SABTU, 29 Januari 2022, sore sepulang dari acara bersama para guru SMA de Britto, telah terkabar di beberapa media sosial perihal Romo Leonard Smit SJ yang telah meninggal dunia di Wisma Emmaus Girisonta beberapa jam lampau.
Ingatan pun kembali ke Jumat 22 September 1989, saat saya menggandeng Irene Rosmaeni Sari Pratiwi untuk saling menerimakan Sakramen Pernikahan di depan altar Gereja Santo Antonius Paroki Purbayan, Surakarta.
Setiba saat berkotbah di mimbar, masih lekat dan saya ingat akan satu hal ini. Yakni, kalimat Romo Leonard Smit SJ yang beliau katakan berikut ini.
“Saudara-saudara, kali ini saya tidak akan berkotbah, karena yang menjalani hidup berkeluarga ini mempelai berdua. Amin.” – langsung berlanjut dengan tanda salib.
Itulah nikah tanpa kotbah. Kalau pun toh disebut kotbah, maka mungkin itulah kotbah tersingkat.
Beberapa umat yang hadir pun mengungkapkan kesan keunikan itu.
Masih saja ingat
Sekira 12 tahun kemudian, saya bertemu Romo Smit SJ di Rumah Retret Sangkalputung, Klaten. Saya mengira beliau tidak sampai mengingat persis saya, sambil setengah menagih, “Romo, mengapa dulu tidak mengkotbahi saya dan isteri ketika menikah?”
Jawab Romo Smit SJ: “Oh, ya? kamu pasti datang terlambat.”
Memang, saya memaklumi, ada sebagian imam yang akan menikahkan pengantin, lantas mempelai terlambat datang sehingga menjadi uring-uringan, upacara serba tergesa-gesa.
Atas reaksi itu, saya menjawabnya bahwa kami dan keluarga beserta umat tepat pukul 11.00 berada di pintu gereja.
Romo Smit SJ pun lalu sejenak berpikir: “Tapi keluargamu masih utuh ’kan?”
“Masih, Romo.”
“Itu lebih penting daripada kotbah saya.”
Romo Smit pun melanjutkannya dengan menyebut bahwa ketika menikah tanpa dikotbahi itu bukan sebuah kekurangan. “Bukankah, hidup berkeluarga itu menjalani setiap kotbah yang dibuat berdua?”
Sesudah itu, setiap saya ada di tengah peserta forum, Romo Leonard Smit SJ sambil tersenyum simpul.
Ketika berbicara, pasti akan menyenggol nama saya: “Itu contoh keluarga yang tidak saya kotbahi saat menikah saja, justru keluarganya masih tetap utuh.”
Terimakasih, Romo Smit. Romo sangat memberi arti bagi keluarga kami.
Sugeng tidak, Romo, mohon doa Romo. Nuwun.