In Memoriam Romo Sutopanitro Pr: Berjuang untuk Kaum Tertindas, Disidang di Belanda (6C)

0
77 views
Titch TV bersama almarhum Romo Stanislaus Sutopanitro Pr dalam Program Bincang-bincang Panjang di Pastoran Kelapa Gading Jakarta, tahun 2023. (Titch TV Royani Ping) 2

ROMO Stanislaus Sutopanitro selalu menolak tuduhan umum kalau dia mau melakukan upaya kristenisasi di antara para tahanan politik. istilahnya waktu itu adalah ingin “memancing di air keruh”.

Romo Suto sendiri jarang sekali membaptis para tapol non Katolik yang sering dia temui dan layani. Ia berkeyakinan bahwa pelayanan yang diberikan harus dilakukan tanpa pamrih kepada semua orang demi kebahagiaan orang itu. Sama sekali bukan pertama-tama demi mendapatkan “pengikut” – juga kalau itu berarti menambah jumlah baptisan.

Menteri Negara Oei Tjoe Tat. (Wiki)

Tujuh tahun “katekumen

Kalau pun para tapol atau keluarganya (nantinya) mau menjadi Katolik, ia memberi persyaratan tinggi untuk menguji kesungguhan motivasi mereka.

“Saya pernah menetapkan tujuh tahun masa katekumen kepada mereka yang mau jadi Katolik. Saya mau tahu apakah mereka sungguh-sungguh mau jadi Katolik dari keyakinannya sendiri atau demi alasan politik tertentu,“ ungkapnya sekali waktu.

Salah seorang tapol yang dibaptis oleh Romo Suto adalah tapol bernama Oei Tjoe Tat SH (26 April 1922-26 Mei 1996). Ia adalah mantan Menteri Negara dan anggota Kabinet Dwikora zaman pemeritahan Presiden Ir. Soekarno.

Kehadiran dan kunjungan Romo Suto di berbagai penjara dan Inrehab tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu; baik di kalangan para tapol yang mencurigai dia sebagai mata-mata, maupun di dalam tubuh tentara yang menganggapnya sebagai pelapor.

Pernah ada seorang tapol yang mau membacok Romo Suto dari belakang dengan parang. Ada juga tentara yang terang-terangan memaki-maki Romo Suto, bahkan mencoba membunuhnya dengan pembuangan dari helikopter; mungkin lantaran takut dilaporkan kepada atasannya di pusat.

Tapi syukur kepada Allah, Romo Suto luput dari semua rencana jahat itu. Berdasarkan pengalaman kunjungannya di sana-sini, Romo Suto lantas memberikan masukan secara tertulis kepada Pangkopkamtib tentang bagaimana selayaknya memperlakukan para tapol.

Menteri Negara Oei Tjoe Tat (tengah) bersama Presiden Ir. Soekarno. (Berdikari)

Disidang di Belanda

Tahun 1974 Romo Suto berangkat ke Belanda dengan satu tujuan: liburan musim panas. Namun rencana ini belakangan terbukti kandas.

Di Bandara Amsterdam Schiphol, Romo Suto telah ditunggu oleh seorang penjemput yang memasang tulisan “Mr. Sutopanitro“ di dadanya. Ternyata orang ini mengaku anggota dari Amnesti Internasional Cabang Belanda dan mempunyai hubungan dengan Tweede Kamer (DPR Belanda) yang mau berdiskusi dengan Romo Suto.

Setelah sepakat waktunya untuk esok hari, orang ini mengantarkan Romo Suto menginap pada sebuah keluarga, sambil berpesan bahwa nanti malam Romo Suto hendaknya menonton acara dari “Programa 9”.

“Malamnya, saat menonton program Malamnya, saya kaget sekali. Sebab ternyata di sana ada siaran tentang saya yang tengah mendampingi para tapol dengan bimbingan rohani. Ada tayangan, saya sedang menomori kursi-kursi untuk suatu pertemuan, dll,“ kenang Romo Suto.

Rupanya kehadirannya sudah ditunggu-tunggu oleh politisi-politisi tertentu di Negeri Belanda yang memesan tayangan itu.

Keesokan harinya, Romo Suto dibawa ke gedung DPR Belanda dan bertemu dengan 5-6 orang anggotanya. Diskusi berjalan menarik. Alhasil, Romo Suto diminta kesediaannya untuk berbicara lagi, kali ini dalam lingkaran yang lebih besar dan penting di-mana terdapat J. Pronk, Menteri Kerajaan Belanda untuk Urusan Kerjasama dan Pengembangan waktu itu.

Menteri Kerjasama dan Pembangunan Belanda Jan Pronk. (Wiki)

Akhirnya, terjadilah bahwa di dalam ruang sidang Tweede Kamer yang nyaris penuh itu, Romo Suto berbicara secara terbuka apa-adanya tentang keadaan tapol, kebijakan Pemerintah Indonesia dan keadaan politik di masa Perang Dingin itu.

Dalam pertemuan itu ada seorang peserta dari Partai Komunis yang antara lain mengritik secara tajam Demokrasi Indonesia sebagai demokrasi semu alias hanya nama saja.

Agak marah karena mendengar tuduhan ini, Romo Suto balik menanggapi dengan pertanyaan yang menampar anggota Partai Komunis Belanda itu sendiri.

Katanya: “Lho apa tidak sebaliknya Anda malahan sedang berbicara tentang gaya partai Anda? Manakah negara yang lebih demokratis: Jerman Barat atau Jerman Timur?“.

Pertanyaan ini retoris sifatnya. Sebab semua orang tahu bahwa –berbeda dari Jerman Barat yang demokratis, Jerman Timur yang menamakan dirinya sendiri DDR (Deutsche Demokratische Republik: Republik Demokratis Jerman) itu adalah negara komunis. Juga yang rezim pemerintahannya sama sekali tidak demokratis, melainkan represif dengan menginjak-injak kebebasan warga di bawah diktator Partai Komunis.

Mendengar jawaban ini, anggota-anggota dari partai lain bertepuk tangan dengan meriah. Tetapi yang mengesankan Romo Suto bukanlah jawabannya, melainkan reaksi emosionalnya.

“Saya heran juga saat menyadari, bahwa percakapan saya dalam berahasa Belanda saya ternyata jadi lancar, ya kalau saya sedang marah atau memaki-maki pihak lain,“ kenang Romo Suto sambil tertawa terbahak.

Romo Suto tinggal sekitar sebulan di Eropa; bahkan sempat diajak ke London untuk mengunjungi Pusat Amnesti Internasional. Liburan yang direncanakannya akan berjalan santai, tanpa terasa sudah berubah menjadi semacam studi banding. (Berlanjut)

Baca juga: In memoriam Romo Sutopanitro, pejuang kaum tertindas melaksanakan Program Sosial Kardinal (6B)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here