SEKALI waktu, peristiwa kecil sederhana terjadi di Semarang tahun 1991 silam. Ini pengalaman saya dengan almarhum Romo Leonard Smit SJ yang kami kenal saat itu sebagai pastor di Paroki Karangpanas, Semarang Atas.
Sungguh, pengalaman sederhana dan kecil tapi tetap mengesankan bagi saya – remaja puteri murid SMA Negeri di Semarang waktu itu.
Saat itu adalah bulan Desember tahun 1991.
Bersama beberapa rekan FKPK (Forum Kontak Pelajar Katolik) St. Petrus Semarang, saya datang menyambangi pastoran Paroki Karangpanas Semarang.
Sedianya akan menemui Romo Sumantri SJ yang saat itu berkarya di Paroki Karangpanas. Minta Romo Mantri berkenan memimpin misa Natal Pelajar Katolik Kota Semarang kala itu.
Tak diduga, rombongan pelajar SMA Negeri ini malah disambut oleh almarhum Romo Smit SJ di pastoran, sembari menunggu kedatangan Romo Mantri menemui kami di ruang tamu pastoran.
Bersama almarhum, kami malah diajak bicara panjang lebar di kamar tamu pastoran sembari menunggu kemunculan Romo Mantri SJ yang sebenarnya ingin kami temui.
Dimanja makan minum
Sejak itu, setiap kali kami bertemu Romo Smit SJ di pastoran, para siswa-siswi Katolik di sejumlah SMA Negeri di Kota Semarang ini selalu mendapat perhatian istimewa dari imam misionaris Jesuit dari Negeri Belanda. Yakni, dijamu tanpa henti oleh Romo Smit SJ.
Semua makan-minum di kulkas langsung dikeluarkan dan disajikan kepada kami.
Yang namanya anak-anak remaja yang masih “sumega” -doyan makan- maka hidangan itu langsung kami santap. Tanpa ragu dan “disikat” cepat habis.
Bahkan, Romo Smit juga sering menyuruh kami membawa pulang aneka makanan dan minuman itu. Ibarat kata biar sekalian “bersih-bersih gudang”.
Membawa parsel kembali kepada pengirim
Sekali waktu, datanglah seorang membawa bingkisan parsel Natal untuk pastoran. Langsung diterima sendiri oleh almarhum Romo Smit SJ.
Namun, usai mengucapkan terimakasih atas pemberian kasih itu kepada sopir suruhan majikan, maka Romo Smit langsung dibuat kaget karena tiba-tiba di halaman gereja muncul suara keras braak… braak.
Ternyata sopir itu menabrak tiang bendera di halaman gereja hingga sampai roboh.
Yang lebih mengagetkan lagi, hal yang sungguh tak terduga: Romo Smit SJ kemudian mengembalikan bingkisan parsel itu kepada pak sopir dan menyuruh dia segera memperbaikinya.
Tak ayal, sopir itu jadi pucat pasi. Tak menyangka terjadi reaksi lebay seperti itu. Bahkan kami pun juga dibuat bengong dengan kejadian ini. Peristiwa ini sudah lama, tapi saya masih ingat.
Ingat nama dan peristiwa
Sekian lama berselang. Kami sudah lulus SMA dan PT. Kami pun masing-masing juga sudah bekerja dan berkeluarga.
Namun yang bagi kami menyenangkan, setiap kali bertemu Romo Smit SJ, beliau langsung panggil nama dan ternyata masih ingat juga.
Selain berkabar ria, beliau selalu menanyai kabar kami masing-masing. Bahkan setiap kali saya ajak Kevin, anak saya, dan bertemu beliau di pastoran gereja di Semarang, dia selalu ajak Kevin agar mau masuk Jesuit.
“Ayo gabung dengan kami dengan masuk ke Kolese St. Stanislaus Girisonta,” ujarnya beliau memotivasi anak saya.
Selamat jalan Romo Smit SJ yang selalu membuat saya pribadi terkenang akan sosok imam yang rendah hati, peduli orang, ramah, dan tulus membantu.