata. Jadi bukan dalam hirarki, bukan dalam gedung-gedung, bukan dalam daftar anggota dan jabatan di paroki sampai di Vatikan, bukan juga dalam para Uskup dan Imam, bukan para biarawan dan biarawati, melainkan umat sendiri, saudara dan saudari Katolik yang kongkrit. Mereka itu basis Gereja.
  • Secara lebih konkrit, komunitas basis adalah orang-orang Katolik, yang masih saling mengenal dan dengan mudah dapat bertemu karena komunikasi, entah karena hidup di suatu kampung atau dusun, entah secara kategorial, apabila mereka sering bertemu. Jelas bahwa komunitas basis merupakan basis dan kenyataan Gereja, tanpa mereka tak ada Gereja. Kalau mereka tak berdaya sebagai orang Katolik, Gereka juga tak berdaya…

Tepatlah kiranya apa yang ditulis Bapak AM Soedaryadi, Ketua Dewan Paroki 1996-2002, pada 2002: “Terimakasih kepada Romo John Tondowidjojo CM ‘yang telah menggembleng dan mempersiapkan kami sehingga dapat melaksanakan tugas kami sebagai pelayan umat yang mandiri’.” (Warta Paroki Syukur HUT ke-6, 2002: h 9). Pilihan kata-kata seperti “menggembleng”, “mempersiapkan”, “pelayan umat yang mandiri” yang muncul dari sambutan Pak Soedaryadi tentulah membenarkan adanya gemblengan Romo Tondo.

Penggerak umat

Romo Tondo memang berhasil meningkatkan status stasi menjadi paroki. Romo Tondo juga membangun fisik gereja dan gedung-gedung lainnya. Tetapi di dalam benaknya, pembangunan fisik itu hanyalah buah dari pembangunan karakter manusia-nya.

Yang penting adalah pembangunan karakter manusia-nya.

Kepercayaan Romo Tondo pada kualitas manusia umatnya itu tampak jelas dalam kotbah ultah ke-7 paroki kami itu, Minggu, 19 Oktober 2003.

Waktu itu, Romo Tondo bicara sangat singkat. Tidak ada satu menit. Isinya jelas dan tegas: “Selamat. Jangan hanya membangun fisik. Utamakan pembangunan manusia, terutama generasi muda dan keluarga.”

Semua umat yang hadir bertepuk tangan panjang atas pesan Romo Tondo itu. Itu karena sebagian besar umat di gereja itu mengenal dan mengetahui siapa Romo Tondo, tetapi juga karena Romo Tondo memang tokoh yang selalu mengedepankan pembinaan dan pembangunan manusia.

Selama menggembalakan domba-dombanya di stasi dan (kemudian) paroki ini, Romo Tondo mengutamakan pembangunan kualitas manusia. Pelbagai kegiatan dipercayakan pada umatnya. Sepertinya Romo Tondo yakin bahwa kegiatan adalah sarana dan wahana untuk menggerakkan umatnya. Kalau ada acara-acara, pelibatan kader dan umat ditantang dan diutamakan.

Bahkan Romo Tondo berani meminta umat stasinya menjadi panitia Pelantikan Uskup Mgr. J Hadiwikarta Pr Kala itu.

In Memoriam Alm. Romo Kode Tondo yang Saya Kenal (6)

Peka lingkungan

Romo Tondo sebenarnya gelisah dengan dinamika yang hidup di paroki-paroki yang terlalu banyak devosional, tetapi kurang peka lingkungan sekitar. Ketika memberi sambutan pada ultah Ke-8 Paroki kami, 27 September 2004, Romo Tondo menyatakan pelbagai hal, antara lain saya kutipk sebagai berikut:

  • 99% hanya berkisar pada penampilan kegiatan-kegiatan dan juga harus diakui bahwa memang aktualitasnya besar, serta mempunyai arti bagi kita… Di samping itu dalam rapat-rapat dewan paroki, isinya membicarakan kegiatan-kegiatan, proposal-proposal kegiatan, rencana-rencana mendatang menjelang Natal, Paskah, Komuni Pertama, HUT paroki. Dengan ini tampak adanya dinamika yang hidup dalam paroki. Apalagi kalau menjelang bulan-bulan Maria seperti Mei, Oktober, perencanaan berziarah tinggi –ini merupakan high season bagi umat Katolik khususnya. Beberapa puluh bus berbodong-bondong meluncur ke tempat-tempat ziarah seperti Poh Sarang, Sendangsono, Klepu, Gua Tritis, dan Ratu Kenya. Di lingkungan-lingkungan atau kring-kring tidak kalah besar kegiatan dalam Doa Rosario.
  • Pada suatu rapat Dewan Paroki yang membicarakan tentang rencana-rencana HUT paroki, saya pernah nyeletuk bertanya. ‘Apakah Dewan Paroki mempunyai peta situasi paroki? Banyak acara dan rencana dibuat dan digalakkan tetapi apa dasarnya? Apakah ini semua tidak membuang energi dan waktu? Apakah evaluasi perkembangan paroki tidak lebih penting dari pada pesta HUT? Inilah yang saya pertanyakan dalam celetukan itu.’ Apa jawabnya? Ternyata tidak ada filing data tentang hal tersebut. Apa prospeknya paroki juga tidak jelas, bahkan dari tahun ke tahun ya hanya berkisar pada kegiatan dan ramai-ramai yang silih berganti. Inilah justru keprihatinan yang saya pantau di paroki-paroki bahkan sampai ke tingkat keuskupan, lembaga-lembaga katolik. Rencana-rencana kerja masih banyak top down oriented. Orang-orang atasanlah yang membicarakan dan menyusun serta mengkonsepkan rencana-rencana kerja. Hasilnya lalu dituangkan ke bawah untuk dilaksanakan. Ini memang bagus dan salah satu cara sejak masa kolonial.
  • Tetapi di samping itu juga ada cara lain yang mungkin dan kemungkinan besar masih sangat jarang diterapkan, yaitu Bottom-Up Oriented yang berlawanan dengan Top-Down Oriented. Hal ini dilakukan dengan analisis sistem, yaitu mengadakan penjajagan, penelitian terhadap situasi dan kehidupan masyarakat, apa field need-nya, apa kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang melanda warga masyarakat atau umat paroki dengan memperhatikan faktor-faktor sosio-ekonomi, sosio-budaya, sosio-pendidikan, sosio-religius dan sosio-politiknya. Inilah yang justru harus dijawab dan ditangani serta dikembangkan dan dicarikan solusinya dalam penyusunan rencana kerja dan evaluasi.
  • Pernahkah Dewan Paroki, Ketua Wilayah, Ketua Lingkungan mengadakan SWOT Analysis? Di sini kita bisa lihat Strength–Weakness–Opportunity–Threat (Kekuatan–Kelemahan–Kesempatan– Ancaman). Minimum analisis semacam ini hendaknya diterapkan kalau mau lebih sederhana metodenya.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here