PERTEMUAN dengan Mgr. Leo, yang semula kesan saya “disiapkan” untuk “minta pertanggungjawaban” Uskup oleh umat itu, akhirnya justru menjadi uraian sangat bagus mengenai visi misi Mgr. Leo Soekoto mengenai KAJ dan imam diosesan KAJ ke depan.
Sebagai sesama kader Pater Beek di Khasebul, Romo Bambang memberi info ke saya mengapa ada pertemuan dengan Uskup di Kampung Ambon itu.
Beberapa waktu sebelumnya, saya dan Romo Wiyanto makan siang. Ketika kami buka rantang makan siang, ternyata isinya bukan lauk tetapi batu.
Romo Wiyanto sangat shocked, bibir bergetar, sangat marah dan tersinggung.
Ia langsung pergi naik motor. Rupanya Romo Wiyanto menemui sahabatnya Romo Bambang. Saya sangat mengerti reaksi shocked Romo Wiyanto. Beliau itu orang Solo yang sangat halus perasaannya.
Kepada Romo Bambang, Romo Wiyanto menceritakan penolakan imam praja di Paroki Pulomas oleh sekelompok umat lama.
Dicurigai merebut ‘kapling’ Kongregasi
Imam praja disebut “perebut” paroki orang, diisukan sudah kaya, tidak kaul kemiskinan, sehingga tidak perlu diberi makan oleh umat. Jadi makan batu saja.
Begitu kurang lebih curhat Romo Wiyanto. Romo Bambang lalu menemani Romo Wiyanto menghadap Uskup, cerita semua itu. Jadilah Uskup lalu datang ke Paroki Pulomas.
In Memoriam Romo Wiryowardoyo Pr – Pijar Vatikan II: Ikon Praja Jakarta dengan Banyak Julukan (30B)
Pada pertemuan dengan umat dan Dewan Paroki Pulomas di Kampung Ambon itu, Mgr. Leo Soekoto memberi pengantar bagus, bahwa gereja yang baik dan yang dewasa itu adalah gereja yang bisa dilayani oleh para imamnya sendiri.
Mereka adalah imam-imam diosesan atau imam Ppraja. Mereka tidak bisa dipindah-pindah dan hanya mengkhususkan hidup dan pelayanannya untuk kebutuhan umat keuskupan terutama paroki-paroki.
“Justru menjadi kebanggaan bagi Ordo atau Konggregasi kalau bisa mempersembahkan paroki yang terbaik untuk Keuskupan,” ujar Mgr.Leo.
“Imam praja memang tidak mengucapkan kaul kemiskinan, tetapi kenyataannya mereka menghayati kemiskinan karena enggak punya gedung, sekolah, dan rumah seperti imam-imam Ordo dan Konggregasi,” kata Mgr.Leo.
“Dan cita-cita saya sebagai Uskup adalah ingin membangun seminari yang menjadi pabrik pastor praja, biar umat dan paroki-paroki kita yang semakin besar ini terlayani,” ujar Mgr. Leo.
Merintis generasi imam praja KAJ
Memang, sampai Romo Bambang dan Romo Wiyanto ditahbiskan imam pada 25 Januari 1978 itu, belum ada satu pun paroki yang dikelola oleh imam Praja.
Romo Bambang dan Romo Wiyanto, yang keduanya sekarang sudah almarhum, adalah saksi hidup dan perintis suka duka kader imam dan paroki praja yang disiapkan oleh Mgr.Leo Soekoto.
Mereka juga menjadi saksi hidup, bahwa penolakan terhadap imam diosesan itu pernah sangat keterlaluan sampai diberi makan batu segala.
Romo Bambang dan Romo Wiyanto adalah ikon imam praja pertama KAJ yang bekerja di paroki full dari awal tahbisannya sampai meninggalnya.
Sesudah 40 tahun pelayanan imamatnya sebagai imam diosesan atau imam praja, Romo Bambang dengan mantabnya pernah mengatakan demikian:
“Dalam menghayati hidup panggilan sebagai imam praja, bagi saya imanlah yang menguatkan setiap langkah. Kalau nggak ada Yesus, nggak ada iman, saya nggak kuat,” tandas imam kelahiran Yogyakarta, 26 Agustus 1946 ini.
Spiritualitas imam praja
Menurut Romo Bambang, spiritualitas imam praja adalah melayani di tengah umat.
“Imam praja itu pastor umat, harus mengumat. Spiritualitasnya itu spiritualitas berdasarkan keadaan dan situasi umat. Di mana dia berada, di situ dia ada di tengah-tengah umat,” tegasnya.
Imam praja, lanjutnya, juga mesti menjadi imam praja sejati. “Dia harus menjadi hamba, hangat, andal, misioner, yakni melayani dengan baik, bahagia, dan adil.” (Berlanjut)