ROMO Stanislaus Kotska Maratmo MSF meninggal dunia pada hari Selasa (17/7/2018) dinihari di Rumah Sakit Dirgahayu, Samarinda, Kaltim.
Senin (16/7) pagi, tiba-tiba ia terjatuh dan karena itu ia segera dilarikan ke Rumah Sakit terdekat di Barong Tongkok, Kutai Barat.
Namun karena tensi darah dan kadar gulanya darahnya tinggi, ia dirujuk ke Rumah Sakit Dirgahayu. Dalam perjalanan,beliau tidak sadarkan diri. Pertolongan medis terus diberikan sepanjang perjalanan, namun satu jam setelah tiba di RS Dirgahayu, ia meninggal.
Putra Girisonta
Almarhum lahir 3 Agustus 1958 di Girisonta, Karangjati, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Setelah tamat Seminari Menengah di Bogor (1979), Si Sulung dari 7 bersaudara ini memilih bergabung dengan Kongregasi Imam Misionaris Keluarga Kudus (MSF) Provinsi Kalimantan.
Panggilan hidupnya menjadi inspirasi bagi adik-adiknya yang kemudian mengikuti jejaknya menjadi imam dan biarawati. Dua saudaranya telah menjadi pastor yaitu Romo Maradiyo Pr, imam praja Keuskupan Agung Semarang, dan Romo Yohanes Marharsono MSF.
Sedangkan seorang saudarinya menjadi anggota Kongregasi Suster-suster Santo Paulus dari Chatres (SPC): Sr. Anastasia Maratning SPC.
Riwat pendidikan dan karya
Romo Maratmo menjalani masa pendidikannya sebagai novis MSF di Novisiat SMF Salatiga tahun 1980. Kaul kekalnya dia ucapkan di Paroki Banteng,Yogyakarta, tahun 1987.
Sebelum ditahbiskan menjadi imam, ia menjalani masa diakonatnya di Penfui, Kupang, NTT (1997). Ia menjalaninya dengan sukacita, meski pada waktu itu belum ada karya MSF di Pulau Timor. Ia diutus untuk menjajaki karya misi MSF di Pulau Timor. Namun perutusannya ke Timor tidak lagi diteruskan oleh MSF karena keterbatasan tenaga.
Setelah ditahbiskan imam, ia bertugas pastoral di Purwodadi (1989-1990) dan kemudian berkarya di Tanjung Selor (1990-1993). Setelah itu, untuk waktu yang cukup lama, ia berkarya di Hulu Mahakam.
Karyanya yang lainnya adalahPastor Kepala Paroki St. Lukas Temindung, Paroki St. Klemens I Sepinggan Balikpapan.
Tahun 2011-2014, ia terpilih menjadi Propinsial MSF Kalimantan. Tahun 2014 hingga hari meninggalnya, ia menjadi Pastor Kepala Paroki Kristus Raja Barong Tongkok.
Berpastoral ke ladang
Tahun 2015, saya menjalani masa TOP bersama almarhum di Paroki Kristus Raja Barong Tongkok. Sebagai pembimbing, senior, mantan propinsial dan kaya dengan pengalaman misi, saya sering bertanya kepada beliau tentang banyak hal. Ia pun senang bercerita dan membagi pengalamannya.
“Saya mulai berkarya di ujung utara Pulau Kalimantan yaitu Tanjung Selor”, katanya.
Waktu itu Tanjung Selor masih kampung dan merupakan stasi dari Tarakan, belum berkembangan seperti sekarang ini. Wilayah ini juga masih menjadi bagian dari Keuskupan Agung Samarinda. Bisa dibayangkan betapa sulitnya medan pelayanan pastoralnya.
Dari utara, ia pindah ke Hulu Sungai Mahakam. Wilayah pastoralnya juga tidak kalah sengit sulitnya. Kebanyakan medan karyanya hanya dapat dijangkau dengan ketinting (perahu bermotor).
Ia juga harus melewati derasnya arus riam-riam Sungai Mahakam. Tetapi “Justru tugas di pedalaman ini telah melahirkan banyak inspirasi dan puisi,”katanya.
Almarhum memang suka berpuisi dan bernyanyi.
Sebagai seorang misionaris, ia pertama-tama belajar menguasai bahasa daerah umatnya. Ia pun pandai berbahasa Dayak Bahau. Memang bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai pengungkapan rasa dan kesakralan iman sehingga wahyu itu ditangkap oleh orang-orang kecil.
“Seperti Kristus yang lahir di tengah budaya manusia, Ia serupa dan membaur tanpa menonjolkan diri-Nya, demikian juga almarhum menghayati spiritualitas imamatnya dengan semangat inkarnatif Kristus ini. Ia hidup sederhana, tidak menyulitkan umat, tidak mudah marah dan ramah, walaupun dari luar, tampang beliau terkesan ‘seram’.
Pergi ke ladang
Almarhum juga menceritakan demikian.
“Saya sering turun ke ladang umat. Saya menjumpai mereka di ladang-ladang ketika musim menunggal atau menanam benih dan juga musim panen,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, ia sering dimintai tolong oleh pemerintah untuk membawa dan membagi gaji guru di Hulu Sungai Mahakam, karena hanya pastor saja yang memakai Orari pada waktu itu.
Di Hulu Mahakam, ia diberi nama Tingang oleh umat setempat. Pemberian nama dalam adat Dayak Bahau merupakan ungkapan penerimaan dan menjadikan seseorang sebagai anggota keluarga mereka.
Sederhana dan ceria
Hidup selibat dan imamatnya dijalani dengan penuh bahagia. Setiap pagi saya selalu mendengar beliau bersiul dan mendendangkan tembang-tembang zamannya.
Dalam berbagai pertemuan MSF, ia juga pandai membuat suasana menjadi hangat dengan humor dan cerita-cerita lucu. Walaupun senior, ia tetap akrab dengan konfraternya yang masih muda bahkan sampai anak-anak kecil ia bisa akrab. Ketika turne ke stasi-stasi, ia selalu mengajak banyak anak-anak.
“Anak-anak adalah masa depan Gereja. Selain itu, mereka juga harus melihat dan tahu situasi orang lain sehingga sejak dini kalau pun mereka tidak terpanggil menjadi biarawan-biarawati, rasa peduli mereka pada Gereja akan tumbuh,” katanya.
Saya ingin menutup tulisan dan kesan saya tentang almarhum dengan mengutip puisi beliau berikut ini:
Sungai Mahakam kan kumudiki.
Riam-riam kan kutanjaki
Gunung-gunung kan ku daki,
Demi menebarkan cinta dari Sang Ilahi, untuk semua insani.
Selamat jalan Romo.
Terimakasih atas kesederhanaan hidup, cerita inspiratif, nasihat dan teladan hidupmu sebagai seorang konfrater dan imam MSF.