TIGA pekan lalu, saya tengok Pater di Ruang Ignatius, RS Carolus.
“Hai… Gung…!,” sapa beliau.
Pater menunjukkan kegembiraan ketika saya datang.
“Thank you Gung… thank you…” ucap beliau terbata-bata sambil memegang erat tangan saya.
Setelah itu, Pater berusaha batuk supaya bisa mengeluarkan dahak, tetapi setiap kali gagal. Dahinya mengerenyit, tangan kirinya memegang dadanya.
“Sakit Gung” katanya sambil tetap saja ingin kelihatan tegar.
Pater memang selalu berusaha tegar. Saat kakinya tak bisa dengan leluasa digerakkan, Pater pun ingin kelihatan tegar.
Dengan tongkat di tangan pun beliau tetap tegar bahkan sampai ke Raja Ampat. Tidak terbayang dalam kondisi seperti itu Pater masih berusaha berenang.
Itulah Pater Dumais SJ. Api yang tak pernah padam. Api itu pula yang membakar kami, murid-murid Pater supaya tertempa dari sepotong besi hingga menjadi sebilah samurai.
Samurai yang kuat, tajam berkilau.
Pater tidak menempa muridnya hanya sekadar menjadi golok, yang hanya disebut golok tetapi bopeng dan tumpul tak berarti.
Pater tak membiarkan muridnya lembek dan cengeng. Dia mendorong setiap muridnya paham apa arti kekuatan dan keunikan pribadi. Kekuatan dan keunikan yang harus selalu diasah agar muridnya berprestasi di atas rata-rata.
Inilah syukur kita kepada pemberi hidup yang telah menganugerahkan kelimpahan dan kehebatan luar biasa…. menyia-nyiakan talenta adalah melawan rasa syukur.
Rasa syukur juga ditunjukkan dari penghargaan terhadap alam. Hampir semua puncak gunung di Jawa, Bali, Lombok, pernah dinikmati Pater dan murid-muridnya.
Turun ke Gua Langse di tebing karang Pantai Selatan, dan berenang malam bulan purnama di laut Parangtritis sekadar untuk menguji apakah benar sinar bulan purnama cukup menerangi alam malam hari.
Kreatifitas yang menguji keberanian sekaligus mengagumi kebesaran Tuhan sang pencipta langit dan bumi.
Pater tidak hanya sekadar memukul pantat murid yang mendapat nilai jelek, tetapi mendorong dan juga sekaligus mencarikan jalan bagi murid-muridnya agar mampu mencapai standar bagus di kelasnya.
Beliau adalah inspirasi dari guru dan orangtua yang hanya bisa sekadar marah, memberi perintah, mengajukan kritik, dan acuh dengan solusi dan jalan keluar.
Pater juga menjadi contoh seorang guru yang bersemangat memahamkan pengetahuan kepada muridnya melalui berbagai metode pengajaran. Musik dan puisi pun menjadi bahan pelajaran yang membuat tak gampang bosan dan melawan monoton.
Kebahagiaan Pater Dumais adalah saat kita bisa mengatakan: “Pater… akhirnya saya mengerti…. akhirnya saya bisa….!
Saat naik Gunung Merapi ada satu batu besar terjal yang membuat saya gemetar tak berani turun.
Pater berteriak dari bawah:”Ayo Gung… lompat kaki kanan… langsung balik badan peluk batunya…. ”
Saat saya nekat melompat dan berhasil melewati tempat mengerikan itu Pater berkata: “Bagus Gung… kalau pun kamu gagal lompat dan mati… kamu mati lebih bermartabat… daripada hanya sekadar tidak berani turun.. dan kamu akan mati konyol di atas sana.”
In Memoriam Romo Nico Dumais SJ: Yang Lain daripada Lainnya (2)
Pater juga mengajar muridnya untuk berani. Jangan pernah menjadi pengecut. Bila kamu berani berantem, maka Pater akan memberi sarung tangan, lalu membuatkan ring di aula, menunjuk wasit, dan kita harus membuktikan jika memang kita berani.
Setelah bertinju kita harus menjadi ksatria, berpelukan dan kemudian melupakan semua persoalan, berteman kembali seperti saudara.
Pater Dumais menjadi contoh guru ideal. Memperhatikan, menghukum, membuat disiplin, memanusiakan, dan membuat hidup lebih berarti.
Pater boleh pergi meninggalkan kita, tetapi apa yang Pater tanam tak akan pernah sirna.
Samurai yang Pater tempa dan asah tak pernah boleh tumpul dan menjadi bisu. Kami akan selalu mengenang pelajaran hidup dari Pater.
Selamat jalan Pater Dumais. Semoga Pater beristirahat dalam kedamaian abadi di surga.