TULISAN yang dikirim dari Pedalaman Papua, Rabu, 1 Mei 2013 itu menyapa saya pagi-pagi. Hanya untuk saya seorang? Tidak. Sebab, kami tak saling kenal. Dia mengirim untuk banyak orang.
Apakah karena mereka saling kenal? Tidak juga. Kurasa, dia menulis untuk siapa pun, kenal tak kenal. Hingga kemudian, penerima tulisan itu akan merasa mengenal siapa pengirimnya.
Tulisan rada panjang itu dibuka demikian:
“Ada seorang wanita single pulang dari kantor pada malam hari. Ia sungguh-sungguh letih, lesu, lelah, lemah, loyo dan lunglai, karena bekerja dari pagi hingga sore (09.00 to 17.00). Ia menonton televisi sambil main-main channel sembari meluruskan badan dengan kaki slonjor.
Tiba-tiba di luar rumah, terdengar suara kendaraan yang sedang parkir di depan rumahnya, yakni mobil sang pacar. Wanita muda itu pun langsung berdiri dan mandi sambil bersenandung di kamar mandi. Dalam waktu yang amat singkat, rasa letih pun musnah.
Kebanyakan orang letih karena beban mental yang dibawanya serta. Novelis Inggris Margareth Storm Jameson (1891-1986) pernah berkata bahwa hampir semua orang menghabiskan waktu beberapa menit setiap jamnya untuk hidup di masa lampau dengan menyesali kegagalannya atau memikirkan masalah-masalah yang akan datang.
Kadang-kadang mereka murung-murung tanpa sebab. Namun di pihak lain, juga banyak orang menjadi letih karena relasinya dengan orang lain, bahkan orang yang terdekatnya sekalipun.”
Lalu, ditutup demikian:
“Dalam pariwara, keletihan bisa dilawan dengan obat yang namanya fatigon. Padahal kata fatigon sendiri berasal dari bahasa Latin “fatigatio-onis” yang berarti keletihan, kepenatan dan kelelahan.”
“Menjadi letih itu suatu pilihan,” kata seseorang.
Ada seorang ibu muda yang bekerja siang malam, ibarat kaki menjadi kepala dan kepala jadi kaki tetapi ia tidak merasa letih yah karena demi anaknya. Pilihan untuk tidak letih itu pun telah ditulis oleh Viktor Frankl (1905-1997) dalam bukunya yang berjudul Man’s Search for Meaning.
Di dalam Kamp Nazi Jerman, ia membuat penemuan yang sangat berarti. Ketika seseorang memilih agar hidupnya bermakna, ia berjuang – meskipun terseok-seok – membantu sesama tawanan. Orang ini berusaha membantu orang lain dalam keletihannya yang amat sangat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang mengalami compassion fatigue (keletihan berbuat baik).
Misalnya di kota-kota besar, seperti Jakarta banyak pengemis, “Pak Ogah” yang mencari uang dengan mengemis atau menjadi fasilitator mobil-mobil yang hendak belok. Orang-orang sudah bosan untuk berbuat baik dengan memberi sesuatu kepada mereka. Sudah hilang rasa belas kasih.
Dalam arti ini, kita perlu berguru kepada Yesus, “Sang pemberi air hidup sejati.”
Ia pernah bersabda, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11: 28).”
Penulisnya, Romo Vincentius Markus Marlon MSC, 5 Agustus 2020 kemarin, dikabarkan meninggal dunia di Paroki Dumaring, Keuskupan Tanjung Selor. Urung pindah ke Keuskupan Agung Makassar yang mestinya tinggal berangkat beberapa hari lagi, ia berangkat ke rumah “Sang Pemberi Air Hidup Sejati”.
Sesawi.Net mengutip pernyataan Romo Raymond MSC, bahwa sebelum meninggal Romo Marlon mengeluh kelelahan. Ia pun mendapatkan penanganan medis. Tensi dan gula darahnya naik. Almarhum yang dikabarkan mengalami sakit gula disebut sudah biasa menyuntik sendiri insulin.
Ah, saya jadi menulis detil—meski tidak amat detil.
Detil adalah pesan Romo Marlon tentang menulis. Pesan itu begitu mudah ditangkap dari tulisan-tulisan yang setiap hari dirangkai dan disebarkannya. Di mana pun ia berada, entah untuk tugas lama atau sementara, ia menulis.
Pada beberapa tulisan ia menyebut memaksa diri menulis dengan mengatasi tantangan-tantangan seperti tiada jaringan internet, kekeringan ide, dan rasa letih.
Saya belajar banyak dari almarhum Romo Marlon. Karenanya, saya simpan baik-baik tulisannya. Tidak semua. Saya pilih yang inspiratif untuk pembelajaran menulis—terutama.
Contohnya tulisan berjudul LETIH dengan huruf kapital beserta keterangan di dalam tanda kurung (Kontemplasi Peradaban) yang saya cuplik sebagian isinya di depan. Terutama saya mencermati bagaimana Romo Marlon bernarasi.
Narasinya menghidupkan imajinasi. Pembaca dituntun melukis sosok, suasana, dimensi ruang-waktu, dan gerak, sehingga seolah-olah turut hadir dan terlibat dalam cerita itu.
Secara NLP (Neuro-Linguistic Programming), narasi Romo Marlon sangat asosiatif pada alinea ini. Untuk nanti pembaca ditarik keluar secara disosiatif, saat ia mengutip penulis lain yang dijumpainya di teks-teks yang ia rajin lahap sebagai pembaca yang tekun.
Atau juga lewat nukilan perikop Kitab Suci selaras panggilannya sebagai imam katolik. Romo Marlon sangat menguasai “story telling”: menyusupkan pesan-pesan rumit dalam cerita-cerita sederhana.
Pesan rumit?
Saya merasa, dari tulisan-tulisannya, Romo Marlon menggelisahi situasi dunia sebagai situasi yang tidak boleh dianggap terjadi dan menjadi begitu saja. Ia telaten menelusuri sebab-sebab, dan lalu ringan menyorotkan akibat-akibat.
Dalam bayangan saya, itu tidak sederhana. Perlu latihan keras membaca beragam teks, perlu keberanian mengonstuksi ulang remahan-remahan, dan tentu saja perlu keugaharian meletakkan hasil temuannya itu dalam suguhan tulisan yang renyah supaya pembaca level apa pun bisa paham.
Letih pikiran dan hati, dugaan saya, lebih dominan dirasakan sosok seperti Romo Marlon ini ketimbang lelah fisik. Tidur sejenak, lelah fisik bisa pulih.
Sedangkan letih pikiran tak bisa begitu saja luruh, sebab saat tidur ada bagian dari pikiran yang tetap terjaga dan bekerja.
Saya yakin Romo Marlon menyadari ini. Ia sadar letih itu bersumber dari apa, “ngerjain” dirinya seperti apa, dan—ini yang terpenting—Siapa sandaran akhir yang ia percaya memulihkannya.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Tebakan saya, karena Romo Marlon mengerjakan setiap langkah letih itu secara gembira.
Kutipan bahasa Latin ini merumuskan secara sederhana arah motivasi Romo Marlon bergumul dengan perkara-perkara kecil untuk kemudian menghadiahi pembaca pemaknaan-pemaknaan yang jauh melampaui kesederhanaan itu.
Beda dengan Romo Marlon yang sungguh menguasai bahasa Latin, saya sih sekadar menemukan kutipannya demi berusaha menjangkau pribadinya. Felix qui potuit rerum cognoscere causas: berbahagialah mereka yang mengerti penyebab sesuatu.
Saya sih bahagia setiap membaca tulisan Romo Marlon. Semoga anda pun begitu.
Saya mau tunjukkan satu lagi hal sederhana yang dicontohkan Romo Marlon sebagai sumber kebahagiaan saya. Nanti, ujung dari pesan ini adalah tentang “jangan kacang lupa pada kulitnya” dan tentang “sangkan paraning dumadi” jika diteruskan ke dalam refleksi spiritual.
Dalam setiap tulisan Romo Marlon, saya—sebagaimana anda juga—mudah temukan beraneka bacaan-buku lengkap dengan tebaran-tebaran bahasa asing. Betapa jauh pengembaraannya. Pengembaraan literasinya jauh melampuai pengembaraannya di tanah-tanah misi.
Toh begitu, ia selalu menyatakan diri akar tempatnya berasal dan akan kembali. Untuk menjaga identitasnya sebagai orang Jawa kelahiran Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Keuskupan Agung Semarang), ia “slonjor” serendah-rendahnya.
Pengembaraan iman dan intelektual yang sedemikian, menurut saya, juga adalah pernyataan “slonjor” betapa kecil dia di hadapan-Nya, Sang Sumber Kehidupan.
Bentangan lebar antara “sudah sampai ke mana-mana” dan tetap ingat “aku berasal dari mana” itu rupanya samudera luas kegembiraan dan syukurnya sehingga tetap setia sampai akhir, sampai letih.
Maka, saya ingin menutup tulisan ini dengan memodifikasi tulisan Romo Marlon yang saya kutip di depan:
Ada seorang lelaki single pulang dari kunjungi umat pada malam hari. Ia sungguh-sungguh letih, lesu, lelah, lemah, loyo, dan lunglai, karena bekerja dari pagi hingga pagi lagi selama 32 tahun menjadi imam MSC (Missionarii Sacratissimi Cordis) sejak 1988 hingga 2020. Ia menonton layar HP sambil main-main channel sembari meluruskan badan dengan kaki slonjor.
Tiba-tiba dari luar pastoran terdengar suara kendaraan yang sedang parkir, yakni mobil Sang Guru. Lelaki itu pun langsung berdiri dan menenteng gitarnya tanpa bersenandung datang memeluk Sang Guru.
Kudengar kamu letih…
“Iya, Guru.”
Sudah minum fatigon?
“Ah, Guru meledekku! Bukankah Guru menjemputku, karena tahu hanya Sang Pemberi Air Hidup Sejati yang dapat menghapus letihku?”
Dalam waktu yang amat singkat, rasa letih pun musnah. Selama-lamanya.
Verba volant, scripta manent. Yang terucap lenyap, yang tertulis abadi.
Pesanmu supaya setiap orang menulis.
Yogyakarta, 6 Agustus 2020
AA Kunto A
Sy belum pernah ketemu rm Markus. Tapi nama Markus, dan asalnya dr Wonosari itu menyentakku. Sebab sy merasa kenal dg nya. Jangan- 2 ini Markus yg dulu kukenal.
Setelah kubaca riwayatnya di sesawinet, dan kubaca di fb dan lihat fotonya, maka sy yakin betul sy mengenalnya. Dialah Markus yg kukenal ketia ia masih kecil, SD kala itu.
Th 1975/6 sy tinggal di rumahnya dlm rangka menjalani masa probasi sy di paroki Wonosari. Oleh rm Harjasudarma SJ sy dititipkan di keluarga rm Markus ini. Sy, dikenal sbg frater kurus, tinggal bersama keluarganya selama satu minggu. Karena itu sy kenal baik dg seluruh keluarganya. Termssuk anak2nya: Endri, Asno, Krisna, Markus. Orangtua mereka, sangat baik dan suci hatinya. Mungkin sy dulu dimaksudkan oleh rm Hardja sbg “virus panggilan” di keluarga alm. ibu bapak Zakarias (semoga sy betul mengingat nama mereka).
Bertahun kemudian, Sy tahu anak-2 ternyata pd masuk CB, dan seminari. Hanya dg yg masuk CB sy masih sering ketemu. Yang lain sy hanya tahu di mana dan ke mana mereka. Termasuk Markus, sampai jadi romo pun saya belum pernah ketemu lg. Bahkan saya lupa kalau Markus itu masuk MSC. Itulah sebabnya ketika sy baca berita meninggalnya Rm Markus, MSC, sy tidak langsung mengenalnya. Romo 2 MSC yg lain, romo sepuh itu, umumnya masih kukenal krn kami sama2 bekerja di keuskupan agung Jakarrta dulu.
Yg ingin sy tulis, adalah kalo rm Markus jd romo yg istimewa itu sy tidak heran. Kedua orangtuanya sungguh luar biasa hati dan jiwanya. Kakak adiknya jg sungguh pribadi2 terberkati. Itu berkat dan rahmat yg adalah buah dari hidup dan pengabdian sejak dari kedua orangtua mereka.
Kebaikan dan kualitas iman mereka tetap kurasakan di hati dan hidupku sampai saat ini.
Selamat jalan rm Markus!
Selamat jalan Markus!
Titip salam buat ayah ibumu ya.
Doakan kami dan keluargamu yg masih di dunia ini.
bener mas — asno mertois masuk tahun 75, markus mertois 82; sr paulina cb (sekarang di bandung rs borromeus) — kakak almarhum